13 Januari 2010

» Home » Okezone » "Apartemen Ayin": A-Plus

"Apartemen Ayin": A-Plus

Mas Ahmad Santosa tak perlu melepas jas hitam yang selalu dikenakan saat menjalankan tugas. Kalau perlu bisa berdansa mesra dengan istrinya, dengan iringan musik tak kalah merdu dari yang ada di rumahnya.

Semuanya mungkin, bagi Mas (nama diri, bukan panggilan) Ahmad Santosa atau anggota lain Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Dalam sidak, inspeksi mendadak, ke Rumah Tahanan (Rutan) Khusus Wanita Kelas IIA, Pondok Bambu, Jakarta Timur, mereka menemukan kemewahan yang tidak dimiliki di tempat kerja––padahal dibentuk Presiden–– atau juga di rumahnya.

Ruang berukuran 8x8 meter, dengan perabotan mewah, dan bahkan Artalyta Suryani sedang menjalani rawat kecantikan. Ayin, nama panggilannya, yang terlibat kasus suap jaksa, seolah berada dalam apartemen dengan standar tinggi: A-plus.

Hotel bintang lima pun tak punya pelayanan 24 jam dan yang melayani berseragam serta berstatus pegawai negeri. Ayin tak sendiri karena ada OT, orang tahanan, atau napi lain dengan fasilitas kurang lebih sama, bahkan ruang untuk karaoke. Logikanya sangat sederhana: di mana ada duit, di situ fasilitas melangit. Duit bukan segalanya, mungkin, tapi segalanya perlu duit.

Nomor Kecil

Sebenarnya temuan Satgas kali ini bukan berita baru. Ini masih jenis berita “anjing menggigit orang”, yang bukan berita dari nilai aktualitasnya karena sudah berlangsung demikian lama. Sama umurnya dengan penjara itu sendiri. Untuk Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang Jakarta, mekanisme yang seperti ini sudah berlangsung hampir satu abad kurang dua tahun.

Artinya, sudah ada tata cara yang berlangsung dengan sendirinya, bagaimana cara mendapatkan fasilitas lebih dari yang menjadi jatah atau haknya. Bahkan di kelas abal-abal atau kasta terendah dalam kehidupan napi juga terlihat. Mereka yang berada dalam satu blok–– biasanya dikumpulkan oleh kasus pelanggaran yang sama–– akan terlihat siapa yang berduit.

Mereka yang menempati nomor kamar kecil–– satu sampai lima–– adalah mereka yang berduit atau setidaknya seorang pemuka, voorman. Seperti sebuah hotel, kamar di dalam LP atau rutan pun bisa dipesan jauh sebelumnya meskipun tak segera ditempati karena biasanya kepindahan dari rutan ke LP pun ada permasalahan sendiri. Rutan tak begitu saja melepaskan “angsa bertelur emas” untuk bertelur di tempat lain.

Bahwa duit adalah segala sumber untuk mendapatkan fasilitas tak perlu dibuktikan. Realitas menunjukkan itu. Bahkan, almarhum Soebandrio, Oemar Dani, Sanusi, serta Xanana Gusmao atau Bunda Lia Aminudin yang satu rutan dengan Ayin tidak mendapatkan kemudahan yang mewah itu. Karena para tokoh ini tak punya dana berlebih dan atau tak mau menyalahgunakan fasilitas.

Sebaliknya untuk kelompok “berdasi”, begitu istilah untuk napi berduit, menikmati ini. Dengan mudah bisa dilihat dari kasusnya. Kasus perbankan, korupsi, penyelundupan, pemalsuan kartu kredit menempatkan mereka sebagai elite dalam artian sesungguhnya.

Di kasus “bawah”, hanya kasus sahongsa, pelanggar pasal tiga-noltiga, alias perjudian yang agak bersinar. Selebihnya adalah kelompok “sejak masuk tak dibesuk” yang artinya secara ekonomi tak menambah pemasukan apa-apa bagi sipir atau napi lain. Kelompok yang dinamai abal-abal ini diibaratkan lebih keras dari batu. Batu pun diperas masih bisa keluar airnya, kelompok abal-abal diperas seperti apa pun tak meneteskan rezeki.

Lebih Baik

Gambaran ini memperjelas bahwa penghuni rutan atau LP sangat beragam. Baik kasusnya, latar belakang sosial, pendidikan, keluarga, lobi maupun hartanya. Dari pencuri kloset (ini beneran, ada yang kasusnya mencuri kloset dari kamar mandi), penjambret yang mudah ditangkap karena daerah operasinya di situ-situ melulu sampai kasus yang nominalnya mencapai miliaran, sampai tokoh-tokoh politik, bisa jenderal, bisa menteri, bisa wali kota, bupati, bisa profesor, bisa doktor, atau gabungan dari itu.

Artinya, meskipun sebutannya sama, sebagai “warga binaan”, sebagai OT atau napi, jelas terbedakan dari sosial ekonomi. Sangat kontras sehingga penanganannya juga tidak bisa disamaratakan meskipun harus ditegaskan bahwa untuk aturan mendasar harus tetap sama. Bagi “warga binaan”––istilah yang agak menegaskan kekuasaan sehingga mungkin bisa memakai istilah “warga didik”––berlaku hukum yang mudah dimengerti dan dijalani. Ajarilah mereka menggonggong dan mereka akan menjadi anjing.

Ajarilah mereka berkokok dan mereka akan menjadi ayam aduan. Isyarat ini menegaskan bahwa para sipir yang lebih menentukan. Peran sentralnya di sini. Mau diapakan mereka, berada dalam kekuasaannya. Mau diberi fasilitas atau tetap dikunci dalam kamar atau dimasukkan dalam sel (tak boleh dikunjungi, tak boleh keluar kamar untuk buang air atau mandi), ada dalam wilayah para sipir.

Pengertian sipir di sini bukan hanya yang bertugas di lapangan, melainkan juga atasan yang mempunyai jabatan. Karena hierarki sangat dominan. Inilah yang menjadi longgar ketika ada tawaran berbeda dari yang diawasi. Memang sampai di sini menjadi agak ruwet karena seorang pegawai negeri yang patuh, yang rajin, yang menjalankan tugas sebagaimana seharusnya jadi tak dapat tambahan rezeki atau malah disisihkan.

Sidak kali ini––biasanya bocor kalau dari pengawasan intern–– membuka kembali soal klasik. Menurut saya (karenanya tidak diturut juga tak apa), sebenarnya kalau tata krama dan tata nilai selama ini diperlakukan dengan tegas, hal itu bisa mengurangi kemungkinan adanya “apartemen Ayin”. Ini harus dilakukan secara kontinu, benar-benar tegas.

“Apartemen Ayin” bukan tidak mungkin sudah ada penghuni sebelumnya, juga bukan tidak mungkin dipergunakan kembali setelah tiarap sementara. Ini bukan pekerjaan yang selesai ketika media meramaikan–– dan kemudian melupakan. Mekanisme yang terjadi selama puluhan tahun sebelumnya telah mencapai stilisasi atau pencapaian kesepakatan yang berakar. Hal kedua, pendekatan kemanusiaan juga perlu diperhatikan.

Karena kalau benar-benar sesuai peraturan, baik napi atau sipir akan lebih sengsara. Ini akan mengakibatkan terjadinya penyesuaian baru, transaksi baru. Akan lebih baik dan sampai ke target memberantas mafia hukum, khusus soal penjara, tidak dilakukan frontal. Hal lain yang terlupakan adalah bahwa sesungguhnya masih ada perseorangan, masih ada lembaga, institusi, yang dermawan, yang baik hati, yang “terpanggil” membantu sesama.

Baik dari segi moral atau bantuan hukum maupun kehidupan keseharian. Mereka ini bekerja tanpa pamrih dan bukan jenis makelar kasus. Mereka ini biasanya justru mendapat kesulitan ketika berpartisipasi––baik dari peraturan, administrasi atau interogasi.

Kalau ini lebih diberi kesempatan, akan lain pendekatan kemanusiaan yang bisa terus berkesinambungan. Ini yang harus mendapat penekanan. Sebab, benar kata orang, penjara dimaksudkan membuat penghuninya lebih baik. Baik dalam pengertian bertobat atau lebih baik dalam menjalankan kejahatannya.(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan

Opini Okezone 13 Januari 2010