13 Januari 2010

» Home » Kompas » Aneka Aspek Drama Bank Century

Aneka Aspek Drama Bank Century

Kasus Bank Century memang memiliki banyak aspek. Ada kriminal, ada politik terkait dengan kebijakan pemerintah, selain sosial ekonomi karena begitu banyaknya korban yang tertipu lewat Antaboga dan Rp 6,7 triliun dana Lembaga Penjamin Simpanan yang tersedot.
Dalam rangka menegakkan hukum yang berdasarkan kebenaran dan keadilan untuk menghukum yang bersalah, drama Bank Century ini perlu dibagi dalam lima babakan, yaitu penyimpangan sebelum terbentuknya Bank Century, proses mergernya, penyimpangan operasionalnya, kebijakan bailout, dan moral hazard setelah bailout.


Bank Century merupakan merger tiga bank sakit karena salah urus dan diperkirakan telah terjadi tindak pidana perbankan oleh pemilik/manajemen CIC, Pikko, dan Danpac.
Mengapa Bank Indonesia (BI) mengizinkan Chinkara Capital, perusahaan dari Pulau Bahama yang diperkirakan hanya kendaraan untuk maksud tidak baik, mengakuisisi dan memergerkannya? Tiga bank sakit dimerger menjadi satu bank tak akan menjadi lebih sehat karena sumber penyakitnya ada pada pemilik yang mengendalikan manajemennya. Kenapa waktu itu tidak ditutup? Apakah ada kolusi/kongkalingkong/persekongkolan?
Setelah merger menjadi Bank Century, Rafaat menguasai 15 persen saham, Hesyam Al Wareq sekitar 10 persen, Robert Tantular 35 persen, dan saham publik 40 persen. Mengingat tak ada pemegang saham Century lain yang melancarkan protes, patut diduga 40 persen saham publik Bank Century juga dikuasai oleh ketiga orang tersebut.
Praktik penyimpangan di Bank Century terus berlanjut, berupa penyaluran kredit kepada lingkungan pemilik, pembelian mahal commercial paper yang tidak punya rating, penyedotan uang masyarakat melalui berbagai instrumen bank serta laporan palsu kepada BI. Mengingat penyimpangan tersebut berlangsung bertahun-bertahun, perlu dipertanyakan efektivitas pengawasan BI; apakah ada kolusi/kongkalikong/persekongkolan?
Gagal bayarnya Century murni karena mis-management yang ditengarai ada tindak kriminal di dalamnya, berbeda dengan gagal- nya bank-bank pada tahun 1997 yang dipicu oleh krisis ekonomi.
Perlu diaudit
Dalam suasana perekonomian yang rentan di seluruh dunia, gagal bayarnya Bank Century yang kecil bisa berdampak besar. Jika keadaan sedang aman, pasti gagal bayarnya bank Century tak akan memberi dampak apa-apa. Semua masalah besar dunia perbankan di mana pun diawali dengan gagal bayarnya bank kecil yang menyeret bank besar.
Saya menghargai keputusan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur BI Boediono yang telah mengambil tindakan berani (dalam segala kapasitas ilmu yang dikuasainya dan nalurinya sebagai ekonom dengan risiko kredibilitas pribadinya menurun) dengan mem-bailout Bank Century. Kebijakan itu perlu diaudit, tetapi harus berdasarkan logika salah benar yang didasarkan pada situasi yang menghasilkan tindakan itu. Kebijakan bailout telah membuahkan hasil berupa ekonomi nasional tahun 2009 yang relatif stabil, bisa tumbuh relatif tinggi, ketika negara seperti Singapura mengalami kontraksi.
Apakah kalau dahulu Century tak di-bailout ekonomi nasional akan tetap baik, hal itu tak bisa dibuktikan. Benar atau salahnya kebijakan bailout Century dibuktikan dengan kondisi RI saat ini. Kita tak bisa membenarkan bila Sri Mulyani saat itu tak mengambil kebijakan bailout dan kemudian terjadi gejolak moneter seperti pada tahun 1997 yang telah kita bayar amat mahal.
Saya lebih menghargai orang yang berani mengambil keputusan yang diyakininya benar daripada orang yang tidak berani mengambil keputusan demi mempertahankan popularitasnya, tetapi membawa malapetaka bagi bangsa dan negara.
Kecurigaan politik
Sri Mulyani dan Boediono yang dari kapasitas akademik layak dihormati—dua ekonom yang punya trauma pada krisis ekonomi 1997—sedang berada dalam situasi kecurigaan politik; yang wajar muncul karena disinyalir ada pihak yang memanfaatkan situasi dengan melanggar hukum.
Setelah keputusan KSSK mem-bailout Bank Century, diperkirakan muncul moral hazard oleh pemilik dan manajemennya serta pihak-pihak di luarnya. Modus operandinya berupa deposito atau inter-bank loan, atau commercial paper, promesory notes, L/C, dan lain-lain yang fiktif.
Moral hazard serupa pernah kita alami tahun 1997, setelah menteri keuangan waktu itu menyatakan inter-bank loan dijamin pemerintah, muncul banyak inter-bank loan yang perlu dipertanyakan; antara lain antara BDNI dan Bank Bali yang mencapai Rp 700 miliar.
Di Indonesia, para penjahat perbankan-lembaga keuangan umumnya lari ke luar negeri, tak terjamah dan merasa tidak bersalah, seperti Sjamsul Nursalim lewat izin berobat ke luar negeri yang dijamin Jaksa Agung; Joko Tjandra, Hendra Rahardja, Edi Tanzil, dan pemilik Century yang lari hanya satu hari sebelum keputusan cekal dikeluarkan. Apakah tak ada orang dalam yang membocorkannya?
Robert Tantular yang menghebohkan itu adalah kakak Hovert Tantular, yang pada kekacauan perbankan tahun 1997 memakan BLBI Bank Central Dagang. Adiknya, Dewi Tantular, tercatat menipu nasabah dengan produk reksadana di Surabaya. Sulit dimengerti, dengan reputasi yang demikian, BI memberi izin untuk mengelola bank.
Dalam budaya Jawa ada ungkapan ”kacang ora ninggalake lanjarane” dan konsep bobot (kemampuan dan performa individu), bibit (garis keturunan), dan bebet (karakter, moral, keluarga, dan lingkungannya). Konsep ini menegaskan bahwa kelakuan seseorang tak akan jauh dari induk dan lingkungannya.
Memang, bobot kriminal drama Century sangat besar, terkait dengan pemilik, manajemen dan kroninya, serta kolusi yang mungkin ada, yang menjadi tugas KPK, kejaksaan, dan kepolisian untuk mengusut tuntas dan harus dihukum berat. Prosesnya harus transparan agar kemungkinan terjadinya kolusi bisa ditekan. Yang terkait dengan kebijakan pemerintah adalah keputusan merger dan keputusan bailout, yang menjadi kewenangan Pansus Bank Century untuk menelitinya.
Diperlukan kematangan dan integritas para anggota Pansus yang melebihi ukuran rata-rata dan fokus mengangkat kebenaran dan keadilan. Kredibilitas Pansus jangan sampai turun oleh berbagai spekulasi yang ternyata tidak benar atau teriakan kasar anggota Pansus dan rekomendasi penonaktifan Menkeu dan terutama Wapres, yang dari sisi konstitusi sulit mendapatkan pembenaran. Bagaimanapun, kita sekarang menikmati era transparansi hasil dari reformasi.
Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila
Opini Kompas 14 Januari 2010