13 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Proaktif dan Risiko Rumah Sakit

Proaktif dan Risiko Rumah Sakit

Terkait pelayanan, kini terbukti dengan makin kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat, mulai dari pernyataan tidak puas lewat surat pembaca di media massa hingga timbulnya kasus dan risiko tuntutan hukum, baik perdata maupun pidana.

PADA dasarnya rumah sakit (RS) adalah suatu institusi pelayanan kesehatan yang mempunyai misi sosial melayani perorangan secara paripurna tanpa membedakan status sosial ekonominya. Namun kini RS juga bermisi bisnis karena kegiatannya bersifat multiusaha (pelayanan medis, penunjang medis, dan nonmedis) dengan menggunakan ilmu dan alat teknologi canggih yang mahal, serta tempat bernaungnya berbagai SDM profesional medis, paramedis, dan administratif.


Dengan diundangkannya Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS 44/2009), maka antisipasi dan pembenahan penyelenggaraan di setiap RS mutlak diperlukan.

Bahwa penyelenggaraan RS yang baik (good hospital governance) pada dasarnya tidak mudah karena harus berhadapan dengan risiko dan berbagai masalah, baik internal (terutama dana investasi/ operasional, fasilitas medik / nonmedik, dan hambatan kultural/ SDM) maupun eksternal (perubahan peraturan/ UU, persaingan regional dan global, serta makin kritisnya sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan).

Dalam konteks hal yang terakhir ini, terbukti dengan makin kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat, mulai dari pernyataan individu tidak puas lewat surat pembaca di media massa hingga timbulnya kasus dan risiko tuntutan hukum, baik perdata maupun pidana. Kasus Prita Mulyasari, salah operasi dan penculikan bayi di rumah sakit adalah sebagian kecil contohnya.

Terkait dengan UU itu, asas penyelenggaraan RS adalah Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika, dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan antidiskriminasi, pemerataan, perlindungan, dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

Sedangkan tujuan UU itu adalah, di satu pihak mempermudah akses pelayanan serta memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan RS dan SDM di RS, namun di pihak lain juga berusaha meningkatkan mutu serta memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, SDM di RS dan RS tersebut.

Baik RS pemerintah maupun swasta, bertugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Karena itu, izin penyelenggaraan RS harus memenuhi beberapa persyaratan, baik status hukum, bangunan, prasarana, peralatan (medis, penunjang dan nonmedis) maupun SDM (medis, paramedis dan nonmedis). Bagi RS yang tidak memenuhi persyaratan tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin operasionalnya.

Dalam praktik sehari-hari penyelenggaraan RS yang baik harus memenuhi persyaratan organisasi, kepemimpinan, pengelolaan klinik, sistem rujukan, pendanaan, akreditasi, keselamatan pasien serta perlindungan, dan tanggung-jawab hukum.

Sebelum ketentuan Peralihan dan Penutup, pada Bab XIV UU itu tercantum ketentuan pidana, baik penjara maupun denda, yang berlaku bagi perorangan dan korporasi yang terbukti melanggar pasal-pasalnya.

Arah dan tujuan pemberlakuan UU itu sudah jelas demi kebaikan dan kepentingan bersama, baik bagi pasien, masyarakat, SDM di RS maupun RS tersebut. Karena itu, baik pihak pemerintah (pusat dan daerah), praktisi kesehatan, swasta, organisasi profesi (Persi, Permapkin, IDI, PPNI, dan sebagainya) dan unsur masyarakat yang terkait seyogianya  menyamakan persepsi dan ikut berkontribusi aktif dalam mengkritisi dan membantu manajemen RS di sekitarnya agar terwujud peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan pasien.

Salah satu permasalahan UU itu yang penting adalah mengantisipasi triple issues: hospital risk-quality-patient safety, dalam bentuk strategi dan program pelayanan terpadu yang bisa dilaksanakan bersama oleh pimpinan, manajer dan staf fungsional RS (baik medis, paramedis maupun nonmedis), sesuai tupoksi masing-masing. (10)

— Dokter Rochmanadji Widajat SpA(K) MARS, pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daerah Jateng, Ketua Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (Permapkin) Daerah Jateng
Opini Suara Merdeka 14 Januari 2010