13 Januari 2010

» Home » » Menyosialisasikan Bawaku

Menyosialisasikan Bawaku


Oleh Asep Sumaryana
Berbagai kebijakan Pemkot Bandung sering tidak tersosialisasikan dengan baik. Warga mengeluhkan banyak informasi serta kebijakan pemerintah kota yang tidak sampai kepada mereka sehingga terjadi kesalahan komunikasi. Bahkan, penyimpangan pun terjadi pada Program Bantuan Wali Kota Khusus (Bawaku) Pangan. Hal itu terungkap saat open house Wakil Wali Kota Bandung di rumah dinasnya. Dari Rp 52.800 per rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTSPM), hanya diterima Rp 15.000-Rp 20.000 ("PR", 10/1).



Bawaku memang ditujukan untuk membantu ekonomi keluarga warga Kota Bandung. Setiap warga kota yang perlu dibantu dapat didaftarkan sebagai calon penerima manfaat. Kemampuan aparat dalam menerjemahkan menjadi perlu agar jangan sampai yang bukan warga kota mendapat manfaat menyisihkan warga kota. Bisa jadi persyaratan KTP atau Kartu Keluarga menjadi perlu. Hanya, kedua kartu identitas tersebut masih belum mampu menunjukkan kewargaan seseorang. Untuk itu, perlu dicari identitas kewargaan yang lebih akurat dan dipahami aparat agar Bawaku tidak salah sasaran.
Seleksi warga
Sering kali ada warga musiman dengan kepemilikan Kipem. Dengan identitas ini, seseorang seakan sudah memiliki hak sebagai warga kota. Oleh pejabat RT atau RW, penduduk seperti ini bisa dilibatkan dalam beragam program bantuan pemerintah yang diperuntukkan bagi warga. Dengan dasar pertimbangan sebagai warga setempat, "pejabat sosial" ini berkepentingan membantu warganya agar tidak katalangsara. Hanya, perasaan ini menjadi tidak proporsional sehingga dapat menyisihkan warga yang sepatutnya menjadi sasaran bantuan.
Bisa jadi kelompok tersebut tidak lagi masuk kategori penerima manfaat. Agar mendapat bantuan, tidak jarang warga yang kemudian mengubah KIPEM menjadi penduduk tetap dengan KTP dan KK. Hanya, secara emosional, kelompok ini juga tidak terikat erat dengan daerah tempat tinggalnya kini. Ikatan dengan kampung halaman jauh lebih kuat ketimbang dengan tempatnya sekarang. Dampaknya pemenuhan hak senantiasa dicoba diusahakan, sedangkan kewajibannya banyak yang terlupakan. Padahal, warga semestinya merasa punya tanggung jawab terhadap tempat tinggalnya.
Kritera warga sering kali dipahami dangkal sejalan dengan ikatan emosional dengan sesama penduduk yang ada di daerah tertentu. Dengan demikian, Bawaku bisa menjadi alat utang budi penduduk terhadap oknum aparat. Dengan pertimbangan rumah kumuh dan menempel di bibir sungai, misalnya, seseorang bisa mendapat bantuan kendati sebenarnya bukan warga Kota Bandung. Bagi penerima manfaat, bantuan tersebut seperti mimpi sehingga bisa mengganggu program pemerintah yang lain seperti Program Kali Bersih atau Pembersihan Sungai dari Rumah Kumuh.
Faktor komunikasi
Berangkat dari pemikiran Edwards III (1980), komunikasi menjadi penting dalam implementasi kebijakan termasuk Bawaku. Komunikasi, menurut Edwards III, berada dalam ranah organisasi pelaksana kebijakan. Dalam Bawaku, pelaksana kebijakan berantai dari mulai pemkot sampai kelurahan yang kemudian ditularkan kembali ke RW dan RT sebagai pejabat yang berada di bawah koordinasi kelurahan. Posisi ini mengisyaratkan perlunya komunikasi vertikal dan horizontal dalam pelaksanaan tugas tersebut.
Pemahaman atas kebijakan Bawaku yang dimiliki pejabat pemkot mesti sama dengan yang ada dalam benak RT. Hal demikian menuntut adanya transmisi dari hulu sampai hilir yang baik. Untuk memudahkan pemahaman, kejelasan menjadi perlu agar sebuah implementasi Bawaku tidak ada yang disembunyikan atau disamarkan. Kesamaran bisa memberi peluang penyimpangan. Kesamaran ini bisa terjadi akibat komunikasinya terpotong-potong sesama pelaksana kebijakan. Atau akibat item yang tertulis dalam kebijakan tidak dituntaskan pemahamannya.
Kejelasan menjadi terganggu jika pelaksanaannya diwarnai inkonsistensi. Oleh karena itu, konsistensi diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan setelah transmisi dan kejelasan dilakukan. Terjadinya inkonsistensi bisa menodai kebijakan yang diluncurkan. Dampaknya bisa menodai pula nawaetu pencetus kebijakan. Anjloknya penerimaan Bawaku, bisa menodai wali kota sebagai pemberi bantuan atau bisa saja wali kota dituduh membiarkan penodaan ini berlangsung sistematis. Tindakan tegas menjadi perlu setelah rangkaian komunikasi dilakukan agar tidak nila setitik rusak susu sebelanga.
Tampaknya benar jika sosialisasi menjadi gangguan dalam Bawaku. Komunikasi menjadi penting dalam sosialisasi agar semua jelas dan konsisten. Persyaratan dan kriteria orang penerima bantuan perlu jelas. Warga kota yang miskin perlu dibantu dan jangan sampai tersisihkan oleh warga luar kota yang justru menambah persoalan di kota ini. Konsistensi untuk memberikan bantuan tidak boleh disusupi oleh perasaan yang tidak proporsional, baik di level pejabat hulu ataupun aparat hilir. Semua perlu seragam melalui transmisi yang sehat agar penyimpangan bantuan tidak lagi berulang.***
Penulis, Sekretaris LP3AN dan Lektor Kepala pada Jurusan llmu Administrasi Negara FISIP Unpad.
Opini PIkiran Rakyat 14 Januari 2010