13 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Delik Prahara Pemenjaraan Artalyta

Delik Prahara Pemenjaraan Artalyta

KEGUNCANGAN politik pemenjaraan di Indonesia kini sedang terjadi. Artalyta Suryani alias Ayin, ternyata bisa menikmati fasilitas mewah di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu Jakarta Timur. Penghakiman publik pun mulai mengarah agar terjadi perbaikan dalam sistem pemenjaraan yang selama ini dianggap tertutup menjadi terbuka.

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar akhirnya turun tangan lewat inspeksi mendadak (sidak) di beberapa rutan dan lembaga pemasyarakatan (LP). Langkahnya itu kemudian diikuti oleh personel Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. 


Satgas Antimafia Hukum, sebutan lain untuk satuan tugas itu,  sudah memperoleh banyak informasi bahwa ada ”istana” di dalam penjara yang diduga mengarah pada permainan uang antara narapidana dan oknum petugas rutan dan LP. Maka, secara sekilas pembuktian akumulasi informasi itupun terjadi bahwa di balik ketertutupan tersimpan rahasia besar adanya fasilitas khusus bagi narapidana yang diistimewakan sebagaimana di Rutan Pondok Bambu.

Ada beberapa aspek realitas ketidakadilan di seputar ramainya pemberitaan media tentang dugaan kastanisasi narapidana oleh petugas rutan dan LP. Pertama, kasus ramainya pemberitaan Rutan Pondok Bambu yang telah dominan merebut perhatian publik, pada saat yang sama justru menunjukkan adanya sistem penganggaran dan kebijakan turun-temurun yang tidak memedulikan realitas buruknya keadaan fisik dan keadaan sosial penjara.
Tanpa disadari, keterbukaan akses dunia luar masuk ke dalam penjara pada akhirnya akan membenarkan bahwa keadaan over capacity dan minimnya anggaran untuk biaya hidup narapidana harus diperbaiki.

Kedua, kasus ramainya pemberitaan yang cenderung mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa fasilitas tertentu dapat dinikmati oleh sekelumit narapidana atau tahanan, akan mengarahkan pada perlunya rumusan standar bangunan yang layak secara kemanusiaan terhadap penghuninya. Realitas itu selalu sangat multidimensional karena lingkungan fisik yang buruk jelas akan memengaruhi tingkat kesehatan mental seseorang.

Artinya, jika fasilitas buruk yang selama ini bertahan di penjara dan dikontraskan adanya ruangan ”hotel”, tentu pihak LP atau rutan berupaya menghadirkan sisi-sisi lain untuk membantu narapidana atau tahanan keluar dari keadaan ketertekanan dan kehidupan yang lebih sehat. Dari sinilah delik prahara kepentingan bermain.

Kita saat ini melihat betapa banyak perbedaan antara idealita dan realita yang berlangsung dalam bangunan sistem pemenjaraan. Kasus tertembaknya sipir penjara yang disusul dengan kaburnya narapidana dari LP Sukamiskin, Bandung, Minggu, Desember 2009, mengagetkan banyak kalangan. Kenyataan ini pada akhirnya menjadi contoh bahwa hampir di semua LP dan rutan di Indonesia, tekanan lingkungan baik fisik maupun sosial menjadi hal yang sangat memengaruhi napi dan tahanan untuk kabur. Pada sisi lain sistem pengamanan tidak berjalan maksimal karena terkendala anggaran dan prosedur.

Hal ini sebagaimana studi Jencks dan Mayer, The Social Consequences of Growing Up in A Poor Neighborhood (1990) yang menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang erat antara kriminalitas dan lingkungan fisik yang buruk karena menyangkut penurunan tingkat kesehatan mental bahwa tidak ada kebermaknaan hidup yang dirasakan. Ketidakbermaknaan tersebut misalnya diungkapkan oleh Menkumham bahwa  napi dan tahanan bagaikan ikan sepat yang dipaksa menghuni ruangan sempit, jangankan tidur, untuk berbaring juga susah.

Dalam kebeningan pikiran dan nurani, setiap manusia terlahirkan dalam keadaan yang suci. Keterbatasan berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik yang kiranya memiliki peran menjadikan adanya perubahan potensi menjadi buruk. Hal demikian menjadi salah satu ciri terpenting peradaban agama-agama dalam memberikan perhatiannya terhadap penghargaan hak-hak asasi manusia, melalui peningkatan kualitas diri manusia berupa tradisi keagamaan.

Berdasarkan filsafat Pancasila dan karakteristik masyarakat Indonesia yang berketuhanan, sangat dimungkinkan mobilisasi ritual keberagamaan di dalam LP dan rutan adalah representasi pembumian aspek kemanusian yang adil dan beradab sebagaimana dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Suatu perubahan orientasi politik pemenjaraan dari sistem hukuman berubah menjadi sistem pemasyarakatan bernuansa pembinaan.

Karena itu, kini berkembang sistem pembinaan narapidana dengan orientasi yang berbasis di masyarakat (community-based corrections). hal itu sekaligus menjadi pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan dan tentunya dapat didukung dengan terjalinnya skema kerja sama sekaligus lahirnya legal formal mengenai sistem pemsyarakatan Indonesia (sipasindo) yang membutuhkan hubungan mutualisme antara narapidana, petugas, dan masyarakat. Hal ini guna mengimbangi muatan moralis dan agamais serta keterampilan hidup bagi narapidana karena cetak biru  kelahiran sistem pemasyarakatan, 27 April1964, adalah mencerdasakan kehidupan bangsa serta menyebarkan perdamaian sosial dan lingkungan dalam ide pengayoman.

Sintesis antara kebermaknaan hidup bagi narapidana dengan politik pemenjaraan demikian memiliki persamaan langkah atas lebih dulunya para narapidana dan tahanan bisa kuliah sebagaimana LP Kelas 1 Cipinang Jakarta yang telah membuka Fakultas Hukum, bekerja sama dengan Universitas Bung Karno.

Bahkan setidaknya hampir semua LP telah memiliki sekolah pembinaan. Sekolah ini terselenggara hasil kerjasama antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Depkumham dan  Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, yang disebut dengan program kegiatan belajar mengajar (PKBM) bagi narapidana. Namun proses yang tanpa pengawasan masyarakat karena pola ketertutupan politik pemenjaraan menjadikan program tersebut jalan di tempat.

Pidana penjara dimaksudkan agar pelaku tindak kriminalitas pidana menyadari kesalahan dan memperbaiki diri agar kembali menjadi manusia yang baik. Di sinilah terjadi kesesuaian antara model pembinaan politik pemenjaraan nasional dan konsep tobat. Karena tobat merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk membersihkan diri dari berbagai bentuk kesalahan dan dosa secara teologi. Tobat  dalam pandangan Islam misalnya, berarti rujuí atau kembali pada perbuatan-perbuatan yang baik atau lebih baik. Dalam sistem pemasyarakatan berarti mampu berinteraksi kembali dengan masyarakat setelah melaksanakan tuntutan keadilan.

Jika dilihat dari dari sudut ini, sangat ironis kenyataan interaksi sosial yang terbangun di masyarakat cenderung memberikan stigma negatif terhadap bekas narapidana atau tahanan. Ketiadaan dukungan sosial pada akhirnya menciptakan stress-full yang membuat terasingnya bekas narapidana untuk mengubah diri, yang justru akan berimplikasi negatif dalam melakukan tindakan kriminal agresif.

Tindakan agresif ini dapat dipengaruhi dua faktor dominan, yaitu karena naluri alamiah mencari kebermaknaan diri atas orang lain yang tidak ditemukan dan faktor situasional yang mendukung adanya penguatan (reinforcement) atas tindakan agresif tersebut. Sehingga sering ditemukan narapidana yang langganan keluar masuk penjara.

Mengacu pada landasan tersebut, memasukkan internalisasi kebermaknaan narapidana di tengah lingkungan sosialnya menjadi tugas berat instansi Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Pemasyarakatan. Perlu dipikirkan bagaimana menghilangkan suasana ketertekanan dengan diimbangi adanya proses pembinaan yang terintegralistik antara keterampilan dan nuansa keagamaan.

Paling tidak, realita îkeistimewaanî yang terjadi di Rutan Pondok Bambu adalah bagian dari upaya menghilangkan ketertekanan hidup narapidana secara sosial kendati belum didukung formula yang tepat sehingga dianggap sebagai penyimpangan. (10)

— Muh Khamdan, fungsional Widyaiswara BPSDM Kementerian Hukum dan HAM
Opini Suara Merdeka 14 Januari 2010