28 Januari 2010

» Home » Kompas » Pansus dan Politik Disrupsi

Pansus dan Politik Disrupsi

Zaman pascamodernisme kadang-kadang terasa menggelikan. Tatkala para pemikir besar sibuk menolak hakikat atau klaim fondasional, kapitalisme lanjut menjajakan bir tanpa alkohol, kopi tanpa kafein, dan kola rendah kalori.
Tidak ketinggalan, demokrasi tanpa demokrat atau—boleh juga—demokrat tanpa perilaku demokratis. Lihat saja liputan dan opini di surat kabar.


Beberapa anggota Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century dinilai kurang bisa menjaga etiket, baik dalam melontarkan pertanyaan kepada saksi dan ahli maupun ketika mengadakan komunikasi lisan antarpara anggota DPR (Kompas, 14/1/2010 dan 20/1/2010). Bahkan, ketika hal serupa terulang, disebutkan pula nama-nama anggota Pansus yang perilakunya tidak etis (Kompas, 22/1/2010). Padahal, kompetensi retoris dan etis dalam berwacana merupakan prasyarat penting bagi berlangsungnya tata kelola yang demokratis (Christopher Lyle Johnstone, 1995).
Diskursus praktis
Pelaksanaan hak angket tentang kasus Bank Century sebenarnya dapat dikategorikan sebagai diskursus rasional tentang sebuah hal praktis (Alasdair Mac Intyre, 2006). Wacana itu tidak pertama-tama memperdebatkan dogma religius, pandangan ideologis, doktrin komprehensif (John Rawls, 2005) atau hypergoods (Paul Ricoeur, 2007). Betapa pun sukar menilai tepat tidaknya kebijakan penalangan, ataupun mengenai ke mana saja dana mengalir, diskusi ini seharusnya dapat berakhir pada sebuah konsensus.
Dalam kaitan dengan diskursus tentang hal praktis, ada dua jenis tindakan yang melanggar etika demokrasi. Tindakan yang pertama ialah membungkam lawan bicara, yang kedua ialah tindakan mengacaukan, disrupsi, jalannya pembicaraan. Kadang-kadang, pembungkaman dilakukan karena kekhawatiran akan munculnya pengacauan. Kadang-kadang, pengacauan dilakukan karena muncul bayang-bayang pembungkaman.
Untunglah, di negeri ini sejak era Reformasi, taktik pembungkaman masih relatif dihindari. Mungkin karena Orde Baru masih terlalu dekat sehingga baunya masih cukup menyengat. Namun, yang mengkhawatirkan ialah taktik yang bernama pengacauan mulai laku di pasaran. Bahkan, para spesialisnya sudah mulai dapat diidentifikasi.
Kalau pada zaman Orde Baru klasifikasinya ialah ”vokal” atau tidak, sekarang klasifikasinya ialah—katakanlah jargon politik kita pada awal Republik—”pokrol bambu” atau tidak. Mereka yang ”vokal” pada masa Orde Baru berani bersikap kritis; kalau perlu, menentang penguasa. ”Pokrol bambu” masa kini berani ”pasang badan”; kalau perlu, mengucapkan kata-kata atau speech acts yang ”tidak mencerdaskan bangsa”.
Dalam diskursus rasional tentang hal praktis, ada pelbagai cara untuk menerapkan disrupsi taktis. Kata-kata tidak sopan dapat dilayangkan, tak peduli bahwa diskusi diliput televisi dan ditonton oleh rakyat seantero negeri. Dalam taktik yang di bangku kuliah disebut argumentum ad hominem, politisi pokrol bambu mempersoalkan motif saksi atau ahli, dan bukan penjelasan yang diberikan. Dalam taktik yang disebut argumentum ad baculum, politisi pokrol bambu mengancam dan mengintimidasi, mungkin dengan gaya halus orang berdasi.
Spiral pembodohan
Setidaknya sudah dapat diprediksi adanya tiga konsekuensi dari taktik disrupsi dalam diskursus demokratis. Pertama adalah benar bahwa politik selalu berurusan dengan kepentingan dan kekuasaan. Adanya kepentingan partai tidak perlu diingkari. Namun, yang tak boleh dilupakan ialah ada pula kepentingan nasional, cita-cita nasional, tujuan nasional. Bolehkah kepentingan politik partai bertentangan dengan tujuan nasional? Bolehkah perilaku taktis partai untuk mencapai kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan itu bertentangan dengan visi besar nasional yang telah diletakkan para pendiri bangsa?
Apa pun kepentingannya, taktik disrupsi dalam diskursus rasional dan nasional yang diperlihatkan oleh sementara politisi itu mencegah kita mencapai tujuan ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Taktik semacam itu juga melecehkan kemanusiaan kita ”yang adil dan beradab”.
Kedua, taktik disrupsi akan mencederai demokrasi. Karena apa? Publik pemilih akan merasa muak dan mulai berpikir, ”Kalau tahu akan begini, lebih baik pada hari pemilu dulu kita tak pergi ke TPS, lebih baik pergi berekreasi.” Demokrasi akan menjadi konsensus dari sejumlah kecil orang yang mengatasnamakan seluruh negeri. Pada akhirnya, kita akan kembali kepada Orde Baru jilid dua. Demokrasi hanya menjadi hiasan indah untuk memperoleh simpati dalam hubungan dengan luar negeri.
Ketiga, bagi partai-partai yang dengan sengaja menabur taktik disrupsi, sebenarnya penerapan itu mengandung risiko juga. Risiko itu ialah, kemungkinan, pada pemilu berikutnya, partai itu ditinggalkan konstituennya. Siapa menabur angin akan menuai badai. Namun, siapa takut? Risiko itu hanya nyata apabila pemilih kita rasional. Pemilih yang rasional pun bisa diiming-imingi atau ditakut-takuti.
Kalau begitu, yang akan terjadi sebagai konsekuensi dari taktik disrupsi ialah spiral pembodohan. Itu akan membuat tujuan nasional semakin jauh dari jangkauan dan hormat terhadap para pendiri bangsa hanya berlangsung pada hari pahlawan.
Alois A Nugroho Guru Besar Filsafat, Staf Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Universitas Indonesia
Opini Kompas 29 Januari 2010