28 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Prospek Keluar dari ACFTA

Prospek Keluar dari ACFTA

Oleh Huala Adolf
Suara pesimistis dari asosiasi dagang terhadap kesepakatan dagang ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) terus mengalir. Dalam dengar pendapat di DPR, 18 Januari 2010, 18 asosiasi sudah menyatakan tidak siap menghadapi produk Cina pascapemberlakuan ACFTA 1 Januari 2010.
Pengusaha pun melihat infrastruktur yang ada sekarang tidak mendukung dalam menghadapi pasar bebas. Tidak tersedianya listrik adalah salah satu contoh yang cukup memukul industri dalam negeri.
Reaksi logis dari ancaman masuknya produk Cina umumnya hampir sama. Mereka meminta pemerintah menunda ACFTA. Penundaan penting agar pengusaha lokal dapat mempersiapkan dan menyusun strategi lebih matang. Dagang, dalam kamus pengusaha, adalah perang.

Ada pula kalangan yang meminta pemerintah keluar saja dari ACFTA. Tipis kemungkinan pengusaha kita dapat bersaing dengan produk Cina. Daripada babak belur kemudian, kita keluar saja dari ACFTA. Usul ini harus kita maklumi. Sejak awal pada negosiasi ACFTA, pengusaha kurang dilibatkan. Negosiasi ACFTA berlangsung antara negara dan negara. Pihak yang terlibat dalam perundingan adalah delegasi pemerintah.
Masalahnya adalah, apakah mungkin negara yang telah terikat pada kesepakatan internasional, seperti ACFTA, menarik diri secara sepihak?
Prinsip yang berlaku, kesepakatan menghasilkan ikatan hukum. Negara yang telah menyatakan persetujuannya terikat oleh hasil dari kesepakatan itu. Apa yang disepakati bersama mengikat bagaikan hukum bagi mereka yang membuatnya.
Kesepakatan
Isu sentralnya adalah, apakah ACFTA mengatur soal pengunduran diri anggotanya?
Negara-negara anggota ASEAN dan Cina sepakat membentuk perdagangan bebas dalam pertemuan tingkat tinggi di Brunei Darussalam 2001. Keputusan ini diikuti pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China 2002. ASEAN dan Cina terikat pada kesepakatan ACFTA ini. Indonesia terikat melalui pengesahan kesepakatan dengan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA.
Dari keenam belas pasalnya, Framework Agreement 2002 tidak mengatur pengunduran diri anggota. Aturan hukum internasional yang dapat memberi jalan untuk masalah ini adalah Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Pasal 1 Konvensi Wina menyatakan antara lain bahwa perjanjian (internasional) adalah suatu kesepakatan internasional yang dibuat negara-negara secara tertulis dan diatur oleh hukum internasional.
Arti batasan perjanjian mensyaratkan adanya kesepakatan untuk membuat perjanjian. Di balik itu, perlu pula kesepakatan untuk mengakhiri perjanjian. Artinya, tidak dapat suatu negara membuat keputusan sendiri. Kalau seorang saja yang menyatakan dirinya tidak terikat dan keluar sendiri, ia dapat dianggap melanggar kesepakatan atau perjanjian.
Oleh karena itu, untuk dapat keluar atau menarik diri dari ACFTA, kesepakatan dari seluruh negara ACFTA, termasuk khususnya raksasa ekonomi Cina, harus ada. Untuk mendapat kesepakatan bersama ini tidaklah mudah.
Prospek keluar dari ACFTA pun perlu langkah dalam negeri yang konkret. Pertama, bukti konkret adanya kerugian atau kerusakan produk dalam negeri harus ada. Sejauh ini, belum ada suara yang sama dari negara anggota ASEAN lainnya mengenai efek "tsunami" dari ACFTA. Kedua, pemerintah harus juga mencabut hukum nasional pemberlakuan ACFTA di dalam negeri, yaitu Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2004.
Gandeng Cina
Kesepakatan ACFTA telah berlaku. Kita telah meratifikasinya menjadi bagian dari hukum nasional kita. Mau tidak mau, suka tidak suka, itulah kenyataannya. Masuknya produk Cina sulit dihindari. Kapal-kapal raksasa bermuatan produk Cina sudah merapat di pelabuhan kita menunggu diturunkan. Apa yang dapat kita lakukan?
Kekuatan ekonomi Cina tidak lama lagi menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Cadangan devisa negara itu segera mencapai dua triliun dolar AS, suatu angka fantastis. Dari data itu, apakah kita akan berdiri di dalam atau di luar ACFTA, kita akan tetap berhadapan dengan sang naga.
Langkah yang perlu kita lakukan adalah jangan memandang ACFTA sebagai wadah bersaing dengan Cina. Jadikan ACFTA sebagai kesempatan untuk menggandeng Cina untuk pertumbuhan ekonomi dan dagang kita.
Tunjukkan dampak kerugian dari adanya ACFTA. Rundingkan masalah ini dan negosiasikan dengan Cina apa yang Cina dapat lakukan untuk mengompensasi kerugian atau dampak dari ACFTA. Ahli strategi militer Sun Tzu mengatakan, kalau kita tidak bisa melawan lawan, jadikan kawan! ***
Penulis, guru besar pada Universitas Padjadjaran.

Opini Pikiran Rakyat 29 Januari 2010