28 Januari 2010

» Home » Lampung Post » Kritik Diri Agamawan

Kritik Diri Agamawan

Muslim
Alumnus IAIN Raden Intan Lampung, Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) Cabang Bandar Lampung
Kehidupan beragama kita kembali dihentak. Sebab, Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMPPP) se-Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang cukup membingungkan: mengharamkan foto sebelum menikah (prawedding), rebonding, dan melarang tukang ojek membawa penumpang wanita (Lampung Post, [21-01-10]).


Setali tiga uang dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2008, misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram tentang rokok. Sedangkan pada 2005, lembaga kumpulan ulama ini memfatwa sesat paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme, hingga memberikan label "kafir" kepada Jaringan Islam Liberal (JIL) karena menyokong tiga gagasan besar itu dan dianggap telah melenceng jauh dari keberagamaan umat Islam secara umum.
Tak hanya berhenti pada pemberian label "kafir" atau "murtad" yang diteriakkan MUI. Vonis itu juga malah menjurus kepada perilaku destruktif yang menimbulkan kekerasan secara massal. Sebab, masyarakat yang tidak mengerti dasar hukumnya dengan jelas akan bertindak cepat melaksanakan perintah "membunuh orang kafir!"
Tentu masih segar dalam ingatan kita--untuk menyebut beberapa contoh--bagaimana Ulil Abshar-Abdalla, koordinator JIL, atau Yusman Roy, yang menerapkan salat dengan membaca ayat sekaligus terjemahannya, didakwa kafir. Tragisnya, vonis itu memunculkan serangkaian aksi kekerasan, seperti caci maki, kutukan, bahkan ancaman teror yang tak bisa dielakkan lagi. Tragedi Monas pada 2008 adalah dampak paling gamblang darinya.
"Menghalalkan darah orang kafir", merupakan slogan yang akan selalu mengiringi saat fatwa itu lahir. Wajar, jika kemudian timbul kekerasan dan penghakiman yang tak beradab dari masyarakat. Karena memang, meski Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia, pemahaman keagamaannya belum mencapai taraf kedewasaan. Masyarakat kita belum mampu menerima perbedaan paham teologis dan menghargai kemanusiaan sebagai ruh perdamaian.
Itulah realitas kehidupan beragama di tanah yang tengah kita pijak ini. Keberagamaan yang masih berkutat pada "kulit" dan tidak menyentuh "isi". Dengan kata lain, agama(wan) hanya melulu memperdebatkan hal-hal yang kurang terasa manfaatnya bagi masyarakat, khususnya level bawah yang tertindas.
Buktinya, sampai saat ini kita belum pernah mendengar pandangan MUI atau lembaga elite-elite keagamaan lainnya, ihwal kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan yang kerap menimpa sebagian (besar) masyarakat. Misalnya, apa yang dilakukan MUI atas kasus Prita Mulyasari atau musibah yang menimpa Mbok Minah hingga keduanya harus merasakan panasnya kursi persidangan? Sedangkan di luar sana ada koruptor yang dengan leluasa menggerogoti uang rakyat dan tak tersentuh oleh tangan hukum.
Tak hanya sampai di situ. Gugatan lain yang kemudian muncul adalah kenapa fatwa yang acap ditasbihkan hanya mengarah kepada rakyat bawah? Kenapa tidak menyikapi ihwal harga bahan pokok masyarakat yang kian mahal? Kenapa MUI tidak mengeluarkan fatwa haram hukumnya bagi pemerintah yang tidak menyediakan lahan bagi pedagang kaki lima (PKL) dan pemukiman yang layak bagi mereka yang tinggal di kolong jembatan?
Ada sekian ribu persoalan umat yang mesti dicarikan solusinya dengan segera. Ihwal kemelaratan yang kian meningkat, tidak adanya lahan pekerjaan, kurang meratanya akses pendidikan, sampai ketidakadilan yang selalu menimpa rakyat jelata. Di sisi lain, sifat manusia yang cenderung berlaku destruktif pun semakin ramai. Tawuran antarpelajar, maraknya seks bebas, hingga tindak kekerasan dalam masyarakat telah menjadi pemandangan lazim yang kerap kita pergoki di koran maupun televisi. Lalu, apa penyebabnya?
Penyebab utamanya adalah masalah ekonomi. Sebab, urusan perut kerap membuat seseorang kehilangan akan dan kewarasan. Sehingga, apa pun akan dilakukan asalkan perut kenyang. Selain itu, beragam aksi massa yang terurai di muka juga merupakan dampak yang nyata dari absennya agamawan untuk terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat bawah. Mereka terlihat lebih asyik pada kehidupan yang serbamewah, menggelar seminar di hotel berbintang, dan melaksanakan ritual haji setiap tahunnya.
Padahal, agama bukan hanya sebuah sistem di mana seorang hamba mesti memusatkan pikirannya pada kesalehan ritual semata. Namun, agama juga merupakan suatu proses sosial di mana seseorang terlibat dalam relasi dengan orang lain. Karena itu, agama-agama selalu mempunyai komunitas. Aspek komunitas ini membawa tanggung jawab sosial umat beragama, yang membuat seseorang tidak dapat menutup mata terhadap nasib dan kehidupan orang lain (Ignas Kleden, 2001).
Dengan demikian, agama tidak dapat dijadikan pengekang atas segala perilaku manusia. Apalagi, ia dipakai sebagai alat legitimasi untuk membenarkan kehendak sebagian (besar?) agamawan yang cenderung berpihak kepada kekuasaan. Seharusnya, agama menjadi sanctuary (tempat berlindung) bagi segenap pemeluknya yang tak pernah mendapatkan akses untuk menjalani kehidupan secara layak.
Kegagalan agamawan dalam memahami teks-teks Kitab Suci yang lahir empat belas abad silam, untuk kemudian ditransformasikan hingga mampu memenuhi kebutuhan sosiokultural dan memberikan pencerahan atas problem struktural masyarakat, memunculkan sebuah pemikiran bahwa sudah saatnya untuk segera mereposisi peran mereka sebagai produsen fatwa.
Agamawan yang tidak hanya pandai berkhotbah dan mengajak jamaahnya untuk bersabar dalam setiap permasalahan; menyuarakan keadilan bagi mereka yang (di)miskin(kan) dan (di)marginal(kan) dari "menara gading"; dan melulu berkutat pada persoalan teologis-metafisik yang sebenarnya tak dapat membawa rakyat jelata terbebas dari kelaparan.
Alhasil, hal paling esensial yang mesti segera diperhatikan adalah bagaimana agamawan itu tidak hanya pandai mengeluarkan fatwa-fatwa yang kurang terasa manfaatnya oleh masyarakat. Akan tetapi, mereka harus lebih fokus untuk melakukan gerakan revolusioner-emansipatoris terhadap mereka yang tergilas. Bersedia melazimkan diri masuk ke dalam segala lini kehidupan rakyat bawah dan memahami penyebab sistemik atas problem struktural yang menyebabkan mereka lemah

Opini Lampung Pos 29 Januari 2010