28 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Mengevaluasi Kinerja

Mengevaluasi Kinerja

Oleh CECEP DARMAWAN
Peringatan seratus hari kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dibayang-bayangi demonstrasi berbagai elemen di ibu kota. Program 100 hari pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II ini dinilai kurang memuaskan publik. Beberapa program yang populis pun nyaris tidak terkomunikasikan kepada rakyat dengan baik. Kondisi ini disinyalir tenggelam oleh gunjang-ganjing politik seputar kasus dana talangan (bailout) Bank Century dan konflik KPK versus Polri yang belum berujung serta berbagai kasus hukum yang dinilai kontraproduktif.

 

Ali Mochtar Ngabalin dari Gerakan Indonesia Bersih (GIB) mengatakan, pemerintahan telah gagal melindungi kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional. Bahkan, menurut dia, di samping gagal mempertahankan penerimaan negara yang seharusnya untuk subsidi rakyat karena APBN terbebani utang luar negeri, pemerintah dinilai gagal menegakkan hukum yang ditandai dengan kemerosotan wibawa aparatur penegak hukum.
Begitu pula penilaian Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki yang kurang puas atas prestasi seratus hari kerja Yudhoyono-Boediono yang diakibatkan oleh pemberantasan korupsi yang secara eksplisit tidak dijadikan sebagai pilihan utama dari 15 program unggulan seratus hari pertama kinerja KIB II.
Meski evaluasi kinerja 100 hari pemerintahan Yudhoyono-Boediono tidak akan cukup memberikan ilustrasi yang objektif, publik tetap berharap pada seratus hari itulah pemerintah membekaskan harapan yang positif. Alih-alih citra pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, justru kasus-kasus korupsi yang menjerat pejabat publik semakin hari kian terungkap. Tentu saja kita pun harus objektif bahwa pemerintahan Yudhoyono tidak mungkin bekerja optimal tanpa bantuan para menteri dan aparatur di bawahnya.
Begitu pula pemerintah kurang meninggalkan kesan politik positif, khususnya sektor ekonomi, hukum, dan penanggulangan kasus-kasus korupsi yang menyeret pejabat publik. Padahal dengan modal politiknya, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono semestinya mulai menampakkan ketegasan kebijakan dengan menekan para menterinya agar melakukan kinerja yang maksimal khususnya menyangkut pelayanan publik. Kabinet yang diusung Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ini merupakan transisi pemerintahan, tetapi sekaligus retransaksi politik di antara kepentingan elite politik. Alasannya, koalisi yang dibangun ketika pilpres menyebabkan beban politik yang berat bagi Yudhoyono. Sikap akomodatif itu ternyata tidak tampak ketika diaduhadapkan dengan kasus dana talangan Bank Century.
Atas dasar itulah, pemerintahan Yudhoyono-Boediono dinilai kurang mampu membangun kerja sama politik dengan kekuatan parlemen. Sikap ambivalensi para politisi di DPR sangat kental bernuansa politik partai untuk membangun pencitraan publik bahwa DPR bisa kritis terhadap pemerintah.
Pascaseratus hari, pemerintahan Yudhoyono akan dihadapkan dengan berbagai persoalan politik lokal. Tahun 2010 merupakan tahun pembuka pesta demokrasi lokal selepas Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Sebutan itu dirasa tidak berlebihan mengingat pada 2010 akan digelar agenda pesta demokrasi (pemilu kepala daerah) di 246 daerah, terdiri atas 7 pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 204 pemilihan bupati dan wakil bupati, serta 35 pemilihan wali kota dan wakil wali kota. Di Provinsi Jawa Barat, pesta demokrasi lokal 2010 akan digelar di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok.
Sementara itu, isu tentang reshuffle kabinet juga akan mewarnai 2010. Isu ini terkait dengan tarik-menarik kepentingan politik partai yang berkuasa yang membidik kursi-kursi kabinet. Diprediksi akan terjadi pergeseran kursi dan wajah baru di kabinet, pascakasus Bank Century. Multipartai dan atau budaya politik yang ada selama ini, tampaknya belum mampu menjadi katalis kebangkitan dan percepatan peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia. Hal yang masih tampak adalah dendam politik, pragmatisme politik, sektarianisme politik, dan busuknya perilaku politik sebagian elite politik kita. Perilaku politik dan atau karakteristik politik tersebut, sejatinya harus segera dihentikan, dan kita semua –tanpa terkecuali—harus bangkit menuju tatatan sistem dan budaya demokrasi yang efektif dan dewasa.
Menutup 2009 dan membuka perjalanan 2010, kehidupan politik bangsa ini tidak akan mengalami stagnasi. Justru banyak pihak memprediksi pada 2010, peristiwa politik dengan berbagai dampaknya akan menghangat sesuai dengan semakin tingginya tuntutan politik dari publik terhadap janji-janji kampanye wakil rakyat maupun janji-janji presiden-wakil presiden ketika melakukan kampanye politik di 2009. Pada akhirnya atmosfer politik 2010 tetap diwarnai berbagai konflik elite, demonstrasi dan unjuk rasa seiring dengan penambahan kuantitas pengangguran, terjadinya krisis energi listrik, serta serbuan barang-barang dan hasil pertanian impor khususnya dari Cina. Oleh karena itu, diperlukan kearifan Yudhoyono-Boediono, para menteri dan pemimpin bangsa lainnya pada semua level dan kesalehan masyarakatnya agar bangsa ini terhindar dari musibah dan azab.
Kita berharap pascaseratus hari Yudhoyono-Boediono bekerja menjadi titik bangkitnya kesadaran politik kolektif pemimpin bangsa untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat.***
Penulis, Peneliti Kajian Politik dan Dosen Program Doktor SPS Universitas Pendidikan Indonesia.
 
Opini Pikiran Rakyat 29 Januari 2010