28 Januari 2010

» Home » Solo Pos » UN perlu, tapi bukan penentu

UN perlu, tapi bukan penentu

Kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional (UN) masih menjadi polemik. Akhirnya diputuskan, UN 2010 jalan terus. Bagaimana menyikapi dan mengimplementasikan di daerah? Berikut rangkuman hasil diskusi yang digelar SOLOPOS, bertema Menyikapi kontroversi UN di daerah, dilaporkan Pardoyo/Litbang SOLOPOS.

Sejak digulirkan pada 2002, pelaksanaan UN terus menimbulkan polemik. Bahkan, pemerintah telah digugat elemen masyarakat atas nama siswa, walimurid, guru, dan pemerhati pendidikan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Juli 2006. Tragedi demi tragedi pun terus terjadi. Korban berjatuhan. Misalnya, kasus siswa Kelas III SMPN 1 Kerjo, Karanganyar, yang gantung diri karena tidak lulus UN.


Akhirnya Mahkamah Agung (MA), pada 25 November 2009, melarang UN dan menolak kasasi yang diajukan pemerintah. Isi keputusan itu, para tergugat yakni Presiden, Wapres, Mendiknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan dan hak-hak anak.
Putusan itu juga meminta tergugat meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah, sebelum mengeluarkan kebijakan UN lebih lanjut. Para tergugat juga diperintahkan meninjau kembali sistem pendidikan nasional
Melalui rapat kerja Komisi X DPR dengan Mendiknas M Nuh, Rabu (27/1), diputuskan UN jalan terus. Penyelenggaraan UN 2010 dipastikan tetap sesuai jadwal, dengan perbaikan dalam pelaksanaannya. UN digelar Maret 2010, dan bagi yang gagal masih ada kesempatan mengulang pada Mei.
Pakar pendidikan dari FKIP UNS, Furqon Hidayatullah dalam diskusi ini mengemukakan alasan dilaksanakan UN untuk menunggu sampai sekolah dianggap layak meluluskan siswanya. Ada anggapan selama ini guru belum bisa dipercaya. Alasan lain untuk memudahkan pemerintah dalam melakukan standardisasi mutu, juga meningkatkan mutu lulusan.

Pemetaan kualitas
Furqon mengakui dirinya dulu getol menolak UN, tapi mengingat kondisi di daerah tadi, akhirnya mempersilakan UN jalan terus, tapi diingatkannya UN bukan untuk penentu kelulusan. UN cukup sebagai salah satu variabel pemetaan kualitas pendidikan. ”Saya setuju UN dihapuskan, tapi apakah sekolah siap melaksanakan evaluasi sendiri secara objektif?”
Para peserta diskusi pun sepakat itu, dan menuntut agar UN tidak dijadikan satu-satunya penentu kelulusan. Apalagi seperti dikatakan anggota Komisi IV DPRD Solo, Bambang Triyanto, soal-soal UN dibuat untuk mengevaluasi siswa secara kognitif. Padahal, masih ada dua aspek lain yang juga penting yakni afektif dan psikomotoris.
Menurut Furqon, aspek afektif memang harus menjadi pertimbangan. Bahkan Furqon menekankan pentingnya peran keluarga dalam aspek ini, terutama berkaitan dengan mendidik akhlak anak. Amat disayangkan bila orangtua hanya menyerahkan begitu saja pendidikan anak kepada sekolah.
Di Jepang aspek ini penting. Dalam kunjungannya ke Jepang dan rapat bersama mantan Perdana Menteri Toshiki Kaifu, mantan perdana menteri itu tiba-tiba berdiri untuk membungkukkan badannya sebagai tanda hormat tatkala melihat seorang guru yang mendidik cucunya. Ini karena ia kenal dengan guru itu. Di sini pun dituntut orangtua siswa dan guru saling mengenal.
Dalam pengamatan Furqon, UN cenderung menumbuhkan kompetisi antarsekolah yang kurang sehat. Yang dikompetisikan bukan kemampuan riil, yakni hanya beberapa mata pelajaran, tapi digeneralisasikan untuk mewakili kemampuan atau prestasi sekolah. UN berdampak munculnya mata pelajaran utama dan mata pelajaran kelas dua. UN juga telah menumbuhkan kecurangan baik oleh siswa, guru, kepala sekolah, orangtua, dinas pendidikan, bahkan sebagian bupati/walikota.
Ketua Komite SMPN 1 Solo Agus B Qosim, juga aktivis LSM Ekasita, Anik, menyorot masalah ketakutan anak terhadap UN, yang mengakibatkan anak lari ke bimbingan belajar (Bimbel). Bahkan menurut Agus, ada orangtua siswa mengaku dari keluarga tidak mampu dan minta dibebaskan biaya sekolah tapi malah untuk Bimbel. ”Jadi uangnya tak lagi untuk SPP, tapi kemudian untuk Bimbel.”
Yang lebih memprihatinkan lagi, dikemukakan Winarti dari MPPS, adanya fenomena istigasah, doa bersama, anak-anak mohon doa restu secara massal, juga pelajaran jam ke-0, yang semua itu justru mengesankan UN menjadi momok bagi siswa.

Jangan takut
Namun, sikap tadi, menurut Furqon maupun Suwarto yang juga narasumber diskusi, itu tidak benar. Justru peran orangtua mestinya memberikan pengertian kepada anak agar tidak takut yang berlebihan terhadap UN. Saat ini UN bukan satu-satunya penentu kelulusan.
Bahkan, menurut Furqon, mengkondisikan kesan menakutkan, sakral atau pun momok terhadap UN justru dapat mendorong berbuat curang, baik bagi siswa, guru, kepala sekolah, maupun orangtua.
Selaku Sekretaris Dewan Pendidikan Kota Solo (DPKS) Suwarto WA mengatakan berdasarkan berbagai pendapat sekitar masalah UN, DPKS mendukung UN 2010 tetap dilaksanakan. Namun, ke depan UN dapat dihapuskan bila sekolah sudah ada keberanian bertindak objektif dan berani tidak meluluskan anak yang tidak pantas lulus.
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Solo Rahmat Sutomo sependapat UN tak menjadi penentu kelulusan. ”Bahkan di Solo sudah mengimplementasikan ini, karena ada SMK yang tidak meluluskan siswa bukan karena UN,” katanya.
”Dengan berbagai pertimbangan itu, UN tetap dilakukan. Tentu dengan berbagai perbaikan berkelanjutan dalam perkembangan peningkatan mutu pendidikan. Pemerintah harus terus mencari formulasi yang baik untuk mengevaluasi siswa dalam proses pembelajaranh di sekolah.”
Dalam diskusi terbatas itu juga terlontar berbagai isu mengenai penanganan anak yang berperkara dengan hukum, seperti diungkapkan Darsono dari LSM Atma dan Rudi Tri Cahyono dari Yayasan Kakak. Darsono menyorot kian terpinggirkannya anak dari keluarga tidak mampu untuk mengakses pendidikan, juga anak yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan.
Sementara, Rudy prihatin dengan anak yang menjadi korban perkosaan, namun masih dikeluarkan dari sekolahnya, sehingga anak menjadi korban dua kali. Padahal, mereka mestinya mendapatkan hak-hak mendapatkan pendidikan yang layak, termasuk hak untuk tetap sekolah. Menanggapi ini, ketiga narasumber menaruh perhatian, dan Furqon berpesan agar anak-anak seperti itu tidak dikucilkan di masyarakat, termasuk haknya di sekolah.
Yang digarisbawahi dari Furqon, UN dapat dilanjutkan namun sebagai alat evaluasi untuk merumuskan kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Dengan UN juga diharapkan dapat memperoleh peta mutu hasil belajar pada enam mata pelajaran yang diujikan, sebagai dasar melakukan serangkaian perbaikan dan pembaruan. - Oleh : Pardoyo/Litbang SOLOPOS

Opini Solo Pos 29 Januari 2010