08 Desember 2009

» Home » Kompas » Membangun Solo Barat di Boyolali

Membangun Solo Barat di Boyolali

Boyolali butuh kota satelit, yang penulis namakan Solo Barat, dengan beribukota Ngemplak guna mendongkrak potensi ekonomi yang dimilikinya, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kota satelit itu memiliki beberapa kecamatan wilayah Boyolali timur, berbatasan dengan Solo, Sukoharjo dan Karanganyar yaitu Banyudono, Nogosari, Sambi dan Sawit.


Ada beberapa alasan yang perlu disampaikan. Pertama, Ngemplak memiliki potensi geografis seperti Bandara Internasional Adi Soemarmo; Waduk Cengklik. Dua potensi ini, selayaknya direvitalisasi aspek manfaatnya. Potensi Bandara Adi Soemarmo dapat dimanfaatkan dengan pengembangan investasi industri di daerah-daerah sekitarnya. Juga investasi di bidang perhotelan, apartemen, pusat perbelanjaan dan sebagainya, khususnya yang terkait dengan berbagai kebutuhan masyarakat kota.
Waduk Cengklik perlu direvitalisasi. Karena itu, penanganan sedimentasi menjadi keharusan, guna meningkatkan volume air, yang kemudian dihitung dan (bisa) dijual ke PDAM Solo, di samping untuk kepentingan irigasi pertanian dan budi daya perikanan. Waduk ini juga bisa didesain sebagai tempat wisata, yang mempunyai multiplier effects terhadap geliat ekonomi masyarakat sekitarnya.
Kedua, wilayah Boyolali timur tersebut berbatasan dengan Kota Solo. Potensi geografis Solo amat terbatas, sementara itu upaya pengembangan Kota Solo, tidak mungkin jika tidak mengembangkan diri ke daerah-daerah sekitarnya. Keberadaan Solo Baru, meski secara wilayah yuridis ada di Kabupaten Sukoharjo, namun secara de facto menjadi bagian dari Kota Solo.
Pengembangan Kota Solo ke daerah Boyolali, secara tidak langsung, sebenarnya telah berjalan. Walikota Solo, Joko Widodo, melihat Ngemplak mempunyai potensi besar dengan bandaranya. Bahkan, bandara ini dipandang sebagai prasyarat utama, sebagai upaya perbaikan akses ke Kota Solo secara keseluruhan.
Nah, Pemkab Boyolali perlu menyambut antusiasme Jokowi, bukan justru dengan mengembangkan rasa iri dan sentimen kedaerahan ketika Jokowi ternyata lebih berperan untuk merevitalisasi Bandara. Sambutan itu, berupa menawarkan Boyolali timur sebagai daerah pengembangan Kota Solo dan Ngemplak menjadi “ibukotanya”.
Ketiga, pembangunan jalan tol Solo-Semarang perlu antisipasi implikasinya. Tahap I pembangunan jalan tol tersebut telah dimulai, yakni Semarang-Bawen.
Bagi Boyolali, pembangunan jalan tol Solo-Semarang perlu dikaji nilai potensi ekonomi yang hilang dan nilai potensi ekonomi yang (bisa) diperoleh. Setidaknya, potensi ekonomi yang hilang tersebut menyangkut perputaran uang di Boyolali. Dalam jangka pendek, kehilangan potensi itu menjadi terasa karena arus lalu lintas jalan utama Solo-Semarang menjadi sepi dan itu merugikan para pedagang dan rumah makan yang selama ini menjadi langganan para musafir.
Sementara itu, potensi ekonomi tidak akan diperoleh, jika Pemkab Boyolali tidak mendesain antisipasinya. Karena itu, Boyolali harus menangkap peluang tersebut, yakni peluang investasi, dan membangun kota satelit di wilayah Boyolali timur. Lebih-lebih, rencana titik temu jalan tol Solo-Semarang dan Solo-Ngawi berada di Denggungan, Banyudono. Itu artinya, daerah Boyolali timur menjadi amat potensial untuk dikembangkan secara ekonomi.

Perluasan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kota satelit adalah: (1) kota baru yang dibangun di dekat atau di pinggir sebuah kota besar dalam rangka peluasan kota; (2) kota yang terletak di pinggir atau berdekatan dengan kota besar, yang secara ekonomis, sosial, administratif, dan politis tergantung pada kota besar itu.
Kota satelit merupakan daerah penunjang bagi kota-kota besar di sekitarnya dan merupakan jembatan masuk/akses untuk menuju ke kota besar. Karena kota satelit juga berfungsi sebagai penunjang kota besar, implikasi kota satelit sebagai penunjang akan tampak pada hidup keseharian warganya. Kota satelit bisa juga sebagai pemasok barang-barang kebutuhan warga kota besar. Semakin besar dan berkembangnya suatu kota maka sikap warganya untuk memproduksi barang-barang untuk kebutuhan mereka juga akan semakin turun.
Karena hal inilah, maka fungsi kota satelit sebagai kota penunjang kebutuhan hidup masyarakat kota juga akan semakin tampak. Terlepas dari fungsi kota satelit yang terbangun di atas, dengan adanya interaksi yang tetap, maka sikap hidup pada masyarakatnya juga akan secara bertahap akan mengalami apa yang bernama resonansi sosiologis, yaitu perubahan sikap sebagai akibat adanya interaksi yang relatif tetap.
Dalam konteks pembangunan kota satelit di daerah perbatasan Boyolali timur, definisi kota satelit dimaksud di atas tidak secara keseluruhan dapat mewakili. Namun, setidak-tidaknya, kota satelit tersebut menjadi perluasan Kota Boyolali dan sekaligus peluasan Kota Solo. Secara administratif dan politis tergantung pada Kabupaten Boyolali dan secara ekonomis, dan sosial, bergantung pada Solo.
Toh, secara sosiologis, Bandara Adi Soemarmo dan Gedung Embarkasi Haji, telah disebut “milik” Solo. Untuk kepentingan branding, Waduk Cengklik mungkin juga perlu disebut “milik” Solo. Secara ekonomi, masyarakat Boyolali timur juga lebih banyak melakukan aktivitas ke Solo, dan Sukoharjo (baca: Kartasura).
Jika konsep kota satelit tersebut disepakati, perlu desain langkah-langkah berikutnya. Pertama, melakukan komunikasi politik dengan Pemkot Solo untuk menyamakan persepsi dan visi tentang konsep kota satelit dan memasukkan isu kota satelit dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Dalam hal ini, perlu juga melibatkan Pemkab Sukoharjo dan Karanganyar karena wilayah Boyolali timur berbatasan dengan dua kabupaten itu.
Kedua, mengomunikasikan hasil penyamaan persepsi dan visi tersebut ke pemerintah provinsi dan pusat. Sebagaimana amanat UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dalam penyusunan tata ruang wilayah kabupaten dan kota harus dilakukan secara berjenjang, yakni mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Nasional.
Ketiga, melibatkan pakar perencana tata ruang dan perencana tata kota. Perencana tata ruang lebih menekankan aspek penyusunan tara ruang wilayah secara komprehensif, yakni mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antarwilayah serta keserasian antar sektor, sehingga tertata kawasan lindung, kawasan budi daya, kawasan strategis, kawasan desa, kawasan kota dan kawasan permukiman.
Sementara itu, perencana tata kota berbicara lebih detail, terkait desain kota satelit Solo Barat tersebut. -
Oleh : Thontowi Jauhari, Wakil Ketua DPRD Boyolali

OPINI  SoloPos 8 Desember 2009