08 Desember 2009

» Home » Kompas » Rezim Keadilan Pascakolonial

Rezim Keadilan Pascakolonial

Prita Mulyasari lelah mencari keadilan (Kompas, 5/12/2009). Pengadilan Tinggi Banten mengharuskan Prita membayar ganti rugi sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni.
Padahal, Prita hanya menuntut hak-hak asasinya sebagai konsumen, terutama hak atas perlindungan konsumen, hak untuk mendapatkan informasi yang benar, dan hak untuk didengarkan.
Minah dihukum percobaan 1,5 bulan oleh Pengadilan Negeri Purwokerto (Kompas, 20/11/2009) karena didakwa mencuri tiga buah kakao senilai Rp 30.000. Padahal, Minah sudah meminta maaf dan mengembalikan tiga buah kakao itu ke mandor PT Rumpun Sari Antan.


Drama ”Cicak lawan Buaya” mulai menarik perhatian publik saat Bibit dan Chandra ditangkap polisi, 29 Oktober 2009 dan kian menggugah rasa keadilan publik ketika rekaman dugaan ”Kriminalisasi KPK” diputar di Mahkamah Konstitusi (Kompas, 4/11/2009). Baru 20 hari kemudian Presiden mengisyaratkan agar kasus keduanya tidak dibawa ke pengadilan. Namun, rasa keadilan publik tetap menilai institusi-institusi penegak keadilan tidak ikhlas melepaskan Bibit dan Chandra (Kompas, 4/12/2009).
Rumpang keadilan
Dua hal dapat dipetik dari kasus-kasus yang telah mengharu biru rasa keadilan publik selama dua bulan terakhir.
Pertama, adanya rumpang atau jurang menganga lebar di antara rasa keadilan publik dengan habitus yang hidup di lingkungan institusi-institusi penegak keadilan. Seakan-akan, institusi-institusi penegak keadilan memiliki konsep dan praktik keadilan yang sama sekali berbeda dengan yang dimiliki publik. Bagi publik, konsep dan praktik keadilan dari institusi-institusi penegak keadilan seolah berasal dari ”seberang lautan”.
Publik berpendapat, Prita ialah pihak yang dirugikan rumah sakit dan dokter yang tidak menghormati hak-hak asasi konsumen dan pasien. Namun, institusi penegak keadilan memutuskan, Prita yang harus membayar ganti rugi. Publik berpendapat, tak layak Minah jadi terdakwa, tetapi institusi penegak keadilan malah menghukumnya. Publik berpendapat, Bibit-Chandra harus bebas murni dan Anggodo diadili, tetapi institusi penegak keadilan berdiri kukuh di seberang jurang.
Kedua, dalam rumpang keadilan itu, institusi-institusi penegak keadilan menganggap bahwa mereka memiliki otoritas epistemik. Artinya, institusi-institusi penegak keadilan itu menganggap bahwa pendapat merekalah yang benar, bahwa prosedur sesuai habitus, sehingga putusan tentu adil. Tak ada keikhlasan untuk mengakui bahwa habitus mereka juga dapat memuat kekeliruan.
Kalaupun ada kesadaran bahwa rumpang keadilan perlu dipersempit, yang perlu mendapat penataran keadilan adalah opini publik. Mirip filsafat Plato, institusi-institusi penegak keadilan berasumsi, orang kebanyakan cenderung hanya memikirkan perut sendiri dan tak punya waktu untuk ”memandang” keadilan.
Singkatnya, rakyat dianggap bodoh sehingga institusi-institusi penegak keadilan merasa perlu meneruskan apa yang dulu disebut white man’s burden (tugas bangsa kulit putih), yakni mendidik kaum kulit berwarna yang lazimnya tinggal dikoloni.
Pada gilirannya, rumpang keadilan menimbulkan tanda tanya pada mutu pemilihan umum dalam demokrasi. Seandainya pemilu berlangsung jujur dan adil, artinya rakyat berpartisipasi secara bebas dan setara dalam menentukan para pelaku yang mengisi institusi-institusi penegak keadilan, bagaimana mungkin dapat muncul rumpang di antara rasa keadilan publik dan rezim keadilan institusional? Bagaimana mungkin dapat muncul arogansi epistemik dalam interpretasi tentang ”yang adil” kalau otoritas keadilan benar-benar dihasilkan dari partisipasi rakyat yang bebas dan setara?
Dalam perjalanan kita sebagai bangsa, banyak kasus yang ditandai oleh ”rumpang keadilan” itu. Dalam era reformasi saja dapat disebut kasus Lapindo dan kasus pembunuhan Munir sebagai contoh. Banyak kasus lain yang tidak terdeteksi oleh media, terutama yang terjadi di luar Jawa, sehingga luput dari deliberasi publik.
Peringatan 100 tahun
Pada 2008, kita baru memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dengan acara gegap gempita di Istora Bung Karno. Pada 2009 ini kita sebenarnya perlu merayakan 150 tahun ditulisnya novel Max Havelaar oleh Multatuli (nama pena Eduard Douwes Dekker) di sebuah kota kecil di Belgia pada 1859. Novel itu membunuh kolonialisme, kata Pramoedya Ananta Toer. Namun, rezim keadilan pascakolonial ternyata masih mengidap ”rumpang keadilan” dari pendahulunya 150 tahun lalu.
Saijah dan Adinda adalah penduduk Kabupaten Lebak, Banten. Prita Mulyasari juga penduduk Provinsi Banten. Keduanya sama-sama mengalami ”rumpang” antara rasa keadilan masyarakat dan rezim keadilan ”resmi”. Maka, tidak berlebihan bila kita katakan, orang-orang semacam Prita dan Minah ialah Saijah dan Adinda pascakolonial.

Alois A NugrohoGuru Besar filsafat Unika Atma Jaya, Jakarta; Dosen di Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Opini Kompas 9 Desember 2009