08 Desember 2009

» Home » Okezone » Jalan Terjal KTT Copenhagen

Jalan Terjal KTT Copenhagen

KTT Puncak Perubahan Iklim yang disponsori PBB akan berlangsung di Copenhagen, Denmark, selama dua Minggu mulai hari ini hingga 18 Desember 2009.

Pertemuan itu akan menjadi forum akbar komunitas lingkungan global dalam upaya menyelamatkan masa depan planet bumi. Langkah tersebut juga menjadi krusial karena merupakan deadline yang akan menentukan bentuk final pengganti Protokol Kyoto. Substitusi ini bertujuan mencegah terus berlanjutnya dampak negatif pemanasan global (global warming). Selain itu, pertemuan Copenhagen merupakan rangkaian terakhir dari gelinding pembahasan masalah lingkungan global. Seri pertama dimulai pada saat penyelenggaraan KTT Bumi di Rio De Jeneiro, Brasil, pada 1992.

Tema Genting

Problematika mendasar atau bottomline persoalan yang dihadapi dalam KTT Perubahan Iklim di Copenhagen adalah tuntutan pengurangan emisi karbon dunia. Hampir sebagian besar komunitas internasional mendesak agar dunia menghentikan segera pertumbuhan emisi rumah kaca, baik yang ditimbulkan oleh negara-negara industri maju maupun negara-negara ekonomi baru. Pengurangan emisi tersebut harus berada di bawah ambang batas yang ditargetkan selama ini.

Sejauh ini, peluang untuk menjaga dan menghindari bumi berada di bawah yang membahayakan seharusnya difasilitasi oleh pemotongan emisi. Pemotongan yang dibutuhkan adalah sebesar 25% hingga 40% sesuai level dekade 1990 yang diinginkan. Bagi banyak aktivis lingkungan, angka pengurangan itu malah secara radikal harus ditingkatkan menjadi 80% hingga 95% pada 2050. Ironisnya, dunia menemukan fakta bahwa tawaran-tawaran yang diberikan selama proses perundingan hingga kini jauh berada di bawah target yang dikehendaki.

Siapa yang harus memulai dan memprakarsai secara konkret komitmen pengurangan emisi? Question mark itu menjadi pertanyaan sentral yang diperkirakan memanas dalam KTT Copenhagen tersebut. Soal siapa negara utama emitter yang harus mengawali komitmen pengurangan emisi adalah crunch issue yang selalu mewarnai alotnya pembahasan. Kecenderungan itu pada praktiknya malah sering kali memunculkan stumbling block. Membuat pertemuan tertatih-tatih mendekati kegagalan. Dalam kategori ini, sorotan utama diberikan kepada negara-negara industrialis maju seperti AS, Inggris, Jepang.

Negara-negara itu dinilai menghasilkan emisi karbon terbesar. Bahkan termasuk kategori emisi yang dihasilkan kegiatan individu per kepala yang dinilai cukup besar. Kendati demikian, emisi dari negara-negara yang tergolong emerging economies seperti China dan India juga menjadi perhatian serius. Dunia khawatir terhadap dampak emisi karbon yang dihasilkan oleh industri yang menjadi mesin pertumbuhan pesat ekonomi kedua negara. Karena itu, apa pun tekanan yang muncul terhadap negara-negara industri maju dalam upaya mengurangi emisi karbon yang mereka hasilkan, kebutuhan batas emisi global tetap harus memasukkan kontribusi emisi negara-negara seperti India dan China dalam klasifikasi tersebut.

Perdebatan sengit mengenai referensi indicative range pengurangan emisi negara-negara akan terus membayangi ketatnya perundingan selama KTT Perubahan Iklim di Copenhagen. Sejumlah pihak agak berbeda dalam merepresentasikan kepentingannya terhadap penggunaan indikator yang sama untuk semua negara dalam menentukan tingkat pengurangan emisi karbon. Bahkan negara-negara yang tergabung dalam aliansi tertentu melihat tidak ada satu indikator tunggal yang dapat diterapkan kepada semua negara.

Menurut mereka, penggunaan standar indikator itu hanya akan dipakai sebagai pembanding antara satu sama lain. Bahkan seharusnya indicative range pengurangan emisi tersebut lebih ditujukan pada pengenaan komitmen negara-negara industri maju yang menjadi pihak Annex I. Selain itu, argumentasi dialektis yang sering kali mewarnai perdebatan antarblok negara seperti China dan India vis-a-vis negara-negara industri maju adalah status mereka sebagai negara emerging economies yang baru tumbuh.

Mereka tidak ingin dipersalahkan dan memikul beban lebih berat dari kelompok negara-negara industri maju yang dinilai lebih dahulu mewariskan polusi global. Kedua negara yang perekonomiannya tumbuh positif di tengah krisis keuangan dunia tersebut juga mengklaim bahwa mereka sesungguhnya hanya memiliki carbon footprint yang kecil. Apalagi statistik jutaan penduduknya yang masih tergolong miskin serta jutaan jiwa lainnya yang hidup tidak layak tanpa dilengkapi dengan penerangan listrik, misalnya. Oleh karena itu, menyeimbangkan tanggung jawab pengurangan atau pemotongan emisi dengan tuntutan pembangunan seperti itu menjadi bagian kritis proses perundingan KTT Copenhagen.

Carbon Trading

Persoalan kritis KTT Perubahan Iklim tidak hanya berhenti pada pembahasan komitmen pengurangan emisi karbon. Crunch issue selanjutnya adalah siapa yang akan membiayai seluruh mekanisme pengurangan atau pemotongan emisi tersebut? Memang ada pandangan yang beranggapan bahwa ekonomi berkarbon rendah dalam jangka panjang akan jauh lebih murah daripada industri yang menggunakan bahan bakar fosil seperti minyak.

Mereka juga membenarkan bahwa upaya memperluas carbon market dapat menjadi salah satu kemungkinan untuk mengatasi masalah adaptasi sehingga jika sebagian proses ini yang berasal dari clean development mechanism (CDM) akan disalurkan pada pembiayaan adaptasi di masa mendatang, sumber-sumber pembiayaan adaptasi dapat dimobilisasi. Mainstream pemikiran seperti itu bukannya tanpa resistensi. Negara seperti Arab Saudi yang selama ini dipandang sebagai suara paling berpengaruh dalam tubuh OPEC getol menyuarakan oposisinya.

Negara itu menuding negara-negara industri maju lebih didorong oleh motif agenda ekonomi dalam penanganan isu perubahan iklim dengan mencontohkan kontrol Uni Eropa terhadap carbon market. Menurut Arab Saudi, hal yang diperlukan sekarang sebenarnya justru adalah dialog lebih lanjut dan confidence building. Arab Saudi juga tak henti mengingatkan adanya upaya-upaya negara tertentu untuk menggunakan regime climate change untuk merebut leverage ekonomi di atas pembiayaan pengeluaran negara lain.

Secara teoretis, membeli izin untuk melakukan polusi dari pihak yang sebenarnya diharapkan dapat memotong emisi mereka dengan tingkat harga yang sangat murah adalah bisnis yang selalu menarik. Namun dilihat dari perspektif yang lebih objektif, jenis offsetting seperti itu hanya membuat simplifikasi persoalan menjadi seperti menggiring negara-negara miskin untuk membersihkan kebobrokan polusi yang ditimbulkannya atau ditinggalkan negara-negara industri maju yang menganggap dirinya memperoleh legitimasi untuk terus mengotori bumi dengan polusi mereka.

Kalaupun benar bahwa carbon trading benar-benar untuk memotong secara real emisi yang ada, ceiling harga di pasar seharusnya berlaku sangat ketat dan kompetitif. Dalam teori pasar terbuka, unsur kelangkaan membuat barang menjadi lebih mahal. Apalagi, dewasa ini, political imperatives dari carbon trading hampir selalu mendominasi pembahasan mengenai penyelamatan planet bumi. Diperkirakan masalah carbon trading masih akan menjadi jantung perdebatan setiap perjanjian yang ingin dihasilkan di Copenhagen sebagaimana sebelumnya dilakukan pada saat pengesahan perundingan Perjanjian Kyoto.

Realitas ketidakadilan sebenarnya cukup tergambar utuh dalam setiap sesi perdebatan isu perubahan iklim beserta seluruh derivasinya. Bagaimana mungkin masyarakat miskin di berbagai belahan dunia yang pada dasarnya tidak memiliki keterkaitan langsung sebagai penyebab perubahan iklim ataupun polusi terhadap atmosfer bumi harus memikul dampak terburuk berupa banjir dan kekeringan yang melanda wilayah mereka? Seharusnya negara-negara industri maju yang lebih dahulu menikmati kemakmuran dari hasil "menggerogoti" kekayaan bumi menganggarkan pembiayaan setimpal dengan dampak kerusakan yang ditimbulkannya.

Sebut saja apes-apesnya sebagai pengganti reparasi atau perbaikan eskalasi kerusakan iklim yang membuat bumi menderita seperti sekarang.(*)

Tulisan ini pandangan pribadi
Muhammad Takdir
Diplomat RI di Wina, Austria

Opini Okezone 7 Desember 2009