08 Desember 2009

» Home » Kompas » Ilusi Negara Kekuasaan

Ilusi Negara Kekuasaan

Suatu hari, Konfusius mendapati seorang perempuan tengah meratap di makam putranya. Sebelum itu, ayah mertuanya tewas, disusul dengan suaminya. Semua tewas dengan cara sama. Diterkam harimau. Sang Guru bertanya mengapa ia masih mau tinggal di tempat itu. Perempuan malang itu menjawab, ”Di sini tidak ada pemerintah yang menindas.”
Kualitas demokrasi kita belum sepenuhnya dapat dibanggakan. Demokrasi belum untuk rakyat, baru untuk kekuasaan. Berhadapan dengan negara, posisi warga cenderung lemah, mudah menjadi obyek kriminalisasi penegak hukum, bahkan menjadi korban polisi yang main pukul. Hukum yang adil masih menjadi komoditas mahal dan sulit bagi rakyat pencari keadilan.


 Negara kuat
Negara kuat dalam pengertian tradisional identik dengan kediktatoran. Pemerintah menyerap tindakan spontan masyarakat dengan intervensi politik. Politik represif dijalankan untuk menindas minoritas kreatif yang dianggap mengganggu stabilitas dan status quo. Suara kritis yang membuat penguasa jengah dibungkam dengan kriminalisasi. Minoritas kritis diperlawankan dengan massa yang menjadi bagian dari mesin kekuasaan. L’etat, c’est moi. Negara adalah penguasa. Penguasa adalah hukum. Yang penting dalam republik bukan publik, tetapi penguasa. Rakyat ada untuk negara (statism).
Dalam bentuk substil, otoritarianisme disahkan struktur demokratis. Demokrasi prosedural, bukan demokrasi substantif, melegitimasi monopoli kekuasaan. Mekanisasi kontrol pemerintah seperti itu merupakan bahaya terbesar bagi perkembangan peradaban (Ortega, The Revolt of the Masses, 88).
Problem dengan statism adalah negara menjadi kumpulan massa tanpa karakter. Birokrasi korup berlindung di balik rezim ketertutupan dan kerahasiaan. Belum selesai dengan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang cenderung represif, terus terjadi pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang terakhir adalah Rancangan Peraturan Pemerintah Penyadapan yang mengabaikan masukan dari KPK dan masyarakat antikorupsi.
Pemerintah kuat berhadapan dengan rakyat kecil, tetapi lemah dengan kekuatan modal dan kepentingan asing. Gerakan ”Koin untuk Prita” hanya sebentuk solidaritas rakyat kecil melawan penegakan hukum yang mengabaikan rasa keadilan dan mengejek pemerintah yang membiarkan penegakan hukum seperti itu dibiarkan terjadi.
Negara demokratis
Negara demokratis adalah sebuah organisasi kekuasaan yang secara sadar dibentuk oleh rakyat untuk mempertahankan kedaulatannya dan mencapai cita-cita kehidupan bersama yang lebih baik. Penyelenggara negara mengemban kuasa dari rakyat untuk mencapai tujuan bernegara itu. Di situlah titik rawan relasi negara dan kekuasaan.
Penyelenggara negara dapat terobsesi dengan kekuasaan dan negara menjauh dari tujuan awal. Sosok negara demokratis di dunia ketiga sering hadir berbeda dari harapan rakyat. Alih-alih dengan serius menyelenggarakan pemerintahan bersih, terjadi persekongkolan konstitusional antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Lembaga-lembaga negara menjadi tempat aman bagi kleptokrasi, pebisnis curang yang ingin meraup laba besar, pemodal yang hendak menikmati kekayaan negeri di atas kemiskinan sebagian besar rakyat, koruptor yang mau memutihkan kekayaannya, dan pelaku kejahatan yang ingin memutihkan masa lalunya. Kolusi antara pejabat dan pemodal mudah terjadi di negara yang lemah penegakan hukumnya.
Dibebani berbagai kepentingan penumpang gelap itu, gerak negara menjadi lamban dan cenderung inefisien. Negara mengalami kerugian besar akibat korupsi. Menurun kemampuannya untuk menyejahterakan rakyat. Indonesia menempati posisi ke-15 terkait kekayaan cadangan mineral. Namun, kekayaan negeri itu tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Sebagian besar kekayaan alam negeri digadaikan kepada asing yang kebetulan menguasai teknologi mutakhir. Malangnya lagi, sesudah eksploitasi besar-besaran yang merusak lingkungan, kerusakan itu tak dapat dipulihkan. Rakyat di sekitar pertambangan terjerat kemiskinan. Pejabat dan wakil rakyat tidak peduli berapa banyak rakyat yang menjadi korban.
Pesona kekuasaan membuat penguasa berupaya memerintah dengan kontrol seminimal mungkin, dengan alasan demi pembangunan dan stabilitas politik. Padahal, penguasa takut digoyang. Senyatanya birokrasi korup membuat negara keropos. Maka, kekuasaan harus dijinakkan dan diimbangi dengan kritik (Bertrand Russell, Power: A New Social Analysis, 1938). Kekuasaan tanpa kontrol identik dengan melanggengkan korupsi.
Tidak benar pemberantasan korupsi menghambat pembangunan. Kecenderungan penguasa untuk memarkir dana pembangunan dalam bentuk surat berharga secara tak langsung membenarkan mentalitas pejabat kita yang terbiasa memanipulasi anggaran pembangunan. Inefisiensi penyelenggaraan negara disebabkan korupsi sistemik (Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, 77).
Pemberantasan korupsi di Indonesia kini memasuki tahap baru menjadi gerakan rakyat. Resistensi terbesar dalam pemberantasan korupsi justru datang dari pemerintah sendiri. Gerakan Indonesia Bersih merupakan reaksi marah akar rumput, kemarahan yang jauh lebih berkualitas daripada marah karena lapar.
Pemimpin dan wakil rakyat yang kehilangan kemampuan untuk marah terhadap kejahatan korupsi menempatkan diri dalam posisi defensif. Enggan mereformasi institusi penegak hukum secara radikal. Sibuk menangkis serangan dari lawan politik. Tidak berdiri di garda depan gerakan pemberantasan korupsi. Penumpang gelap bisa di mana-mana, termasuk menumpang gerbong kekuasaan.

 Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Opini Kompas 9 Desember 2009