01 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Konflik Antarklan di Filipina

Konflik Antarklan di Filipina

TRAGEDI pembantaian politik terhadap jurnalis, pengacara, politisi lokal, dan warga sipil terjadi di Provinsi Manguindanao, Filipina Selatan menelan korban 57 tewas (Suara Merdeka, Kamis, 26/11/09).

Pemilihan umum di Filipina tidak biasa dicemari kekerasan, terutama di wilayah selatan, tempat pasukan keamanan bertempur dengan pemberontak komunis, kelompok garis keras, dan kelompok yang bermusuhan.


Alur pemilihan umum telah dimulai dan mencatat lebih dari 17.800 calon tingkat negara dan daerah. Insiden pembantaian ini merupakan yang terbesar karena selain melibatkan tokoh-tokoh politik dalam klan, juga jurnalis serta warga sipil.

Setelah terjadi pembunuhan besar-besaran itu, Presiden Filipina Gloria Arroyo memberlakukan status darurat di Maguindanao, tetangga kota Cotabato dan Provinsi Sultan Kudarat, di dekatnya. Arroyo juga bersumpah memberikan keadilan kepada keluarga korban dan mengumumkan satu hari berkabung untuk mengenang para korban.

Berbagai kecaman muncul dari masyarakat internasional antara lain Sekjen PBB Ban Ki-moon, media massa, dan kelompok HAM yang meminta Arroyo menghukum pelaku pembunuhan.

Tragedi ini terjadi pada hari Senin (23/11), berawal dari warga klan Mangudadatu (sebagai kubu oposisi) yang akan menyampaikan formulir pencalonan gubernur dan dan berbagai jabatan lain di tingkat lokal. Perjalanan mereka didampingi oleh para jurnalis dan pengacara. Jenazah dari sedikitnya 18 wartawan dan keluarga politisi lokal, Esmael Mangudadatu, ditemukan dikubur di pemakaman massal atau dibuang di tempat sampah di pinggir jalan di  Maguindanao.

Pihak militer mengatakan, tertuduh utama dalam aksi penculikan dan pembunuhan itu adalah orang-orang bersenjata yang disewa oleh Gubernur Maguindanao, Andal Ampatuan, dan putranya yang bernama sama.

Calon dari klan Mangadadatu ingin menantang klan Ampatuan  yang sudah menduduki posisi gubernur  sejak tahun 2001, sama dengan kekuasaan Presiden Arroyo. Kelompok politik kuat itu ingin menghentikan langkah Mangudadatu untuk meraih jabatan gubernur dalam pemilihan umum nasional tahun 2010.

Para korban itu ditangkap pada saat mereka sedang melakukan perjalanan konvoi dengan istri Mangudadatu, ketika dia akan ke kantor pemilu untuk mendaftarkan suaminya mencalonkan diri sebagai gubernur. Kebanyakan korban adalah perempuan dari klan Mangudadatu yang berkuasa.

Para lelaki klan tersebut tidak ikut dalam rombongan karena  meyakini kalau perempuan tidak akan diserang oleh rival politik mereka (Ampatuan).
Mengapa konflik kekerasan antar klan ini selalu terjadi di Filipina menjelang pemilu? Bagaimanakah peran klan dalam memicu konflik?

Klan dan Konflik

Klan merupakan kelompok kekerabatan yang besar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa klan adalah kesatuan genealogis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan menunjukkan adanya integrasi sosial. Negara yang memiliki banyak suku atau klan ini relatif lebih rentan terjadinya konflik kekerasan antarsuku. Seperti yang terjadi di Indonesia, Afrika dan negara-negara yang memiliki multietnis. Keberagaman suku berkaitan dengan potensi konflik yang lebih besar.

Pada umumnya ada tiga konsep yang bisa menjelaskan peran klan, yaitu pandangan objektivis, primordial, dan pandangan instrumentalis (Timo Kivimaki, 2005). Pandangan objektivis menyatakan bahwa struktur ekonomi dan atau politik objektif langsung menyebabkan konflik.

Kemudian, pandangan primordial menyatakan bahwa struktur sejarah objektif dan relatif stabil dari produksi melahirkan budaya yang langsung menyebabkan konflik atau yang memiliki elemen-elemen yang tidak cocok dengan struktur modern ekonomi politik global, seperti ketimpangan ekonomi, struktur identitas antagonis.

Adapun pandangan instrumentalis menyatakan bahwa struktur yang menyebabkan konflik dihasilkan oleh tindakan dan politik, bukan oleh struktur  objektif.

Konflik antarklan di Filipina ini lebih tepat menggunakan pandangan yang kedua dan ketiga, mengingat klan merupakan elemen yang penting, tetapi bukan yang utama dalam konflik. Klan atau suku sering memudahkan mobilisasi kekerasan, dengan identitas yang mereka miliki.

Dengan mencederai klan atau suku yang lain atau rivalnya diharapkan tujuan agar tercapai, bisa dalam konteks melanggengkan kekuasaan atau merebut kekuasaan.

Banyak elite politik dalam mengungkapkan motivasi pribadi menggunakan suku sebagai tempat berpijak dan selubung untuk mobilisasi dukungan politik. Hal ini sering berlanjut dengan mobilisasi suku dan antagonisme antarkelompok-kelompok yang tidak memiliki konflik kepentingan objektif. Kelompok suku muncul dalam politik semata-mata karena ada elite yang memperjuangkan tujuan-tujuan pribadinya dengan cara memanipulasi kelompok suku dalam percaturan politik yang penuh persaingan.

Situasi yang paling mudah memicu konflik adalah saat dua kelompok suku utama bersaing untuk memperoleh kekuasaan (Collier dan Hoeffler, 1998). Masyarakat yang terdiri atas banyak suku yang sama-sama kuat cenderung sama seperti halnya masyarakat bersuku tunggal, yang tidak mudah melancarkan perang. Sebuah kelompok suku dominan yang kehilangan pemimpin karismatik, atau kalah manuver, selalu menjadi kelompok yang menghadapi risiko menjadi sasaran  kekerasan bila ada kelompok suku yang yang terdesak dan cukup kuat.

Kekerasan di Filipina sering digunakan demi kepentingan politis tanpa mempedulikan hukum yang berlaku. Banyak pengamat mengungkapkan senjata, uang, dan keserakahan sudah mencemari sistem politik tersebut selama puluhan tahun.

Klan politik lokal turun-temurun mewariskan persaingan politik dengan keluarga lain untuk memperebutkan posisi. Masing-masing klan memiliki kelompok bersenjata yang siap melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap  lawan. (10)

––Anna Yulia Hartati, peneliti Laboratorium Diplomasi, dan staf pengajar Hubungan Internasional FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang
Wacana Suara Merdeka 2 Desember 2009