01 Desember 2009

» Home » Kompas » Nyanyian "Sumbang" Century

Nyanyian "Sumbang" Century

Badan Pemeriksa Keuangan telah menyerahkan hasil audit investigatif Bank Century kepada DPR, Jumat (20/11). Kita meraba ada banyak keganjilan dan dugaan korupsi.
Jika ditemukan penyimpangan dan aliran dana politik, kasus ini bisa menjatuhkan kekuasaan korup. Atau sebaliknya. Ia pun berpotensi disalahgunakan menjadi sekadar posisi tawar politik yang juga tak kalah korup.
Kedua kemungkinan itu perlu sama-sama dicermati, termasuk kompleksitas skandal hukum, mafia peradilan, dan corruptor fight back terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang menemukan titik kritis belakangan ini. Tepatnya, terjadi dugaan rekayasa proses hukum dan kriminalisasi saat KPK mengusut skandal Bank Century dari kacamata pidana korupsi.


”Centurygate”
Penggunaan istilah gate di belakang Century mulai luas dilakukan. Membaca penggunaan gate, dari ”Watergate” di AS yang berujung turunnya Presiden Nixon (8/8/1974) hingga ”Buloggate” yang berujung jatuhnya seorang Presiden RI, memberi nuansa tersendiri dalam kasus ini. Namun, kita berharap, terma gate dapat menjadi simbol keseriusan pengusutan sejumlah kejanggalan dan permainan mafia di balik skandal Bank Century.
Dari aspek politik, mekanisme hak angket mulai bergulir dan sudah disetujui DPR. Meski sulit berharap banyak, proses ini patut dituntaskan. Demikian juga dengan KPK yang telah melakukan penyelidikan (6/2009).
Alasan paling sederhana di balik penuntasan ”Centurygate” adalah, kita tidak ingin fungsi dan keuangan negara dibajak kepentingan mafia. Titik kritis pengusutan korupsi dapat dilakukan dari kategorisasi dugaan pelanggaran Century dalam tiga logika.
Pertama, kejanggalan pembentukan Bank Century. Kedua, perkembangan status Bank Century yang dapat dipahami sebagai peringatan awal kemungkinan membebani keuangan negara dan merugikan publik.
Pada dua poin ini, kita bicara praktik mafia perbankan. Hal ini potensial memberi ruang kejahatan lain, seperti pencucian uang dan dana-dana yang sulit dipertanggungjawabkan secara hukum. Sepatutnya PPATK punya sarana dan kewenangan untuk meneropong fase ini.
Ketiga, kemungkinan desain kebijakan yang disusun untuk membenarkan pelanggaran. Kita perlu cermat melihat fenomena revisi peraturan Bank Indonesia yang dinilai melancarkan pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek dan penyertaan modal sementara. Sejumlah rapat dewan gubernur dan surat menyurat akan menjadi pintu untuk mencari aktor utama yang ngotot Century dibantu.
Dari titik ini, kita bisa paham, mengapa pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) perlu menyuntik dana Rp 6,7 triliun. Masyarakat tentu sulit percaya jika Bank Century tidak dibantu, akan berakibat sistemik. Apalagi, audit BPK meragukan penilaian itu. Bahkan, PPATK punya catatan rekening mencurigakan terkait Bank Century.
Dari kacamata motif ekonomi- politik dan korupsi, fenomena ini dapat dijelaskan dengan terma ”pembajakan negara”. Secara sederhana, penggunaan sarana negara bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk pembiayaan politik dan keuntungan mafia bisnis, ini pembajakan negara.
Sandera politik
Jika saja state capture itu benar, agaknya kita bisa meramalkan nasib pihak yang ada di balik ”Centurygate”. Namun, kita berharap, teori itu hanya kekhawatiran berlebihan.
Di tengah kegeraman dan kecurigaan publik, skandal Century harus dituntaskan. Ini bukan hanya untuk menemukan ada-tidaknya korupsi dan persekongkolan jahat, tetapi juga untuk menjaga kredibilitas pemerintah, terutama terkait informasi dana kampanye, pencucian uang, dan kabar penalangan kontroversial yang beredar di masyarakat.
Penyelesaian kasus ini tak boleh mengambang seperti banyak kasus sebelumnya. Ketidakjelasan penyelesaian akan menyandera pemerintah selamanya. Lihat saja megaskandal BLBI yang hingga kini dimasalahkan. Dan itu lekat di ingatan publik.
Sejumlah informasi kontroversial sudah beredar. Meski berulang kali dibantah, masyarakat tidak mudah percaya karena selama ini semua koruptor selalu membantah melakukan korupsi.
Demikian juga dengan hak angket. Masyarakat pasti tidak ingin angket ”Centurygate” hanya berakhir dengan posisi tawar politik koruptif. Apalagi, sejarah hak angket di DPR 2004 hampir cenderung gagal. Kita tak pernah tahu, konsesi apa yang didapatkan para pendukung hak angket dari kekuasaan atau mafia bisnis. Lihat saja angket BLBI yang kandas dalam proses lobi (Kompas, 11/6/2008). Begitu pula upaya mengungkap kasus Adaro, Lapindo, DPT, BBM, dan lainnya. Bukan tidak mungkin, sebuah hak angket dapat disulap menjadi ”ATM politik”.
Dengan demikian, bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemungkinan tak tuntasnya pengungkapan ”Centurygate” akan merugikan kredibilitas dan posisi politiknya. Jika KPK didukung mengusut, setidaknya SBY bisa paham, siapa ”koruptor dalam selimut” yang selama ini bersarang di lingkaran negara. Sebaliknya, jika angket tuntas dan tak dijegal, diperkirakan SBY dan partainya tak akan tersandera politik jangka panjang, Meski, seperti nyanyian, harus diakui ada banyak nada sumbang dalam kasus ini.
Namun, nyanyian tak merdu ini sudah lama terdengar. Agar tidak menimbulkan kegaduhan publik, orkestra Century harus dibenahi, secara politik dengan penuntasan hak angket dan secara hukum dengan pengusutan dugaan korupsi oleh KPK.
FEBRI DIANSYAHPeneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW
Opini Kompas 2 Desember 2009