24 November 2009

» Home » Solo Pos » Tamatkah negeri para bedebah?

Tamatkah negeri para bedebah?

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala



Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah
dan bogem mentah
Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya//
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan…

Raden Mas Suloyo, ningrat yang merakyat di kampung saya ini iba-tiba makantar-kantar membacakan puisi karya Adhie Massardi berjudul Negeri Para Bedebah… itu. Di sela-sela diskusi kelas kampung, Denmas Suloyo bergaya bak Si Burung Merak, mengepal, berteriak hingga muncrat di tengah komunitas jagongan News CafĂ© kami.
Tepuk tangan pun akhirnya kami berikan. Diskusi di kampung saya Minggu kemarin memang lumayan meriah, seingar-bingar perseteruan antarlembaga hukum di negeri kita yang dicap sebagai negeri bedebah. Seperti biasa, Denmas Suloyo selalu menjadi lakon karena pandangan-pandangan politiknya yang sering nyeleneh dan waton sulaya meskipun sering kritis.
”Kita harus mendukung untuk memberantas para bedebah. Rekomendasi Tim 8 untuk mereformasi, mereposisi para personal di kepolisian dan kejaksaan harus kita dorong… di sana memang banyak oknum bedebah! Kalau Presiden tak berbuat apa-apa mari kita revolusi, demonstrasi atau paling tidak berdoa agar Pak SBY bertindak tegas!” teriak Denmas Suloyo seakan belum puas setelah menggeh-menggeh berpuisi ria.
“Ayak… panjenenganini kok kaya yak-yak a ta Denmas. Ngko diyaki luput. Sepertinya meresapi betul puisi yang sampeyan baca tadi ya. Tapi ini kan perkara besar. Urusan para priyagung. Rakyat seperti kita ini apalah artinya… hanya bisa pasrah apapun yang menjadi titah penguasa,” timpal Mas Wartonegoro, partner diskusi paling klop Denmas Suloyo.
“Nah justru itu Mas. Mulai sekarang kita harus bisa menggalang opini yang ngedab-edabi. Suara rakyat adalah suara Tuhan… jika kita bersatu untuk menyuarakan kebenaran, menyuarakan rasa keadilan… maka bukan hal yang mustahil kita yang jelata ini bisa mengusir para bedebah,” kata Denmas Suloyo berapi-api.
“Benar juga lho Mas apa yang dikatakan Denmas Suloyo. Kasus heboh di negeri kita kemarin itu, bisa menggelinding kencang juga tak lepas dari peran besar rakyat biasa. Gerakan di Facebook, demonstrasi di berbagai penjuru kota dan diskusi-diskusi kecil macam kita ini bisa jadi merupakan cikal bakal terbentuknya opini publik yang luar biasa. Ini pula yang mendorong Presiden kita kemudian memutuskan membentuk tim pencari fakta… rak iya ta?” kata saya setengah bertanya kepada peserta jagongan.
Tegas
Begitulah. Ajang kumpul-kumpul rakyat kelas bawah seperti ini memang sering tak memberi efek besar kepada kebijakan negara. Namun ketika era telah berubah seperti sekarang, tidak ada yang mustahil bahwa ketidakadilan bisa ditumbangkan oleh gerakan rakyat lewat berbagai cara dan media.
Karenanya, dalam obrolan ngalur-ngidul tentang “para bedebah”, tentang perseteruan antara “cicak dan buaya”, tentang harapan rakyat akan ketegasan pemimpinnya, menjadi ajang yang menyenangkan bagi orang-orang kelas bawah seperti kami yang sering tak punya media besar untuk menyalurkan unek-unek sekadar ngudarasa.
Kita semua tentu berharap, negeri ini tidak terus-menerus dicap buruk rupa, bahkan oleh rakyatnya sendiri. Ada yang menyebut Republik Mimpi Buruk, Republik Maling, Republik Pelupa dan masih banyak yang lainnya termasuk sebagai Negeri Bedebah tadi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, “bedebah” adalah makian untuk seseorang yang bermakna kurang lebih “celaka”. Namun dalam bahasa sosiologis, bedebah sebenarnya lebih berkonotasi kepada orang-orang yang tak bermoral, tak punya rasa malu, suka menipu, tebal muka, sumpahnya palsu, injak sana-injak sini, bertindak sewenang-wenang, apa pun dilakukan demi tercapainya tujuan, tak ada kamus haram dalam benaknya, semua halal, mencla-mencle, miyar-miyur, esuk tempe sore dhele dan seterusnya… itulah orang yang patut diumpat dengan kata “Bedebah!!!”
Semoga saja ingar-bingar perseteruan antara lembaga hukum di negeri kita bisa segera berakhir dengan keputusan tegas Presiden kita yang akan disampaikan hari ini. -

Oleh : Mulyanto Utomo Wartawan SOLOPOS
Opini Solo Pos, 23 November 2009