24 November 2009

» Home » Media Indonesia » Republik Koruptor

Republik Koruptor

Hari-hari ini Indonesia terus berkabung di sebuah lorong kebatilan. Bencana demi bencana hadir meruyaki negeri ini. Sepertinya kian memperluas samudra kesengsaraan anak bangsa yang terus mengalirkan air mata kesedihan di tengah gersangnya kejujuran, keadilan, dan kesehatian. Tangisan 200 juta lebih rakyat meledak dan memecah keheningan lantaran mulainya matinya nurani para petinggi negeri ini. Kasus KPK vs Polri dan sejumlah indikasi kriminalisasi institusi yang terjadi akhir-akhir ini mungkin dapat disebut sebagai sebuah apologi nasionalisasi korupsi yang tengah berdentang keras dari Sabang sampai Merauke, hingga memekikkan kemiskinan dan ketidakadilan masif (Rosse Ackerman,1999).

Kerakusan, mental menerabas, dan teatrikal kebohongan penguasa tumpah ruah di persada. Sebuah proses 'pemerdekaan' narsisisme kolektif tengah mencelat. Tesis yang terajukan saat ini, negara telah gagal menggaransikan keterjaminan kepada bangsa akan hak-hak mengenyam sumber daya secara kooperatif dan adil. Kotak pandora sosial: bunuh diri rakyat, letupan emosi dan kristalisasi kemurkaan, vandalisme, dan hobi jalan pintas, yang berakhir pada tabiat destruktif oleh rakyat, dewasa ini, secara seragam dan tunggal hanya dapat dibaca dan dicarikan kuncinya pada ketidakkonsistenan pemimpin menegakkan aturan kekuasaan sebagai sebuah supremasi moral.

Negara selalu melibas berbagai penyimpangan kemerdekaan bersikap di depan cermin kemartabatan dengan alibi-alibi yang inkonstitusional. Maka tak dapat disangkal lagi bahwa harga diri sebagai bangsa berada di laras kematian nurani. Sebuah realitas buruk yang menjadikan kita terus tersuruk dalam kepahitan arus dekadensi moral bernegara tanpa sedikit pun mau menyadarinya.

Sayatan otoriterisme
Para politikus (free rider), yang menyergap gerbong reformasi dengan mengubah mantel kekuasaannya, sekejap mengintonasi diri sebagai demokrat. Padahal, setiap zaman (kerajaan, penjajahan Belanda, Jepang, era Orde Lama, Orde Baru, bahkan sampai kini) pemerintahan kita selalu dinihilisasi ketiadaan pengalaman sahih berdemokrasi. Berdemokrasi kita cuma hadir pasca-1945-1955, sebelum berakhir dengan hadirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, para politikus cuma layak disebut sebagai pemerkosa demokrasi yang lihai memainkan pesona kekuasaan di lingkaran para cukung dan kerumunan mafioso jahat.

Insting keperilakuan elite-elite bangsa selalu tak terselami rasio-moralitas. Orientasinya hanya bisa dimengerti dalam kaca mata kekuasaan. Semangat kekuasaan itu semata-mata menonjolkan privatisasi politik yang membekukan kebersamaan dan solidaritas sosial. Kata Nietzche, sejatinya manusia harus terus-menerus menceburkan dirinya dalam konflik/peperangan untuk mengaktualisasi dan menjernihkan kekuatannya.

Lima pergantian presiden dalam 10 tahun reformasi, rakyat dibiasakan tidak menggugat dan menagih janji-janji pemimpinnya sehingga instabilitas politik, sosial, budaya, dan ekonomi terjun bebas dalam kerangkeng amnesiaisme publik. Kepercayaan diri politik rakyat untuk menghakimi dosa politik pemimpin masih ditorehi luka sayat otoriterisme Orba yang belum sembuh benar. Ini dimanfaatkan para penggila kekuasaan sekarang sebagai pasar politik empuk mendestinasikan kepentingannya dengan propaganda lipstikal. Selepas pergantian kepemimpinan, selalu yang terjadi adalah permainan dimulai dari titik nol, zero sum game. Maka setiap preseden pemerintahan tidak pernah berpreferensi politik untuk mengevaluasi sekaligus menghukum berbagai keputusan politik yang menyimpangi kehendak rakyat.

Warisan soal yang memuat kekalahan wong cilik tak pula menggugah sukma meski terbelakangnya republik ini tak lain karena dosa pemimpinnya. Itu sebabnya Bung Karno dalam otobiografinya tentang anaknya--yang ditujukan untuk Guruh Soekarnoputra--berharap, 'apa pun dia jadinya kelak, terserah kepada hari depannya, cuma satu doaku untuknya, semoga dia tak terpilih menjadi presiden, kehidupan itu sungguh berat'. Imbauan ini pun bisa dideretkan secara representatif pada jabatan di bawahnya, seperti bupati/wali kota atau gubernur.

Hal terberat menjadi presiden--atau bupati/wali kota/gubernur--bagi bangsa sepluralis dan seluas Indonesia ini adalah bagaimana memadukan komitmen dan perilaku dengan indikator pengorbanan. Bukan political will semata, melainkan political commitment yang mewujud dalam aksionalisasi kepemimpinan representatif-populis. Artinya, yang dirujuk dan dilakukan pemimpin, merupakan cerminan kebutuhan rakyat-bangsa bukan duta sebuah prosmikuitas politik-pasar yang merenggut nyawa pembangunan pro-poor (prorakyat miskin) seperti yang diperlihatkan dengan telanjang, saat ini. Pornografi politik paling santer adalah ketika dramatisasi pemberantasan korupsi tidak tuntas diselesaikan sampai kini. Mereka yang memiliki julukan sebagai panglima hukum di negeri ini malah sebaliknya ramai-ramai menzalimi kristalitas ayat hukum itu sendiri di depan rakyat.

Rakyat kian tidak percaya lagi pada negara ini karena nyaris dihuni komplotan penjahat kakap yang mengaduk-aduk rasionalitas rakyat dengan justifikasi menyesatkan. Lihatlah sumpah demi sumpah dengan dalil akhirat dan kematian berlomba diucapkan mereka. Tetapi perilaku mereka sudah jauh lebih dahulu menelanjangi perilaku amoralnya. Rakyat tahu, jabatan dan kedudukan politis telah memperbudak para pejabat untuk semampu mungkin melakukan penjarahan sumber daya bangsa ini tanpa menyisakan tekanan yang berarti.

Saya teringat fabel klasik, Karel Frederic Winter dalam Lajang Dongenging Sato Kewan, berhuruf Jawa (1850). Fabel itu mengisahkan seekor tikus yang bermain di dekat singa yang tidur pulas. Singa merasa terganggu. Sekali gebuk, tikus itu sudah dalam cengkeramannya, hanya tinggal dicaplok. Tapi, rupanya sang singa sadar, dirinya terlalu tinggi dan tangguh untuk membunuh cuma seekor tikus. Membunuh binatang lemah akan mengurangi wibawanya. Tikus itu pun dilepasnya. Saat singa jalan-jalan mencari angin ia seketika terjebak jerat pemburu. Ia meraung-raung, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Giliran tikus menjadi dewa penyelamat. Tikus mengerat serat-serat jaring hingga singa berhasil lepas. Ironisnya, kita setelah jadi singa tak mampu berjiwa besar dan setelah jadi tikus tidak tahu membalas budi.

Korupsi memang harus dibasmi untuk menghadirkan atmosfer pemerintahan yang lebih bersahabat dengan rakyat, terutama lewat pengadilan konstitusional yang bermartabat (bdk Heru Leluno, 2008). Di tengah berkeliarannya 'tikus-tikus' (koruptor) pengerat aset republik, kita butuh negarawan asketisisme yang menjunjung tinggi kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban untuk menegakkan hukum dan keadilan setegak-tegaknya seperti teladan Socrates. Bukan sosok elite/pemimpin kerdil yang bermental singa, tapi berjiwa tikus yang sukanya nyolong, takut dilihat orang.


Oleh Umbu TW Pariangu, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang; mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM
Opini Media Indonesia 25 November 2009