20 Oktober 2009

» Home » Media Indonesia » Presidensialisme, Absolutisme, dan Distansiasi Politik

Presidensialisme, Absolutisme, dan Distansiasi Politik

'Pencalonan Menteri Picu Gesekan Internal Partai', demikian Media Indonesia (15/10/2009) membedah dan menganalisis ambisi sejumlah partai politik untuk mendapatkan jatah kursi kabinet. Ada elite parpol yang secara terang benderang menunjukkan inkonsistensi politik menggelikan. Suatu saat mulut mereka mengumumkan posisi oposisional, sementara mereka tidak mampu menutupi hasrat politik merasakan nikmat kekuasaan. Sebagai contoh, publik kini melemparkan sinisme menggetirkan kepada parpol seperti PDIP yang 'mendua' dalam sikap politik. Satu badan politik, dengan dua selera yang bertabrakan!


Pada edisi ini juga ditampilkan secara khusus pernyataan pers dua petinggi PDIP, Puan Maharani dan Pramono Anung, yang disebut-sebut dalam media massa beberapa waktu terakhir sebagai kandidat menteri. Memang ada pernyataan tegas Megawati Soekarnoputri yang menyayangkan keinginan segelintir elite PDIP untuk menyeberang ke kubu pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono demi mendapatkan kursi menteri. Namun, keberhasilan Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR dengan dukungan Partai Demokrat melemahkan ketegasan semacam itu.
Meski begitu, sesudah Partai Golkar menegaskan pilihan politik 'tidak bisa' menjadi oposisi alias memperbesar koalisi yang ada, sikap politik PDIP menjadi satu-satunya harapan politik munculnya pengimbang pemerintahan rezim SBY. Namun, sebelumnya kita menghadapi sebuah pertanyaan kecil ini. Apakah oposisi masih mungkin dilakukan terutama oleh PDIP manakala Taufiq Kiemas justru mendapatkan dukungan penuh Partai Demokrat saat merebut posisi Ketua MPR?

Dilema
Dimitri A Sotiropoulos (2006) menyebutkan praksis kekuasaan dan segenap kebijakan politik yang diambil para penguasa niscaya berhubungan dengan dua hal utama. Pertama, problem multidimensional di kesilaman yang belum sepenuhnya terselesaikan dan kedua, sekaligus tantangan baru yang belum bisa terprediksikan dengan lengkap. Dua hal ini sama-sama penting untuk diselesaikan sehingga kesejahteraan sebagai salah satu variabel penting keberhasilan pemerintahan dapat terwujud.
Paling tidak ada dua cara yang mau ditempuh secara politik terhadap dua persoalan ini. Pertama, pemerintahan harus berada dalam posisi sangat kuat sehingga setiap kebijakan politik dapat dilaksanakan tanpa hambatan. Namun, selalu ada kecenderungan munculnya kekuasaan minolitik dalam situasi seperti ini. Seterusnya, pemerintah bisa melakukan apa pun tanpa kontrol kuat sehingga pembongkaran terhadap peluang penyelewengan amat kecil terjadi.
Kedua, urgensitas pembicaraan tentang oposisi politik berada dalam kecemasan semacam ini. Bukan terutama melakukan perlawanan dan balas dendam politik. Tetapi, ada kebutuhan atas kontrol politik, bagaimana menjadikan kekuasaan (pemerintah) yang hampir absolut dengan politik pembangunan yang konstruktif untuk kemakmuran sosial.
Terutama kelompok yang sejak lama mengumumkan diri sebagai kekuatan oposisi segera mengalami dilema hebat. Itu menguat pada saat politik diperlakukan dengan kejam sekadar sebagai medium menebalkan saku ekonomi para penguasa. Oposisi politik dianggap sebagai pilihan yang tidak menguntungkan secara ekonomik, sementara berada bersama dalam pemerintahan (koalisi) secara niscaya disertai dengan privilese ekonomi.

Habituasi
Hingga sekarang ini rupanya pembicaraan seputar pemerintah yang kuat memang sudah berakhir. Rezim SBY-Boediono bahkan terlalu kuat untuk ukuran pemerintahan kuat. Presidensialisme yang melekat dalam pemerintahan SBY-Boediono menjelaskan kekuatan politik yang teramat kuat. Dukungan mayoritas parlemen sudah pasti akan menjadikan pemerintahan ini mempunyai keleluasaan mengeksekusi sekian banyak langkah politik pembangunan. Kendali ada di tangan rezim ini sedemikian rupa memperlihatkan keabsolutan kekuasaan yang tidak terbantahkan.
Jika berhadapan dengan kondisi politik ini, memang wajar muncul dilema yang terlampau berat untuk membangun oposisi politik. Meski demikian, menyerahkan proses pembangunan hanya pada kelompok politik koalisi pemerintahan bisa berujung pada kegagalan. Ketidakseimbangan politik (tanpa kontrol) merupakan abnormalitas politik dalam kerangka demokrasi. Kematangan politik pembangunan terutama yang merujuk pada kebutuhan konkret publik membutuhkan basis pemerintahan yang kuat. Ini tidak hanya datang dari koalisi yang besar, tetapi juga muncul dari keterbukaan pada hantaman oposisi politik.
Russell J Daton (2004) menegaskan salah satu sebab kegagalan pemerintahan kuat adalah erosi dukungan politik demokratik. Dukungan politik itu terutama mengacu pada keberanian melampaui interes privat dan kelompok politik demi pembelaan hak-hak publik. Pada bagian ini terutama yang mau disentuh adalah kerelaan menjadi bagian dari kontrol politik (oposisi). Dukungan politik mengalami pengeroposan akibat keintiman pekerja politik dengan kenikmatan kekuasaan.
Berhubung oposisi bukan bagian dari kultur dan sistem politik nasional, usaha membangun semacam habituasi oposisi politik adalah keniscayaan. Ambil contoh, PDIP sebenarnya sudah melakukan 'pembiasaan' politik untuk menjadi oposan terhadap pemerintah, tetapi kontinuitas proses amat berharga ini mulai mengalami kemacetan manakala sebagian elite membangun koalisi dengan partai pemerintah pada kesempatan lainnya.

Distansiasi
Sudah lama sekali kesadaran politik kita dicekoki sebuah pembiasaan yang salah bahwa oposisi merupakan 'dosa politik'. Itu yang sejak awal telah mengukuhkan sebuah supremasi kekuasaan, dominasi, dan membeku pada segenap argumentasi politik represif yang menelikung geliat kontrol publik politik terhadap keseluruhan perilaku kekuasaan. Sesungguhnya, oposisi tidak sekadar persoalan ada atau tidak dalam sistem politik, sesuai atau tidak dengan kebutuhan konstitusional, tetapi terutama sebagai gerakan politik yang meluap dari ketulusan menjunjung pembangunan yang berpihak pada rakyat.
Fabian Biancardi, asisten profesor politik pada Riverside Community College, California (2003), menekankan adanya semacam kerangka kerja (framework) politik untuk menerjemahkan 'perlawanan' politik terhadap pemerintahan secara efektif. Kita mungkin tidak cukup memiliki kerelaan menekuni oposisi politik. Namun, usaha mengambil jarak terhadap kekuasaan merupakan pembelajaran awal bagaimana kita bisa meredam madu kekuasaan serentak membasmi racun yang muncrat dari kekuasaan yang cenderung menjadi absolut. Distansiasi politik adalah jalan tengah yang dapat kerjakan dengan tulus oleh para oposan politik peragu mulai saat ini.

Oleh Max Regus, Direktur Parrhesia Institute Jakarta
Opini Media Indonesia 20 Oktober 2009