20 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Memaknai Formasi Kabinet

Memaknai Formasi Kabinet

Sebagian besar calon menteri yang diwawancarai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor, ternyata wajah baru. Namun, komposisi Kabinet Indonesia Bersatu II yang lebih bernuansa politik tampaknya tidak banyak berubah. Apa artinya?


Dari sekitar 34 posisi menteri Kabinet Indonesia Bersatu, hanya 10 orang yang dipercaya kembali Presiden Yudhoyono dengan kemungkinan posisi yang berubah. Sebagian besar lainnya, yang semula berharap-harap cemas ditelepon Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi atau staf kepresidenan, apa boleh buat, harus gigit jari.
Sementara itu, dari segi formasi, Yudhoyono telah menegaskan, Kabinet Indonesia Bersatu II, seperti kabinet sebelumnya, mencakup 34 jabatan menteri atau pejabat setingkat menteri. Diperkirakan sekitar separuh di antara mereka adalah kandidat menteri yang berasal dan diusulkan parpol dengan komposisi Partai Demokrat 5 orang, PKS 4 orang, PAN dan Golkar masing-masing 3 orang, serta 2 parpol lainnya, PPP dan PKB, kemungkinan masing-masing dua orang.
Parpol tidak disiplin
Jika sebagian besar dari mereka yang dipanggil ke Cikeas dipilih sebagai menteri, tampaknya format KIB II tidak jauh berbeda dengan kabinet sebelumnya. Artinya, Presiden Yudhoyono beranggapan, betapapun mandat politik yang diperolehnya dari rakyat amat absolut, dia tetap mengharapkan dukungan politik dari partai-partai di DPR. Jenderal kelahiran Pacitan ini tampaknya tidak cukup memiliki ”nyali politik” untuk memenuhi harapan publik agar kabinetnya lebih bernuansa profesional ketimbang politik.
Di satu pihak, pilihan kabinet yang tetap bernuansa politik menjanjikan stabilitas politik dan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Apalagi para menteri kini diikat kesepakatan koalisi antarparpol pendukung secara institusi, penandatanganan pakta integritas, dan kontrak kinerja secara individual. Namun, di pihak lain, Yudhoyono melupakan realitas karakter politisi parpol yang tak hanya cenderung oportunistik, tetapi juga tidak konsisten dan tak disiplin dalam berkoalisi.
Pengalaman Kabinet Persatuan Nasional di bawah Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) dan pengalaman Presiden Yudhoyono selama 2004-2009 jelas mengindikasikan hal itu. Penolakan kebijakan pemerintah acap dilakukan parpol pendukung pemerintah melalui penggunaan hak angket dan hak interpelasi di DPR. Artinya, tidak ada jaminan apa pun bahwa parpol koalisi dan pendukung Presiden Yudhoyono konsisten dengan komitmen selama lima tahun ke depan.
Mulai nol kembali
Sementara itu, fakta hanya sebagian kecil menteri KIB jilid I yang dipilih kembali Presiden Yudhoyono jelas cukup mengejutkan. Betapa tidak, selama masa kampanye Pemilu 2009 lalu, Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat selalu mengklaim keberhasilan pemerintahannya di berbagai bidang. Apabila klaim keberhasilan demikian disepakati sebagai hasil kerja kolektif Presiden beserta para pembantunya, seharusnya Yudhoyono memberikan kepercayaan kembali kepada setidaknya separuh dari menteri KIB jilid I. Ironisnya, dari sekitar 10 personalia menteri yang dipertahankan, hanya dua—di antaranya Sri Mulyani dan Mari Elka Pangestu—yang tetap pada posisi mereka seperti sebelumnya.
Urgensi mempertahankan setidaknya 50 persen posisi menteri adalah dalam rangka kontinuitas kerja dan kinerja pemerintah itu sendiri. Apalagi ini bukan pemerintah baru, tetapi pemerintah yang dipercaya kembali untuk masa jabatan periode kedua. Melalui pengangkatan kembali separuh menteri KIB pada jabatan yang sama, Presiden Yudhoyono sebenarnya bisa memacu kinerja kabinet lebih cepat seperti diharapkan.
Konsekuensi logis dari formasi KIB jilid II adalah bahwa sebagian besar menteri harus bekerja mulai dari nol kembali. Sebagian menteri yang belum berpengalaman dalam pemerintahan, apa boleh buat, memerlukan waktu cukup lama untuk mengenali bidang tugas dan mengidentifikasi problematik, sebelum ”tancap gas” seperti harapan Yudhoyono melalui program kerja 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II.
Risiko pilihan politik
Barangkali, itulah risiko pilihan politik Presiden Yudhoyono yang membentuk kabinet atas dasar pertukaran kesempatan para elite parpol. Masalahnya, kuat sekali kesan bahwa posisi kementerian tertentu seolah merupakan ”jatah” parpol tertentu sehingga prinsip orang yang tepat di tempat yang sesuai, seperti berulang kali dipidatokan Yudhoyono, ternyata dilanggar sendiri.
Mungkin inilah risiko pilihan Presiden Yudhoyono yang tak kunjung berani menghindar dari perangkap oligarki parpol yang mulai mengancam masa depan demokrasi di Tanah Air. Betapa tidak, dengan dukungan 75,5 persen basis politik enam parpol koalisi di DPR, pemerintahan Yudhoyono tak hanya berpotensi kolutif, tetapi juga berpeluang ”terpenjara” oleh kepentingan para politisi. Konsekuensi logisnya, efektivitas pemerintahan hasil Pemilu 2009 jelas menjadi taruhan mahal bagi Yudhoyono.
Apabila kecenderungan itu menjadi kenyataan, tidak ada pilihan lain bagi segenap elemen masyarakat sipil kecuali turut serta mengawal kerja kabinet dan pemerintahan Yudhoyono. Masa depan demokrasi dan negeri ini tampaknya belum waktunya diserahkan sepenuhnya kepada parpol dan para politisi.
Terlalu besar risiko bagi bangsa ini jika mandat rakyat dipertukarkan sekadar sebagai voucer atau ”bukti utang” bagi elite politik dalam meraih kesempatan dan merebut kekuasaan.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
Opini Kompas 21 Oktober 2009