20 Oktober 2009

» Home » Media Indonesia » Perbaiki Iklim Investasi Migas!

Perbaiki Iklim Investasi Migas!

UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang menjadi dasar sistem/manajemen perminyakan nasional saat ini tidak ayal lagi sudah harus segera diganti karena terbukti secara ekonomi sangat merugikan negara dan secara hukum UU ini sudah 'cacat'.

Sebelum diamputasi Mahkamah Konstitusi, UU ini sebenarnya sudah 'cacat' sejak lahir. Penyebutan Pasal 33 UUD 1945 yang dipakai di dalam konsideran 'mengingat', ternyata salah. UU Migas menyebutkan kalimat berikut: 'Mengingat, antara lain Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan Kedua UUD 1945'. Padahal Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945 hingga saat ini tidak pernah diubah.
Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya pada 21 Desember 2004 telah mengamputasi beberapa pasal utama, yakni pasal yang menyangkut dasar hukum bagi perusahaan minyak dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di suatu blok/wilayah kerja. Di samping pasal mengenai jumlah DMO (domestic market obligation) yang dibatasi maksimal 25% dan pasal mengenai penyerahan harga BBM dan gas sepenuhnya kepada mekanisme pasar persaingan.
Pasal 12 ayat 3 UU Migas yang semula dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi kehadiran perusahaan/kontraktor minyak di suatu blok/wilayah kerja ternyata menjadi sangat berlebihan. MK mencabut pasal ini karena dinilai melanggar Pasal 33 UUD 1945.
Pasalnya, wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang menurut Pasal 1 ayat 5 tidak lain adalah merupakan kuasa pertambangan (KP) oleh Pasal 12 ayat 3 diserahkan kepada kontraktor. Hal itu tidak selayaknya dilakukan karena wewenang tersebut seharusnya tetap dipegang pemegang KP (pemerintah atau BUMN). Perusahaan minyak yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi hanya sebatas sebagai 'kontraktor' dari pemegang KP. Dengan diamputasinya Pasal 12 ayat 3 tersebut, dasar hukum bagi kegiatan kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi menjadi tidak jelas.
Pasal lain yang diamputasi MK adalah Pasal 22 ayat 1 tentang kewajiban DMO (domestic market obligation) yang dibatasi maksimal 25% dan Pasal 28 ayat 2 tentang Harga BBM dan Gas Bumi yang Sepenuhnya Diserahkan kepada Kekuatan Pasar.
Menurut MK, tidak selayaknya minyak dan gas bumi bagian kontraktor untuk keperluan dalam negeri dibatasi maksimal 25%. Tentu lebih banyak yang dijual di dalam negeri akan lebih baik agar kebutuhan energi/migas dalam negeri bisa lebih terjamin dan bisa mengurangi ketergantungan pada migas impor.
Selain itu, MK telah mengamputasi Pasal 28 ayat 2 tentang Liberalisasi Kebijakan Harga BBM dan Gas Bumi, dengan harga jual sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar persaingan. Pasalnya, di seluruh dunia termasuk di negara-negara industri maju yang sangat kapitalistik (OECD), tingkat harga jual BBM di pompa bensin selalu memperoleh campur tangan (didistorsi) pemerintah masing-masing melalui kebijakan pajak BBM. Di negara-negara seperti Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Norwegia, Belanda, dan Spanyol, pajak BBM bisa mencapai 300% dari harga BBM sebelum pajak di pompa bensin (untaxed retail pump price). Dari 100% komponen harga BBM di pompa bensin, sekitar 75% berupa pajak BBM yang telah ditetapkan pemerintah, hanya sekitar 25% dari harga BBM yang dibayar masyarakatnya. Hal itu mencerminkan harga pasar.
Di Indonesia yang sejak zaman Belanda sudah merupakan negara produsen minyak, rakyat sudah sangat terbiasa dengan harga BBM 'murah'. Dengan demikian, siapa pun presidennya, sudah sangat terbiasa untuk ikut campur menentukan harga BBM di pompa bensin melalui mekanisme pajak BBM seperti di negara-negara industri maju tersebut. Cuma bentuk distorsi pemerintah terhadap harga BBM di pompa bensin adalah berbentuk 'pajak negatif' alias subsidi.
Dengan demikian, tidak selayaknya harga BBM di pompa bensin 100% diserahkan ke pasar seperti yang dinyatakan Pasal 28 ayat 3 UU Migas. Pemerintah harus ikut campur menentukan tingkat harga yang dibayar masyarakat. Di Eropa berupa pajak BBM, sedangkan di Indonesia berupa pajak negatif (subsidi). Dalam jangka panjang, sesuai dengan Keputusan G-20, dengan Indonesia sebagai anggotanya, subsidi BBM dihapus secara bertahap sampai harga jual sama dengan biaya pokok (bukan harga pasar). Dengan demikian, harga BBM yang dibayar masyarakat masih tetap akan lebih rendah daripada harga pasar meskipun subsidinya sudah hilang.
Setelah menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, akhirnya Panitia Angket Penaikan Harga BBM DPR telah menyelesaikan tugasnya. Salah satu keputusan Pansus Hak Angket BBM yang mewakili fraksi-fraksi di DPR adalah agar UU Migas No 22/2001 segera diganti.
Secara politis, keputusan Pansus tersebut merupakan sinyal bahwa UU No 22/2001 tentang Migas sudah tidak lagi memperoleh dukungan DPR sehingga seyogianya UU ini harus segera diperbaiki atau diganti.

Kesimpulan dan saran
Produksi migas sebagai sumber pendapatan negara masih sangat potensial untuk dapat ditingkatkan mengingat potensi sumber daya migas yang dimiliki negeri ini masih relatif sangat besar.
Potensi yang besar tersebut membutuhkan investasi yang besar. Investasi eksplorasi dan eksploitasi migas sebaiknya tidak menggunakan dana dari APBN mengingat bisnis perminyakan ini mengandung risiko yang besar.
Untuk itu, diperlukan arus investasi migas yang lebih besar baik yang berasal dari luar negeri maupun dari swasta dalam negeri. Dengan demikian, perlu diciptakan sistem manajemen perminyakan nasional yang simpel dan efisien, tidak birokratik serta memberlakukan kembali kebijakan fiskal khusus sesuai dengan prinsip lex spesialis.
Meskipun membuka pintu yang lebar bagi investasi asing dan domestik, kedaulatan negara atas kekayaan/cadangan migasnya (mineral rights) harus tetap terjamin. Agar sistem manajemen perminyakan menjadi simpel dan efisien, kuasa pertambangan (mining rights) harus diberikan kepada entitas bisnis milik negara (BUMN khusus) sehingga pola hubungan dengan investor mengikuti pola B to B (business to business). Investor minyak asing dan domestik merupakan kontraktor dari BUMN yang memiliki hak untuk memperoleh manfaat ekonomi (economic rights) dari produksi migas yang dihasilkannya.
Dengan KP diberikan kepada BUMN, di samping proses investasi menjadi lebih sederhana, tidak birokratik, juga migas bagian negara yang berasal dari kontraktor akan dapat dikembangkan dan dijual sendiri secara maksimal. Minyak mentah produksi dalam negeri bisa dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri tanpa harus mengeluarkan transaction costs.
Untuk itu, UU No 22/2001 harus diperbaiki secara menyeluruh atau diganti yang prinsip-prinsipnya sebagai berikut: pemegang kebijakan dan regulator tetap di tangan pemerintah (Departemen ESDM); proses investasi migas di bawah satu atap, KP diberikan kepada BUMN sekaligus sebagai penandatanganan KPS; pemberlakuan asas lex spesialis; BUMN diberi peluang untuk memonetasi kekayaan migas nasional guna membayar utang negara dan membiayai pembangunan infrastruktur; BP Migas dilikuidasi ke BUMN, BPH Migas dilikuidasi ke Ditjen Migas; kebutuhan migas dalam negeri harus dipenuhi dari produksi dalam negeri dan sisanya harus dibuka peluang ekspor dengan harga yang dikaitkan dengan harga minyak mentah yang tidak dibatasi; BUMN harus menjamin terpenuhinya kebutuhan BBM dan gas dalam negeri; sektor hilir terbuka bagi investor asing dan domestik dengan bekerja sama dengan BUMN; BUMN harus membayar pajak dan PNBP sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan sebagainya.
Apabila perbaikan atau penggantian UU Migas melalui jalur amendemen dirasakan memakan waktu panjang dan dikhawatirkan kontraproduktif, sebaiknya Presiden Yudhoyono segera mengeluarkan perppu sebagaimana PM Ir H Juanda pada 1960 mengeluarkan perppu (kemudian oleh DPR disahkan menjadi UU Prp No 44/1960) sebagai pengganti atas UU Pertambangan zaman Belanda (Indische Mijnwet 1899) yang sangat merugikan negara.

Oleh Dr Kurtubi, Alumnus Colorado School of Mines, Denver, dan Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs, Paris
Saat ini mengajar ekonomi energi pada Program Pascasarjana FEUI

Opini Media Indonesia 21 Oktober 2009