09 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Potensi Belum Tergarap Wanareja

Potensi Belum Tergarap Wanareja

WANAREJA terletak 125 km barat kota Cilacap, daerah perbatasan dengan Jawa Barat. Kontur daerahnya berbukit-bukit dengan ladang yang ditanami berbagai macam palawija, kemudian umbi-umbian, cengkeh, kelapa, hutan pinus, serta karet dan kakao (cokelat).

Sosio kultural masyarakat kecamatan yang berpenduduk 99.337 jiwa ini terdiri atas orang Jawa dan Sunda-Priangan, serta beberapa dari suku Batak, Bugis, dan etnis China. Karenanya Wanareja bisa disebut miniatur Indonesia dalam lingkup mini mengingat di kawasan ini keberagaman kultur hidup berbaur menjadi satu. Sebutan ini juga untuk membedakan dengan Kota Salatiga yang berjuluk miniatur Indonesia karena siswa dan mahasiswa dari berbagai etnis menuntut ilmu di Salatiga.


Dalam lintasan sejarah, Wanareja pernah menjadi sentral perekonomian masyarakat Kabupaten Cilacap dan sekitar, hal ini ditandai dengan adanya sarana transportasi yang memadai, baik moda darat maupun air. Jalur daratan berupa stasiun dan terminal, sementara jalur sungai terdapati dua sungai besar yakni Citanduy dan Cikawung, dan di tepi sungai tersebut pasar-pasar pun berdiri, seperti Pasar Bantar, Karang Gendot, Sidamulya, dan Tarisi.

Prasarana transportasi darat pun cukup memadai seperti Stasiun Meluwung, Tarisi, dan Cilongkrang. Stasiun itu menghubungkan dengan daerah timur seperti Sidareja, Kroya, Jogja hingga Surabaya, sementara daerah barat; Langgen, Banjar Patroman, Tasikmalaya sampai Bandung.

Sementara transportasi yang menggunakan bus bisa memanfaatkan Terminal Cukangleuleus, Wanareja, Karang Gendot, dan Mergosari, yang menghubungkan daerah barat yakni Banjar Patroman, Ciamis sampai Bandung. Adapun jalur ke timur menghubungkan dengan Majenang, Wangon, Purwokerto, Banyumas, sementara ke arah utara menghubungankan dengan Salem, Brebes, dan Tegal.

Prasarana transportasi sungai melalui aliran Citanduy dan Cikawung. Kedua sungai ini berada di sisi barat dan timur Wanareja yang menghubungkan satu daerah ke daerah lain, bermuara hingga Segara Anakan, Nusakambangan, Kampung Laut, dan berakhir di Cilacap.

Jalur perekonomian dan perdagangan yang stategis guna mengangkut hasil kekayaan alam dan hutan di kawasan ini menandakan bahwa dulu Wanareja adalah daerah produktif  bagi perekonomian masyarakat Cilacap dan sekitarnya, Karena itulah daerah ini dilirik dan kemudian dijadikan tempat tinggal yang menjanjikan bagi keberlangsungan hidup mereka.

Mulai Berbenah

Namun laju perekonomian di kawasan ini terahmbat pada tahun 1965 lantaran daerah ini dianggap sebagai sarang gembong PKI. Geliat perekonomian yang sebelumnya hidup akhirnya meredup. Selama itu pula kecamatan ini yang sebelumnya berarti hutan yang makmur berubah menjadi wana ilang, hutan (makmur) yang hilang, senyap, dan ’’angker’’.

Medio 1970-an daerah ini mulai berbenah, orang-orang rantau dari berbagai penjuru datang dan babad alas membuka lahan pertanian, dan perkampungan pun dibangun. Tak heran jika setiap kampung di kawasan ini berbeda dari  kampung lainnya. Setiap perkampungan di kawasan ini memiliki identitas atau ciri khas tersendiri, baik bahasa, gaya hidup, bahkan dalam berkeyakinan (agama).

Di Cisani misalnya, bisa terlihat warna Sunda yang kental karena daerah ini basis etnis Sunda Priangan, di Cimei  kampungnya orang-orang wetanan (Yogyakarta), sementara di Tlagasari bisa disebut kampungnya orang ngapak-apak  dari Banyumas, termasuk sebagian dari Kebumen dan sekitarnya. Semuanya hidup berdampingan secara damai.

Kini orang kampung itu sudah berbaur, kawin-mawin.
Namun, tidak sedikit yang taraf hidupnya masih tergolong miskin secara ekonomi. Wanareja dengan warga mayoritas petani, hidup bergantung pada apa yang dihasilkan dari bumi. Karena tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari, mereka dituntut hidup lebih kreatif. Sebagian dari mereka ada yang menjadi buruh, termasuk jadi buruh migran, PRT di kota-kota besar.

Wanareja memiliki 6.500 hektare perkebunan karet. Sebagian  milik perkebunan negara (PTPN), swasta (Jawattie), dan sebagian besar perkebunan karet rakyat.

Minimnya pengetahuan warga petani tentang perkaretan menjadi kendala utama. Selain kualitas bibit yang rendah, cara tanamnya pun tak beraturan. Pohon-pohon karet tak terawat dan diliarkan. Akibatnya, getah yang dihasilkan sangat sedikit. (10)

— Imam Hamidi Antassalam, Ketua Keluarga Petani Penyadap Karet-Rakyat (KPPK-R) Wanareja, Kabupaten Cilacap

Wacana Suara Merdeka 10 Mei 2010