09 Mei 2010

» Home » Republika » Peran Sistem Keuangan

Peran Sistem Keuangan

Tugas menjaga kestabilan sistem keuangan dan perbankan tidaklah dapat dipandang mudah. Begitu pula dengan otoritas sistem keuangan di negara-negara maju yang mengalami kesulitan dalam menghadapi ketidakseimbangan yang kerap muncul dalam dinamika perkembangan sistem perbankan dan keuangan. Namun, reformasi struktural yang dilakukan usai krisis 1997-1998 pada berbagai bidang sistem keuangan dan perbankan telah mengubah ketahanan, daya respons, serta kemampuan melakukan langkah-langkah remedial atau koreksi yang lebih baik.

Momentum penurunan suku bunga ditambah berbagai upaya pemerintah bersama DPR merupakan bukti perhatian kepada pemeliharaan kesejahteraan dan daya beli masyarakat melalui berbagai program subsidi dan bantuan keuangan. Hal ini menjadikan kegiatan konsumsi masyarakat menjadi tetap kuat. Alhasil, kredit di bidang konsumsi meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir, dengan rata-rata naik di atas 30 persen per tahun. Pangsa kredit konsumsi dari total kredit melonjak dari hanya sekitar 14 persen pada 2000 menjadi sekitar 30 persen pada 2009.

Di sektor keuangan dan perbankan khususnya, cost of financing menurun cukup cepat, terutama dalam setahun terakhir. Ekspansi kegiatan ekonomi domestik yang mantap diiringi oleh stabilitas sosial, ekonomi, dan politik Indonesia secara keseluruhan telah membawa dampak positif bagi penurunan risiko-risiko berusaha di Indonesia. Premi credit default swap (CDS) untuk Indonesia yang sempat di atas 10 persen dewasa ini sudah berada di kisaran 1,5 persen. Hal itu memberikan dampak positif pada perbaikan rating negara Indonesia. Fundamental makro dan mikroekonomi yang relatif membaik menumbuhkan optimisme di kalangan investor dalam dan luar negeri. Demikian pula dengan geliat pasar modal sejak tahun 2009 yang terus memberikan dampak positif dan IHSG akhir-akhir ini juga semakin bergairah hingga mendekati 3000.

Sejak krisis Asia 10 tahun lalu, perbankan Indonesia mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan, baik dari sisi kinerja operasional, penerapan good corporate governance (GCG), penerapan risk management yang lebih ketat, serta reformasi sistem aturan ke arah standar internasional atau best practices, terutama implementasi Basel II.

Dari sisi kinerja operasional perbankan, berbagai indikator utama perbankan Indonesia menunjukkan perkembangan fundamental mikro yang semakin membaik. Indikator CAR, NPL, NIM, dan ROA membaik dalam lima tahun terakhir. Walaupun pertumbuhan kredit mengikuti naik turunnya dinamika kegiatan ekonomi, kualitas kredit perbankan relatif terkendali, dengan komposisi yang cukup berimbang ke arah UMKM (51 persen). Berbagai keberhasilan di sektor perbankan tidak lepas dari program Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dilaksanakan oleh BI dengan dukungan pemerintah dan perbankan nasional. Mereka bersinergi memperbaiki kinerja dan ketahanan sistem perbankan dalam menghadapi berbagai gejolak dan tantangan.

Kemajuan dan kondisi pasar keuangan Indonesia saat ini, seperti dipaparkan Halim Alamsyah dalam fit and proper test deputi gubernur BI di DPR, relatif masih tertinggal dan sederhana. Di kawasan ASEAN Big Five, Indonesia hanya mampu bersaing dengan Filipina dan masih harus banyak mengejar ketertinggalannya jika dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand. King dan Levine (1993) menggunakan rasio kewajiban likuid sistem keuangan terhadap produk domestik bruto (M2/PDB) untuk merepresentasikan kondisi kedalaman sistem keuangan suatu negara. Berdasarkan rasio tersebut, sejak krisis keuangan pada tahun 1997-1998, rasio M2 terhadap PDB di Indonesia terus menurun dari 60,4 persen pada akhir tahun 1998 menjadi 38,0 persen pada akhir tahun 2009.

Fakta di atas menunjukkan bahwa dewasa ini telah terjadi proses pendangkalan sistem keuangan di Indonesia. Fakta ini juga menjadi indikasi awal bahwa peran sistem keuangan nasional terhadap pembiayaan pembangunan nasional justru menjadi menurun.

Rasio aset sektor keuangan (perbankan) terhadap PDB Indonesia juga terkecil di antara kelompok negara yang sama, yaitu 80,5 persen dibandingkan yang tertinggi di Singapura sebesar 553,2 persen. Kondisi ini me ngindikasikan peran sektor keuangan belum optimal dalam membiayai pem bangunan nasional. Di satu sisi, sistem keuangan Indonesia dianggap cukup berprestasi karena mampu melampaui krisis keuangan global 2007-2008.

Secara faktual, kemajuan di sektor keuangan dan perbankan nasional tidak cukup cepat untuk mengimbangi kecepatan kemajuan di sektor riil.

Dalam industri perbankan, fakta ini agak memprihatinkan, mengingat itu terjadi ketika kondisi sistem perbankan mencatat tingkat keuntungan yang terbaik di antara negaranegara lain. Return on asset (ROA) perbankan Indonesia berkisar 2,6 persen. Sementara negara ASEAN lain hanya 0,2 persen hingga 1,5 persen. Kondisi ini menggambarkan masih besarnya ruang bagi perbankan melakukan ekspansi.

Untuk mengejar ketinggalan dan melayani kenaikan permintaan dalam negeri dengan asumsi tidak ada gangguan krisis yang signifikan, diperlukan rata-rata pertumbuhan tahunan aset sektor keuangan sebesar 31 persen, kredit perbankan 37 persen, kapitalisasi pasar saham 24 persen, dan outstanding obligasi 43 persen. Setidaknya, menurut Halim Alamsyah, terdapat enam pemikiran pokok yang dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan peran sistem keuangan dalam mendukung pem bangunan nasional.

Cakupannya adalah; (1) Penataan ulang struktur perbankan melalui stratifikasi sistem perbankan, termasuk BPR. (2) Penyempurnaan sistem pengawasan yang lebih forward looking dan atas penanganan bank bermasalah. (3) Penggunaan instrumen makromikro guna me melihara stabilitas dan me ning katkan peran sektor perbankan. (4) Strategi perluasan akses pembiayaan, terutama kepada UKM. (5) Penguatan kemampuan koordinasi dan pengambilan keputusan dalam kondisi krisis. (6) Perbaikan kapasitas SDM, terutama yang terkait internal Bank Indonesia.

Stabilitas moneter dan sistem keuangan merupakan dua hal yang sulit dipi sahkan. Pemahaman stabilitas moneter lebih didominasi sebagai sasaran inflasi rendah. Sementara itu, pengendalian sistem keuangan berupaya menjaga tercapainya stabilitas yang prosesnya diwarnai dukungan pengawasan mikroindividual bank atau makroprudensial.

Keterkaitan keduanya terjadi terutama ketika tugas menjaga stabilitas moneter memerlukan bantuan pengawasan makroprudensial untuk mengendalikan perilaku di pasar keuangan. Koordinasi yang selama ini otomatis, mengingat pengawasan perbankan masih di BI, perlu dipetakan dan dicarikan jalan keluar optimal saat otoritas jasa keuangan (OJK) terbentuk. Jangan sampai OJK yang bertujuan memperkuat sistem peng awasan sektor keuangan malah memperlemah fungsi moneter yang justru amat penting bagi pencapaian stabilitas sistem keuangan itu sendiri.


Opini Republika 10 Mei 2010