05 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Pertanda Dini Perilaku Korupsi

Pertanda Dini Perilaku Korupsi

Kegagalan program Kantin Kejujuran, sebagaimana pernyataan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi Dedie A Rachim, baru-baru ini, sebenarnya tidak mengejutkan.  KPK menyadari, upaya memberantas praktik korupsi di Tanah Air memang berat, sehingga upaya-upaya preventif melalui pendidikan moral dan mental antikorupsi perlu dilakukan sejak dini. Target utamanya sekolah dan intansi pemerintah. Hingga kini sudah didirikan 4.000 kantin kejujuran di berbagai jenjang sekolah, namun hasilnya masih memprihatinkan.

Mananamkan kejujuran sejak dini dalam lingkungan sehari-hari, menjadi salah satu terapi preventif untuk menekan budaya korupsi. Dengan keyakinan akan resep itu, Kejaksaan Agung sejak beberapa tahun lalu, meluncurkan program Kantin Kejujuran. Kantin ini sesungguhnya merupakan ide hebat, namun hasilnya justru banyak yang merugi, bahkan bangkrut. Yang memilukan, Warung Kejujuran di Gedung KPK pun merugi, sehingga para petinggi KPK terpaksa patungan untuk menutup kerugian. Jadi apa yang  sebenarnya mengendalai?


Kegagalan Kantin Kejujuran makin membukakan mata hati kita tentang persoalan mental dan moral bangsa; betapa sikap tidak jujur dan korup telah mengontaminasi seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali generasi anak-anak kita di bangku sekolah. Bahkan ada pendapat sinis, kantin itu justru memberi peluang anak untuk praktik korupsi, dan menandai ”korupsi dini”. Pada sisi lain, kegagalan ini menyadarkan kita, cara terbaik menanamkan kejujuran adalah dengan memberi teladan. Jangan berharap anak bisa berlaku jujur di sekolah, jika para orang tua dan guru terbiasa curang.

Korupsi di Indonesia ibarat kanker, sedikit demi sedikit menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Daya tularnya demikian hebat, menjalar dan tumbuh subur hampir di semua tempat. Secara horisontal korupsi sejak lama merusak ranah kekuasaan di semua lembaga: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Secara vertikal pun mengalir dari korupsi terpusat menjadi korupsi terdesentralisasi ke daerah. Seolah-olah tidak ada obat mujarab untuk memberantas realitas itu. Antara ikhtiar pemberantasannya dan kemaharajalelaannya berjalan beriring.

Dahulu diyakini, korupsi terjadi karena alasan ekonomi; gaji terlalu minim untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi sekarang, pelakunya justru orang-orang yang berkecukupan. Menurut Susan Rose-Ackerman, alasan mendasarnya adalah faktor budaya. Ini sejalan dengan pemikiran Prof  Koentjaraningrat (alm), 30 tahun lalu, bangsa ini memiliki mentalitas menerabas, bernafsu mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa jerih payah. Aspiannor Masrie pun yakin, korupsi tumbuh subur karena sikap mental malas, tidak mau bekerja keras, dan selalu mengambil jalan pintas.

Pemberantasan korupsi tidak hanya menuntut pendekatan hukum, tetapi juga moral sedini mungkin. Bagaimana membangun mentalitas antikorupsi yang berpengaruh besar terhadap keberhasilan menekan korupsi, dengan menanamkan nilai-nilai moral, budi pekerti dan agama sejak anak usia dini. Pendidikan menjadi kunci, seiring dengan peran guru, orang tua, dan lingkungan  memberi teladan berperilaku antikorupsi. Intinya, membiasakan anak berperilaku jujur sebagai fondasi pembentukan sikap antikorupsi sedini mungkin.

Wacana Suara Merdeka 6 Mei 2010