05 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Islam dan Multitalenta

Islam dan Multitalenta

ISLAM mengajarkan bahwa setiap anak lahir dalam dalam keadaan fitrah, yang dalam konteks kependidikan, fitrah bermakna potensi dasar. Artinya, setiap anak yang lahir telah dibekali oleh Allah SWT dengan berbagai potensi dasar (multitalenta) atau meminjam istilah Doktor Abdullah Shahab sebagai desain primordial yang luar biasa.

Tugas pendidikan adalah menjaga, memelihara, dan mengembangkan fitrah tersebut agar tetap dalam fitrahnya atau tetap sesuai dengan desain primordial yang ditetapkan Allah, tidak dengan merusak atau bahkan menghancurkannya sesuai dengan selera dan dorongan hawa nafsu manusia sendiri.

Di antara potensi dasar yang ada pada diri manusia adalah dia dipotensikan oleh Allah sebagai pemimpin, khalifatullah fil’ardli, leader bukan follower, sebagai pemenang atau winnerbukan pecundang atau loser. Allah berfirman dalam QS Al Baqarah [2]:30: ”...sesungguhnya Aku akan menciptakan di muka bumi ini khalifah...”, yang dikuatkan dengan sabda Rasulullah SAW bahwa,”... kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinanmu”.


Manusia juga didesain oleh Allah untuk menjadi hamba-Nya, menjadi abdi-Nya, atau abdullah, bukan hamba atau abdi yang lain, misalnya mengabdi pada kekuasaan, jabatan, kekayaan, prestasi dan sebagainya, sehingga terjebak untuk meraihnya dengan menghalalkan semua cara.

Manusia juga diberi potensi oleh Allah sebagai makhluk etik religius. Potensi etik merupakan kemampuan dan kemauan hanya untuk berbuat yang baik dan benar, menolak yang buruk dan salah. Potensi ini ada pada diri manusia dibuktikan ketika akan (untuk kali pertama ) berbuat kejahatan, nuraninya bergetar, memberontak, dan menolak melakukan. Tetapi, akal dan juga lingkungannya, menafikan itu semua, sehingga akhirnya getaran yang berfungsi sebagai sinyal tersebut padam atau mati.

Merasa Senang

Begitu juga manusia memiliki potensi religius, dia akan merasa senang dan bahagia bila mampu menjadi pemeluk agama yang baik dan benar, dibuktikan dengan sikap tidak senang ketika melihat orang lain melanggar ketentuan-ketentuan agama.

Tetapi anehnya yang terjadi hari ini, manusia merasa tidak bersalah atau merasa tidak berdosa ketika melanggarnya, sebagai bukti telah rusaknya potensi atau fitrah yang dimilikinya. (Ahmadi, 1992)
Selain itu, manusia diberi potensi kebebasan (freedom), bebas untuk memilih, bebas untuk berbuat atau tidak berbuat, bahkan bebas untuk beriman atau ingkar. Pendidikan bertugas mengembangkan kebebasan yang dimiliki manusia ke arah desain primordial yang telah ditetapkan Allah yaitu menukarkan kebebasannya tersebut dengan beriman kepada Allah.

 Sekiranya manusia mampu melakukan ini dengan baik dan benar, dia telah memperoleh kebebasan yang sebenarnya karena dengan membarter kebebasannya itu  dengan iman kepada Allah maka seluruh urusan hidup dan kehidupannya diambil alih oleh Allah. Allah-lah yang akan memenuhi semua kebutuhannya. (periksa QS ath-Thalaaq [65]:2-3). Agar supaya potensi kebebasan tersebut bisa berkembang sesuai dengan desain primordial yang ditetapkan oleh Allah, manusia dilengkapi dengan sumber daya yang menjadikannya sebagai makhluk istimewa dibanding makhluk Allah yang lain. Sumber daya itu meliputi insting, pancaindera, akal, dan agama.

 Bagi Allah, manusia tidak cukup hidup hanya dengan insting maka dilengkapilah dia dengan pancaindera, dan bagi manusia, hidup tidak cukup berbekal dengan insting dan pancaindera, dia dibekali dengan akal, yang pada makhluk lain potensi itu tidak diberikan oleh Allah.

Akhirnya, agar manusia selamat hidup di dunia ataupun di akhirat, dia diberi bekal oleh Allah dengan agama, yang menuntunnya pada jalan yang lurus, jalan selamat, jalan yang diridai.
Itulah hidayah dari Allah dan hanya satu hidayah yang tidak diberikan oleh Allah secara ”cuma-cuma”, melainkan harus diraih sendiri oleh manusia, yaitu hidayah taufiq, berupa kesesuaian antara keinginan manusia dan qadrat serta iradat Allah SWT.

Ada dua metode pendidikan yang sangat berpengaruh dan menentukan keberhasilan setiap usaha pendidikan, yaitu  keteladanan atau modelling dan pembiasaan atau conditioning. Hari ini, keteladanan terasa sebagai barang yang sangat langka, sulit menemukan contoh dan teladan dari orang dewasa, pendidik, atau pemimpin. Mereka yang seharusnya tampil di depan, ing ngarsa sung tuladha, sebagai contoh teladan yang baik, faktanya bukan hanya tidak mampu, tetapi justru telah menampilkan diri sebagai contoh yang tidak baik.

Islam mengajarkan, hanya ada satu teladan yang dijamin oleh Allah dalam kehidupan ini yaitu Rasulullah SAW maka seluruh praktik dan praksis pendidikan Islam harus mampu menjadikan Rasulullah sebagai satu-satunya sosok yang harus diteladani, dengan cara menjadikan Sirah Nabawiyah menjadi kurikulum inti di samping Alquran.

Metode kedua adalah pembiasaan: bisa karena biasa. Potensi, fitrah, talenta dan juga desain primordial yang dimiliki manusia akan berkembang secara optimal jika dikondisikan untuk terus berkembang dengan cara dibiasakan. Anak-anak diberi kesempatan untuk biasa melakukan sendiri, mengalami sendiri, khususnya ibadah. (10)

— Ali Bowo Tjahjono, Wakil Rektor IV Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, dosen Fakultas Agama Islam 


Wacana Suara Merdeka 6 Mei 2010