14 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Nasib Peniup Peluit

Nasib Peniup Peluit

Oleh MELANI
Penetapan Susno Duadji sebagai tersangka, tak pelak lagi menjadi buah bibir di mana-mana. Betapa tidak, jenderal Polri berbintang tiga yang notabene mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri tersebut ditangkap dan ditahan setelah beliau menjadi peniup peluit (whistle blower) kasus mafia hukum yang selama ini sulit terungkap, karena diduga melibatkan sejumlah aparat penegak hukum, termasuk jenderal-jenderal di tubuh Polri sendiri.
Kasus peniup peluit dijadikan tersangka memang bukan hal baru di republik ini, kasus serupa pernah menimpa auditor BPK Khairiansyah Salman yang telah membongkar kasus korupsi di tubuh KPU pada akhir 2005, tetapi kemudian dijadikan tersangka dalam perkara korupsi Dana Abadi Umat (DAU). Berkat keberaniannya membongkar kasus korupsi di KPU, Khairiansyah dianugerahi Integrity Award 2005 dari Transparency International.
Kasus Susno memang sangat mirip dengan kasus Khairiansyah. Susno mendapat penghargaan dari PWI Jaya sebagai Top Newsmaker. Namun tentunya, kasus Susno lebih heboh dan seru ketimbang kasus Khairiansyah. Maklumlah, Susno adalah petinggi Polri yang berani menguak tabir korupsi besar yang melibatkan berbagai profesi.
Perlindungan hukum
Apabila kita telusuri hukum positif di negeri ini, sesungguhnya dalam perspektif perlindungan hukum, antara kasus Khairiansyah dan Susno tidaklah jauh berbeda. Kasus Khairiansyah Salman terjadi sebelum UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban lahir sehingga kini timbul pertanyaan, apakah dengan lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban, para peniup peluit mendapatkan perlindungan hukum yang memadai? Ternyata jawabannya cukup mengecewakan, karena menurut Pasal 10 ayat (2) UU No.13/2006, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Semua orang memang sama kedudukannya di muka hukum. Namun, perlu diingat bahwa tujuan hukum bukanlah sekadar ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum, tetapi juga kegunaan, dengan tujuan akhir kesejahteraan sosial. Tujuan keempat apalagi tujuan akhir sering kali dilupakan. Sebagai contoh, apa gunanya Susno ditahan, padahal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri tidak mewajibkan terhadap semua orang yang disangka melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara lima tahun atau lebih untuk ditahan, karena toh Susno tidak akan melarikan diri, mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti, atau mempersulit jalannya pemeriksaan.
Susno sebetulnya layak dijadikan saksi mahkota, hanya sayangnya KUHAP belum mengatur secara tegas mengenai saksi mahkota. Saksi mahkota berasal dari Bahasa Belanda kroon getuige (kroon=mahkota, getuige=saksi). Kedudukan saksi mahkota di Negeri Belanda sangatlah penting dan mendapatkan perlindungan hukum, karena kesaksiannya dapat mengungkapkan suatu perkara, meskipun saksi tersebut terlibat dalam perkara yang ia ungkapkan. Namun karena tidak ada saksi lain yang dapat membongkar perkara tersebut, maka ia mendapat kehormatan dari Ratu Belanda, yaitu dari statusnya sebagai tersangka diubah menjadi saksi, sehingga seolah-olah tersangka tersebut dianugerahi mahkota oleh Sang Ratu. Demikian asal-usul saksi mahkota di Negeri Belanda.
Hukum di Indonesia kebanyakan berasal dari warisan kolonial Belanda. Sayangnya, yang disebut saksi mahkota di negeri ini tetap dijadikan tersangka, terdakwa, bahkan terpidana. Perkembangan terakhir memang ada yurisprudensi Mahkamah Agung dalam perkara pembunuhan tokoh buruh Marsinah, yang menyatakan bahwa saksi mahkota yang dijadikan terdakwa dengan cara pemisahan perkara (splitsing) melanggar hukum dan HAM. Namun sayangnya lagi, dalam praktik yurisprudensi tersebut tidak selalu diikuti oleh hakim-hakim dalam mengadili dan memutus suatu perkara.
Batu uji
Sebagai negara yang termasuk terkorup di dunia, Indonesia sangatlah memerlukan banyak peniup peluit. Susno yang dijadikan tersangka dengan tuduhan menerima suap Rp 500 juta terkait dengan kasus PT Salmah Arwana Lestari yang beliau bongkar sendiri, merupakan batu uji bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tentang keseriusannya memberantas korupsi sebagaimana digembar-gemborkan selama ini.
Meski kedudukan saksi mahkota belum diatur secara tegas dalam KUHAP, bila niat memberantas korupsi betul-betul serius, maka dapat ditempuh berbagai cara agar Susno tetap meniup peluitnya hingga seluruh kasus korupsi yang ia ketahui terungkap. Seandainya kasus yang dituduhkan kepada Susno hanyalah rekayasa, maka terhadap kasus tersebut harus segera dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Namun bila penyidik bersikukuh bahwa kasus Susno memiliki cukup bukti, maka di tingkat penuntutan Jaksa Agung melalui kewenangan diskresi (kebijaksanaan) yang dimilikinya dapat mendeponir (mengesampingkan perkara) demi kepentingan umum. Dengan dideponirnya perkara tersebut, maka kasus itu tidak dapat dibuka lagi, karena pendeponiran perkara tidak dapat dipraperadilankan (vide penjelasan Pasal 77 KUHAP).
Bagaimanakah kelanjutan kasus Susno dengan peluitnya? Kita semua tentu berharap segera muncul kebijaksanaan tepat guna dari aparat hukum terkait, bahkan kalau perlu dari presiden agar pemberantasan korupsi tidak kehilangan momentum dan para pemilik peluit lainnya tidak mengurungkan niat baik mereka untuk meniup peluit. Semoga.***
Penulis, advokat dan dosen hukum acara pidana FH Unpas Bandung.
opini pikiran rakyat 15 mei 2010