14 Mei 2010

» Home » Solo Pos » Muhammadiyah abad kedua Pertaruhan gerakan dakwah

Muhammadiyah abad kedua Pertaruhan gerakan dakwah

Di usianya yang satu abad, Muhammadiyah rupanya mulai mengristalkan diri sebagai kekuatan ideologi keagamaan “dominatif”.

Ideologi lebih dimaknai sebagai battle cry atau arena propaganda. Organisasi yang dibidani oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan ini mulai dipolitisasi oleh para “penumpang gelap” sebagai kekuatan propaganda yang berusaha membentuk opini tentang isu-isu yang boleh dan tidak boleh diperdebatkan. Atas nama misi kembali kepada Alquran dan Sunnah, serta slogan anti-TBC (takhayul, bid’ah dan churafat), mereka memobilisasi massa, membentuk opini publik, memolitisasi kekuasaan untuk “berjuang demi” atau “menentang terhadap”.

Para pendukung ideologi Islam murni ini tidak memandang ideologi sebagai masalah “partisipasi”, namun dominasi bahkan manipulasi. Sebagaimana dipahami Gramsci dan Bakhtin, ideologi adalah sistem kepercayaan yang komprehensif yang diikuti oleh berbagai kelompok pendukungnya dengan berbagai macam alasan. Meminjam analisis tersebut, seyogianya Muhammadiyah menempatkan diri sebagai tenda besar bagi keragaman kelompok pendukung dan simpatisannya. Semua individu dan kelompok memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam rangka memberikan kontribusi untuk mendefinisikan “apa”, “siapa” dan “bagaimana” menjadi Muhammadiyah. Bukan memropagandakan paham arus utama puritanisme “berlebih” dan meminggirkan mereka yang berbeda.

Puritanisme yang selama ini dipandang sebagai ciri khas Muhammadiyah (idiokrasi dan idiolatri—meminjam Kuntowijoyo), telah mengalami benturan dan kebuntuan di sana sini. Menyadari hal ini, Muhammadiyah sejak Tanwir 2002 mencanangkan gerakan dakwah kultural. Yakni visi baru agar dakwah dalam arti seluas-luasnya semakin diapresiasi oleh semua kelompok dan aliran.

Gerakan ini berlandaskan perubahan orientasi dakwah agar menyentuh aspek-aspek multikultural dan multireligi, melalui pendekatan kultural yang variatif dengan memandang perubahan ruang dan waktu dan level sosial yang menjadi objeknya. Dakwah kultural bukan sekadar intermeso untuk mengalihkan pandangan dari gerakan struktural yang terserap oleh negara, ke gerakan kultural dengan semangat menghargai pluralisme dan kehidupan multikultural.

Menuju “ahlul bid’ah”?

Memerhatikan tantangan kontemporer, dakwah kultural sesungguhnya memunyai kesinambungan historis dengan perjalanan dakwah yang hampir satu abad itu. Perubahannya terletak pada cara dakwah kultural memaknai kembali wacana dan gerakan TBC. Sesuai dengan namanya, dakwah kultural hendak menyentuh persoalan-persoalan kebudayaan yang menjadi kebutuhan dan tantangan masa kini.

Serupa dengan dakwah purifikasi, dakwah kultural berpijak pada slogan tentang TBC, namun dengan pemaknaan yang berbeda. Penyandaran “kultural” menekankan distingsi yang berpijak pada makna dan cakupan kebudayaan itu sendiri yang meliputi sistem ide, aktivitas dan fungsi, serta bentuk atau materi. Dari sini dapat dipahami, dakwah kultural ingin melakukan perubahan, perbaikan dan transformasi dalam cara berpikir, cara bertindak, sekaligus bentuk-bentuk kebudayaan.

Inti dari “kultural” adalah inovasi dan kreasi. Inilah yang dimaksud bid’ah, yaitu menciptakan dan menemukan hal-hal baru dalam dakwah kultural. Takhayul yang selama ini dipahami sebagai kepercayaan kepada sesuatu yang tidak ada kenyataannya, dipahami oleh dakwah kultural sebagai daya imajinasi. Suatu kekuatan dan kemampuan khas manusia yang merupakan anugerah alam dan anugerah Tuhan (a gift of nature and a gift of God). Menurut dakwah kultural, berimajinasi bukan cermin kemalasan dan tidak produktif karena suka “berkhayal”. Ini kekeliruan besar.

Imajinasi adalah anugerah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Imajinasi itu sendiri bertingkat-tingkat meliputi imajinasi onerik, imajinasi estetik, imajinasi kreatif, imajinasi abstraktif dan imajinasi intuitif. Pada sisi ini, dakwah kultural tampaknya merupakan penegasan pentingnya pendekatan `irfani (intuitif) sebagaimana Manhaj Tarjih yang diputuskan Muktamar ke-44 Muhamamdiyah di Jakarta (2000). Dakwah kultural memperoleh dukungan metodologis dari pendekatan `irfani, karena hanya dengan pendekatan inilah realitas imajinatif dapat dipahami. Sayangnya, pendekatan ini terus dipertentangkan, dan karenanya hingga kini perdebatan manhaj dalam keadaan “koma”.

Khurafat selama ini dipahami sebagai penyimpangan akidah. Bentuk nyatanya berupa keyakinan kepada mitos-mitos. Ada sebagian penulis menyandarkan khurafat pada nama orang yang memiliki keahlian bercerita, membuat legenda dan dongeng. Seperti dongeng tentang kemampuan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang dapat menangkap malaikat Izrail dan meminta agar ruh manusia yang dibawanya dikembalikan ke jasad mayat atas permintaan seseorang.

Mitos

Dakwah kultural memaknai khurafat sebagai kemampuan menciptakan “mitos”. Mitos di sini dimaknai sebagai upaya membangun cita-cita sosial baru, tentang masyarakat utama (khayr ummah), desa sejahtera (qaryah thayyibah) dan keluarga sakinah (usrah sakinah). Semua ini lahir dari rahim pikiran Muhammadiyah namun belum pernah memperoleh tempat yang layak untuk dipikirkan kembali, lebih-lebih dalam aplikasinya. Menciptakan dan membangun cita-cita sosial dalam wilayah-wilayah kultural dan keberagamaan semacam ini memerlukan keseriusan strategi kebudayaan dan langkah-langkah konkret untuk mencapainya.

Jadi, dakwah kultural itu sangat pro-TBC. Yakni, dakwah yang memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan imajinatif (takhayul) individu dan masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam arti makin beradab), dan cerdas. Dakwah kultural mendorong, memotivasi, dan mengondisikan individu dan masyarakat untuk terus mencipta (kreatif) dan menemukan (inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori), aktivitas (praksis, gerakan), dan bentuk-bentuk material kebudayaan (amal-amal usaha). Dan dakwah yang mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (cita-cita sosial—meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memroduksi mitos baru (khurafat) untuk mambangun citra keberagamaan, keberislaman, dan kebermuhammadiyahan dalam rangka menuju masyarakat utama (al-mujtama` al-madani).

Melalui dakwah kultural kita berharap inovasi dan kreasi wacana dan amal usaha semakin kaya dan variatif. Karena hegemoni kapitalis-neoliberalis dan dominasi globalisasi yang melahirkan banyak bentuk pemiskinan dan penindasan struktural massif, menuntut transformasi intelektual dan falsafah amal usaha. Redefinisi atas peran-peran pelayanan sosial merupakan kebutuhan mendesak.

Rezim kapitalisasi amal-amal usaha Muhammadiyah sudah berkarat. Sudah saatnya Muhammadiyah mereposisi amal usaha yang karatan itu dengan cara mengoleskan kembali oli “keberpihakan” dan “pembelaan” spirit Al-Ma`un terhadap kaum mustad`afin yang makin kompleks realitas dan struktur sosialnya. Melalui jalan ini, dakwah kultural yang imajinatif, prokreasi dan inovasi, serta bercita-cita ke depan, menemukan kembali jati diri sebagai gerakan tajdid yang mampu men-tajdid gerakannya menuju transformasi Al-Ma’un yang epistemik (sesuai semangat zamannya). - Oleh : Zakiyuddin Baidhawy


OPini Solo Pos 14 Mei 2010