13 April 2010

» Home » Kompas » Salah Kaprah Advokat

Salah Kaprah Advokat

Geram sekali kita mendengar para advokat ikut menjadi aktor mafia hukum. Mungkin sudah terlalu lama praktik ini berjalan. Sudah saatnya para pengacara (lawyer) kembali pada martabat dan kehormatan profesinya.
Kalau kita ingat, mereka yang dulu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, selain para dokter, adalah para meester in de rechten (gelar sarjana hukum pada masa itu ). Sebut saja Mr Sujudi, Mr Iskak, dan Mr Sastromulyono yang membela habis-habisan pemimpin pergerakan Bung Karno di Pengadilan Landraad, Bandung, 1933. Juga tak kalah hebatnya founding fathers kita Mr Amir Sjarifuddin, Mr Moh Jamin, Mr Maramis, Mr Moch Roem, dan Mr Amir Sjarifuddin.

 

Generasi berikutnya Loekman Wiriadinata, Yap Thiam Hiem, Suardi Tasrif, Nani Razak, Abidin Singomangkuto, Hasjim Machdan, Sukardjo, Prof Ting Swan Tiong, serta Prof Subekti, semua jadi lini depan dalam membela si kecil, miskin, tertindas, dan teraniaya. Orientasi advokat masa kini lebih banyak sekadar mencari nafkah. Tiadanya idealisme dalam bekerja membuat target pencapaian profesi sebatas mengejar harta, jabatan, dan kedudukan politik. Self respect atau rasa malu hilang. Mereka jadi penumpuk harta, bahkan bangga memperlihatkan kekayaan. Prestasi sebagai pengacara menyempit, sebatas pantulan rumah megah dan mobil mewah.
Para lawyer yang tak bertanggung jawab, berkawan dan punya lahan di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Mereka ”memperdagangkan” dan menukangi perkara di berbagai tingkat proses peradilan, ibarat pekerja borongan rumah. Ada berbagai modus operandi. Di tingkat penyidikan, mereka mengatur bagaimana polisi atau jaksa menjatuhkan pasal pidana yang seringan-ringannya. Kalau perlu kasus pidana dipelintir menjadi perdata, dan sebaliknya perkara perdata direkayasa sebagai pidana untuk menakuti klien.
Di tingkat penyidikan, pengacara juga bisa membisiki polisi untuk menahan kliennya barang satu-dua hari dulu. Klien gemetar dan bersedia meraih kocek berapa saja asal pengacaranya dapat menjamin penangguhan penahanan. Di tingkat penuntutan, memoles serendah-rendahnya tuntutan dan akhirnya bebas di tangan hakim. Inisiatif menawarkan vonis bebas, kabarnya, bisa datang dari hakim, baik langsung maupun utusan. Semua tentu ada harganya. Ujungnya, pengacara membagi-bagi ”upah” kerjaan borongan tadi untuk ”para tukang” rekayasa keadilan.
Ada uang ada kebebasan
Mengetahui praktik semacam ini, masyarakat pencari keadilan akhirnya lebih memilih pengacara makelar kasus (markus) daripada advokat profesional. Kebebasan lebih terjamin, dan ada ”kepastian hukum”. Pendeknya, ada uang ada kebebasan. Sejumlah polisi dan jaksa, bahkan juga hakim, ada yang mengancam hukuman lebih berat atau tidak jadi menang bila klien memakai pengacara yang lurus karena artinya no fulus. Lebih baik memenangkan lawan yang lebih berduit.
Kalau praktik semacam ini terbongkar, pembela bersikukuh. Seperti seorang pengacara yang ngotot ketika KPK menetapkannya sebagai tersangka. Dalihnya, advokat tak bisa dituntut dalam menjalankan profesi. Enak betul. Tak ada warga negara yang kebal hukum. Benar bahwa dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat tak dapat dituntut, baik perdata maupun pidana, dalam menjalankan tugas profesi dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan (Pasal 16 Ayat 1)
Akan tetapi, tak berarti kebal hukum. Kalau ada advokat yang ”main”, baik sendiri maupun bersama klien dalam perbuatan melanggar hukum, berarti advokat itu sudah tak punya lagi itikad baik. Ia jelas melanggar kode etik profesi dan hukum karena melakukan tindak pidana. Ia dapat ditangkap, dituntut, dan dihukum sesuai due process of law oleh penegak hukum, sebagai warga negara biasa. Contohnya Harini Wijoso, bekas hakim tinggi yang jadi kuasa hukum Probosutedjo dihukum empat tahun penjara karena terlibat pidana penyuapan di tingkat kasasi, Juni 2006.
Kode etik advokat tegas-tegas menempatkan posisi advokat berbeda dengan klien. Namun, kebanyakan advokat berpendirian, tugas utama mereka adalah membebaskan kliennya. Inilah pendapat yang salah kaprah. Mereka tidak memahami sejarah tujuan dan falsafah yang melandasi profesi advokat sejak zaman Romawi kuno. Saat itu para bangsawanlah yang menjadi praetor (pembela) karena merasa terpanggil hatinya untuk membela keadilan, tanpa bayaran sepeser pun.
Masa kini, advokat menerima honorarium. Namun, fungsi dan kewajibannya tetap. Advokat bukan pedagang, tetapi pemberi jasa. Mereka, demi tegaknya keadilan, memastikan klien terjaga hak-hak asasinya dalam membela dirinya. Seperti bunyi kredo fiat justitia roat caelum, kebenaran dan keadilan harus ditegakkan sekalipun langit runtuh. Di sinilah para pengacara menggunakan daya ilmu hukum dan pengalaman sebagai advokat.
Kita masygul mendengar belum-belum seorang kuasa hukum dalam kasus korupsi pajak mendalihkan uang yang menumpuk di rekening kliennya adalah hasil bermain valas, saham, dan bisnis, sementara kliennya kemudian mengaku bahwa uang miliaran rupiah yang dimilikinya adalah fee dari wajib pajak. Ini hanya satu contoh.
Makelar kasus tidak peduli pada cita- cita negara hukum atau tegaknya proses hukum yang bebas bersih dan berwibawa (free and impartial tribunal). Mereka merusak wibawa peradilan di negeri kita. Mereka lupa bahwa tegaknya negara hukum, mutlak mensyaratkan bersih dan berwibawanya penegak hukum. Jaksa, hakim, polisi, dan advokat adalah tiang penyangga tegaknya proses hukum yang berkeadilan. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang kini sedang bekerja di bawah pimpinan Kuntoro Mangkusubroto jangan pandang bulu. Bersihkan sistem hukum dan pengadilan kita dari advokat kotor, tanpa ampun
Kita harus tetap optimistis. Tak semua advokat mengingkari sumpah. Masih banyak advokat yang punya integritas. Umumnya adalah mereka yang sebelum berprofesi sebagai advokat privat bergulat dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Mereka belajar secara empiris bagaimana orang kecil dipermainkan hukum.
Secara internal, UU Advokat menempatkan pengacara di tempat terhormat. Organisasi Advokat ditugasi mengawasi perilaku anggotanya. Bila mereka melakukan pelanggaran kode etik profesi advokat, sanksi dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Profesi, mulai dari teguran lisan sampai pemberhentian tetap. Tanpa menghilangkan tanggung jawab pidana, bila ada unsur pidana.
Sayangnya, meski diamanatkan Pasal 32 Ayat 4 UU Advokat, selambat-lambatnya dibentuk satu wadah tunggal Organisasi Advokat pada 2005 untuk kepentingan peningkatan profesionalisme advokat, para pembela tidak sanggup dan tampaknya tidak punya kemauan bersatu. Masing-masing anggota organisasi yang ada, KAI, Peradi, Peradin, dan lain-lain, memilih jalan sendiri dan mempertahankan ego masing-masing. Sulitnya mengurus advokat! Seribu kepala, seribu pendapat.
Adnan Buyung Nasution Pengacara Senior

Opini Kompas 14 April 2010