13 April 2010

» Home » Kompas » Problematik Partai " Tengah

Problematik Partai " Tengah

Dalam era pragmatisme politik di Indonesia seperti saat ini, memosisikan diri sebagai partai dengan ideologi yang jelas dapat menjadi bumerang.
Kebanyakan partai cenderung berlomba-lomba menjadi partai ”tengah”, catch-all party, suatu posisi yang sangat nyaman sebab mempermudah partai menjangkau pemilih dari berbagai kelompok masyarakat dan juga segmen pemilih yang pragmatis.
Menjadi partai tengah memberikan keluwesan bagi partai meloncat dari satu posisi kebijakan ke posisi lain. Kemunculan partai tengah yang dominan dalam arena pemilu juga dianggap mampu meminimalkan konflik sebab mengurangi ekstremisme dan polarisasi di masyarakat.
Namun, ada beberapa hal yang perlu jadi perhatian. Menjamurnya partai tengah menyimpan banyak potensi yang dapat melemahkan sistem kepartaian dan demokrasi secara keseluruhan. Dominasi partai tengah secara tak langsung melemahkan eksistensi oposisi dan mendorong apatisme politik publik.

 

Partai tengah
Menjamurnya partai tengah telah dan masih sedang terjadi di sejumlah negara yang demokrasinya sudah berumur, mapan, dan dewasa. Kirchheimer (1966) adalah salah satu ilmuwan politik yang pertama menangkap gejala menjamurnya partai tengah di Eropa Barat dan Amerika.
Kirchheimer melihat dorongan menjadi partai tengah disebabkan oleh perubahan struktur masyarakat yang terjadi pasca-Perang Dunia II. Saat itu muncul segmen mayoritas di kelas menengah; arus sekularisasi pun menguat. Partai politik yang sebelumnya berdiri mewakili kelas tertentu atau agama tertentu pada akhirnya harus memosisikan diri sebagai partai yang bisa mengakomodasi aspirasi pemilih dari lintas kelas ataupun lintas agama untuk sukses meraup suara dalam pemilu. Dalam konteks ini, partai memiliki insentif yang kuat untuk melunakkan atau mengaburkan posisinya agar dapat menjangkau pemilih yang tak lagi memiliki ikatan politik yang kuat dengan kelompok kelas atau kelompok agama tertentu.
Partai tengah memiliki lima ciri utama (Kirchheimer): minimnya kejelasan dan beban ideologi, menguatnya elite partai vis-a-vis anggota partai, menurunnya jumlah dan peran keanggotaan partai, kian bervariasinya pemilih suatu partai dari aspek kelas ataupun agama, dan semakin banyaknya kepentingan eksklusif yang berusaha diwakilkan oleh partai demi kepentingan finansial ataupun elektoral yang berujung pada kontradiksi kebijakan dan kontradiksi program.
Implikasi dari semakin banyak dan dominannya partai tengah ini tak lain adalah mengecilnya jarak ideologis dan diferensiasi kebijakan dan program yang ditawarkan partai. Dengan semakin tak berbedanya partai yang ada, jumlah pemilih yang mengambang semakin banyak, identifikasi dan loyalitas terhadap satu partai menjadi berkurang sebab siapa pun yang terpilih dan muncul menjadi pemenang pemilu tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap pemilih. Lebih jauh lagi, secara logis hal ini dapat mendorong tingkat partisipasi pemilih yang lebih rendah dalam pemilu.
Dalam konteks ini pula, oposisi menjadi pudar. Landasan menjadi oposisi menghilang mengingat tak ada perbedaan mendasar dalam ideologi, kebijakan, dan program partai. Yang muncul justru oposisi berbasis kepentingan politik semata. Sementara itu, pemilih kesulitan melakukan diferensiasi antarpartai dari aspek rasional, seperti ideologi, kebijakan, dan program. Akhirnya mereka cenderung melihat faktor ketokohan dan primordial di dalam menentukan pilihan partainya.
Partai di Indonesia
Gejala partai tengah pada tingkatan tertentu juga sedang terjadi di Indonesia. Pemilu pertama pasca-Orde Baru ditandai persaingan dua macam partai: partai nasionalis dan partai agamis, yang kebanyakan adalah partai Islam. Dalam dua pemilu selanjutnya pada tahun 2004 dan 2009, partai-partai berebut mengisi spektrum tengah.
Strategi memosisikan diri sebagai partai tengah menjadi laku karena elite politik melihat masyarakat Indonesia kebanyakan tak lagi ada pada posisi ekstrem ideologis mana pun. Terlepas dari tepat atau tidak, persepsi ini mendorong partai bergeser ke tengah dalam spektrum ideologis.
PKS yang semula lantang mendengungkan penegakan syariat Islam mengubah wacananya menjadi partai antikorupsi pada Pemilu 2004. Partai Demokrat yang muncul dalam pemilu 2004 memosisikan diri sebagai partai nasionalis-religius. Begitu pula PDI-P dan Golkar yang tak mau lagi memosisikan diri sebagai partai yang murni nasionalis-sekuler dan memosisikan diri sebagai partai nasionalis-religius. Strategi ini berlanjut di Pemilu 2009. Dapat dikatakan, delapan dari sembilan partai (kecuali) yang memiliki kursi di DPR adalah partai tengah. Bahkan, ke depan strategi ini masih tetap akan dipertahankan oleh partai-partai karena lebih menjanjikan bisa meraup suara yang banyak dalam pemilu.
Munculnya partai tengah ini pada akhirnya menyebabkan semakin dekatnya jarak ideologis partai dan semakin minimnya diferensiasi kebijakan dan program antarpartai. Meski tak bisa dielakkan bahwa partai-partai masih memiliki perbedaan, pandangan bahwa semua partai di Indonesia kurang lebih sama adalah pandangan yang wajar dan dapat diterima secara umum. Maka, tak aneh jika politik pencitraan individu atau tokoh menjadi faktor penting kalau bukan terpenting di dalam meraih kemenangan elektoral.
Gejala oposisi di Indonesia juga menunjukkan pola yang hampir mirip. Artinya, meski oposisi di Indonesia masih eksis, kita dapat melihat secara jelas bahwa karena tiadanya diferensiasi ideologis, kebijakan, dan program yang signifikan antarpartai, keputusan oposisi dan koalisi diambil berdasarkan kepentingan politik semata.
Tak ada alasan yang jelas selain kepentingan yang mengukuhkan posisi partai terhadap pemerintah. Terakhir, apatisme politik di Indonesia juga kian meningkat, seperti tergambarkan dari makin menurunnya tingkat partisipasi dari pemilu ke pemilu dan dalam berbagai pilkada.
Bergesernya partai-partai untuk mengisi spektrum sentris sering dianggap sebagai suatu hal yang positif karena dapat meminimalkan polarisasi yang berpotensi konflik di masyarakat. Namun, polarisasi dan konflik di masyarakat yang dapat disebabkan oleh diferensiasi ideologi partai yang terlalu besar seharusnya tak perlu terlalu dikhawatirkan, terutama jika kita sudah beranggapan bahwa masyarakat kita cukup dewasa dan mapan dalam berdemokrasi.
Justru untuk membangun demokrasi yang sehat di mana rakyat punya pilihan yang bukan sekadar tawaran figur, citra, atau loyalitas tradisional semu, diferensiasi ideologis, kebijakan, dan program antarpartai harus didorong. Partai harus berani memosisikan diri secara jelas dan tak malu-malu dalam spektrum ideologis, kebijakan, dan program serta tak melulu mengambil posisi tengah yang relatif aman.
Sunny Tanuwidjaja Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS


Opini Kompas 14 April 2010