Sejumlah pihak akhir-akhir ini menyampaikan pandangannya melalui media tentang urgensi impor kedelai oleh Bulog dalam rangka melindungi petani dan membantu pencapaian swasembada kedelai 2014. Menurut mereka, ada dua manfaat penting yang didapat jika hal ini dilakukan: Pertama, memproteksi petani kedelai dengan memberikan harga jual yang pantas. Selama ini, disinyalir kedelai dalam negeri selalu terjual dengan harga murah.
Penyebabnya, kedelai-kedelai impor selalu membanjiri pasaran saat panen tiba dan para pengimpor swasta tidak peduli dengan hal itu. Bila Bulog yang mengimpor, harga kedelai petani akan terproteksi karena kedelai impor tak bisa bebas begitu saja dilempar ke pasar.
Stok kedelai di gudang Bulog akan menjadi bumper bila ada permainan harga kedelai saat musim panen. Kedua, insentif bagi petani yang menanam kedelai. Karena, Bulog akan menjamin adanya pasar kedelai bagi para petani lokal dan membayar harga jual yang wajar terhadap produksi mereka.
Sehubungan dengan itu, pertanyaan yang menarik untuk diajukan adalah apa benar dengan menjadikan Bulog sebagai importir kedelai, kedua manfaat yang dikemukakan tersebut di atas bisa terwujud?
Impor yang dilakukan oleh Bulog bisa membantu harga di tingkat petani hanya jika Bulog melakukan itu, karena menjalankan tugas public service obligation (PSO) yang dibebankan negara kepadanya.
Saat ini fungsi PSO Bulog hanya ditujukan untuk petani padi, yakni dengan cara membeli pada harga pembelian pemerintah (HPP) ketika panen raya dan menyerap gabah/beras yang dibeli tersebut sebagai stok cadangan Bulog.
Dalam konteks mengefektifkan pelaksanaan PSO tersebut, Bulog juga diperkenankan impor untuk mencukupi cadangan berasnya jika sumber domestik tidak memadai untuk memenuhi stok cadangan tersebut. Dan, impor ini dilakukan semata-mata dalam rangka untuk memudahkan Bulog menjalankan fungsi PSO-nya tersebut.
Tugas menjalankan fungsi PSO ini adalah tugas negara yang dibebankan kepada Bulog. Sehingga, anggaran yang dikeluarkan untuk membeli beras petani pada harga HPP ketika panen raya dibebankan pada APBN. Besarnya anggaran serta pengawasan penggunaannya disetujui dan dipantau oleh DPR RI.
Sekali lagi, dalam kasus komoditas padi kita sepakat bahwa impor yang dilakukan Bulog bisa dikatakan dalam rangka menolong harga di tingkat petani. Tetapi, kita tidak bisa mengatakan bahwa impor kedelai oleh Bulog akan indentik dengan perlindungan terhadap petani kedelai. Karena saat ini, peran PSO ini tidak dilakukan untuk kedelai. PSO hanya untuk komoditas padi (gabah/beras).
Artinya, ketika Bulog mengimpor kedelai, sesungguhnya bukan dalam rangka menjalankan fungsi PSO karena negara belum menugaskan untuk itu. Dengan kata lain impor tersebut sepenuhnya untuk tujuan menjaga profitabilitas Bulog sebagai perusahaan.
Oleh karena itu, kita layak untuk mengkritisi pandangan yang mengatakan menyerahkan impor kedelai kepada Bulog (apalagi sampai monopoli impor seperti era Orde Baru) berimplikasi pada proteksi pada petani dan membantu pencapaian swasembada kedelai 2014. Argumentasi ini tidak mempunyai basis argumentasi yang kuat, mengapa?
Pertama, untuk menolong petani kedelai dan memotivasi mereka berpoduksi, harga kedelai di tingkat petani seharusnya adalah 1,5 kali harga beras atau sekitar Rp 7.500 per kilogram. Padahal, harga kedelai saat ini di tingkat petani berkisar Rp 5.000-an. Dalam kondisi itu kalau kita ingin meningkatkan harga petani sehingga menjadi insentif untuk berproduksi, yang diperlukan bukanlah kebijakan impor oleh Bulog, tetapi kepastian harga jual saat panen, yakni berupa kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang di-back-up APBN.
Tanpa kebijakan HPP yang di-back-up oleh APBN, bagaimana mungkin kita bisa percaya Bulog bisa menjadi sangat dermawan mau menyubsidi harga jual di tingkat petani sebesar Rp 2.500 per kilogram, dari mana uangnya? Sebagai contoh, untuk menjalankan fungsi PSO beras, Bulog didanai negara triliunan rupiah melalui APBN dan bukan dari kantong Bulog sendiri.
Kedua, teori ekonomi mengatakan impor dilakukan dalam rangka menolong konsumen, bukan produsen. Yang better off dari adanya impor adalah konsumen (para pengrajin dan pengusaha tahu tempe) karena mereka bisa mendapatkan komoditas yang lebih murah atau lebih berkualitas. Sedangkan, yang worse-off adalah produsen (petani kedelai).
Impor kedelai bermanfaat untuk para konsumen karena bisa mendapatkan harga yang lebih murah dan pasokan yang terjamin ketika berbisnis dengan Bulog dibandingkan dengan importir swasta.
Tetapi bagi petani kedelai, impor Bulog (apalagi kalau monopoli) sama sekali tidak akan menguntungkan mereka. Alasannya karena; Pertama, jika kedelai impor itu dilempar ke pasar, otomatis berimplikasi pada penurunan harga. Ini sudah pasti merugikan petani karena tekanan harga jual kedelai di tingkat petani.
Kedua, jika impor tidak dilempar ke pasar ketika petani sedang panen raya, dampaknya harga kedelai di tingkat konsumen memang akan naik. Tetapi, permasalahannya sebagaimana umum terjadi pada produk-produk pangan di negara berkembang, termasuk Indonesia, harga kedelai ketika turun di tingkat konsumen akan menyebabkan harga yang turun pula di tingkat petani. Tetapi, sebaliknya ketika harga kedelai naik di tingkat konsumen, sangat sulit untuk ditransmisikan ke tingkat petani. Atau dengan kata lain, kenaikan harga di tingkat konsumen tidak berdampak pada kenaikan harga di tingkat petani.
Inilah mengapa kemudian memproteksi petani kecil yang posisi tawarnya lemah tidak bisa melalui mekanisme pasar, tetapi harus melalui intervensi negara. DPR dan pemerintah harus memberikan payung hukum yang jelas bagi Bulog untuk menjalankan peran PSO-nya pada kedelai yang di-back-up oleh APBN. Baru setelah amanah PSO itu diterima Bulog, kita bisa lebih optimis bahwa impor kedelai bisa berimplikasi pada proteksi petani kedelai.
Opini Republika 14 April 2010