08 Maret 2010

» Home » Kompas » Tirani Formalisme

Tirani Formalisme

Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi hasil Rapat Paripurna DPR tentang Hak Angket Bank Century telah salah waktu dan salah tempat (Effendi Gazali, ”Pidato Opsi A”, Kompas, 6/3).
Pidato Presiden juga diperkirakan akan menjadi awal dari pertarungan berikutnya karena Presiden membenarkan kebijakan bail out serta membela habis-habisan Boediono dan Sri Mulyani Indrawati (J Kristiadi, ”SBY Menjawab”, Kompas, 6/3).
Lebih dari itu, menyeruak fenomena lain yang sesungguhnya lebih mengkhawatirkan, yaitu modus komunikasi yang dipilih Presiden ataupun Wapres Boediono selama ini. Mereka telah terjebak dalam formalisme. Jika ini terus dipelihara, tidak mustahil terjadi tirani formalisme yang bakal berbuah petaka politik. Apa gejala dan bahayanya?


Berbicara secara formal atau informal, bergantung pada situasi. Joos (1962) mencontohkan, acara seremonial menuntut orang berbicara sangat formal, kuliah umum agak formal, pembicaraan sehari-hari informal, percakapan antarsobat tentang perkara sederhana (ngerumpi) pasti sepenuhnya informal. Komunikasi formal identik dengan pembicaraan seremonial, serius, kaku, berjarak, datar, bahkan menegangkan.
Joos sebenarnya tidak menggunakan istilah ”formalisme”. Ia hanya mengisyaratkan kemungkinan lain jika keformalan diterapkan berlebihan, yaitu lahirnya suasana beku (frozen). Istilah formalisme ditawarkan untuk merujuk kesenangan berbicara dalam suasana serba formal: seremonial, serius, kaku, berjarak, datar, dan menegangkan. Suasana itu bahkan secara sadar dan sengaja diciptakan karena memberikan kenyamanan. Atas nama kesantunan, pengidap formalisme justru merasa terancam jika berada dalam suasana informal, egaliter, spontan, apa adanya.
Masalahnya, formalisme mencerminkan secara jujur bagaimana seseorang menempatkan diri dan membangun pola relasi dengan pihak lain. Apalagi bahasa dan cara berbahasa dapat digunakan untuk membuat sekat-sekat relasi. Pengidap formalisme terkesan dihinggapi kecurigaan berlebihan sehingga menciptakan jarak dan sekat melalui modus komunikasi.
Beberapa gejala
Dua presiden pertama Indonesia, Soekarno dan Soeharto, memiliki gaya komunikasi yang kontras. Hooker (Culture and Society in New Order Indonesia, 1993) membandingkan sekilas pidato mereka. Pidato Soekarno negosiabel, dialogis, personal, menggugah perasaan, memadukan ragam formal dan informal, empatik, eklektik (meramu gaya bicara terbaik tokoh-tokoh besar, termasuk mengutip ucapan-ucapan terkenal mereka), tetapi kurang tertata. Adapun pidato Soeharto tidak negosiabel, monologis, impersonal, datar, formal, ragam tinggi, terencana, tertata, dan repetitif.
Gejala-gejala formalisme sudah tampak nyata. Pertama, bahasa dan penampilan pidato Presiden Yudhoyono mirip Soeharto. Teknologi teleprompter memang menciptakan kesan interaktif, beda dengan Pak Harto yang memegang kertas. Namun, air muka Pak Harto—the Smiling General—secara alamiah mampu mencairkan suasana. Jadi, betapa pentingnya bahasa wajah.
Kedua, seremonisasi acara-acara yang mestinya tidak sangat formal. Sejauh yang dikabarkan media, Yudhoyono agaknya menikmati seremoni dan protokoler ketat. Pembicaraan dengan berbagai pihak—bahkan rapat kabinet dan pertemuan dengan ”lawan politik”—sesungguhnya bisa dikemas lebih informal, misalnya berformat ”sambung rasa”. Terlepas dari kemungkinan rekayasa, ”sambung rasa” terbukti efektif untuk komunikasi politik pada era Soeharto. Humor-humor segar spontan-situasional ala Gus Dur berpeluang muncul menyemarakkan suasana. Format dialogis meniadakan kesan briefing yang lazim dalam organisasi militer.
Ketiga, hadirnya sejumlah ”juru bicara”, baik yang berstatus resmi maupun tidak resmi, termasuk dari partai pendukung Presiden. Sayangnya, tak semua ”juru bicara” memiliki keterampilan komunikasi memadai. Padahal, mereka dituntut cakap dan akurat menyampaikan informasi, sekaligus piawai membubungkan citra baik Presiden melalui public relation. Mereka bukan anggota Paspampres yang harus pasang muka seram dan serba defensif, tetapi penyambung lidah dan pemikiran Presiden secara cerdas, santun, serta berselera seni.
Sekarang ada pula juru bicara wapres. Ini berbeda dengan era SBY-JK. Mantan Wapres Jusuf Kalla memiliki agenda rutin berbicara di depan pers, lazimnya setelah Jumatan. Dalam suasana ”sersan” (serius-santai), JK dapat menyampaikan berbagai isu penting—bahkan sensitif—ke masyarakat lewat media. Ini memang membuka risiko ”keceplosan” dan ”lepas kendali” (karena belum berkoordinasi dengan Presiden). Namun, terbukti manfaatnya jauh lebih besar, baik demi komunikasi politik nasional maupun pencitraan lembaga kepresidenan.
Bahaya tirani formalisme
Keformalan dan ketidakformalan berbahasa menyangkut dua kutub paling ekstrem, yaitu power (kuasa) dan solidarity (belarasa). Keformalan lebih berorientasi pada kuasa, sedangkan ketidakformalan bermotif bela rasa. Bahaya terbesar tirani formalisme adalah terbentuknya kepemimpinan otoriter, angker, monolitik, antidialog, tak demokratis, dan berjarak dari rakyat.
Masyarakat sedang memerlukan pemimpin yang tidak hanya prorakyat, tetapi juga merakyat. Dalam konteks ini, modus komunikasi sama pentingnya dengan supremasi hukum dan keadilan. Maka, tirani formalisme seyogianya dihindari agar tidak menuai petaka di kemudian hari. SBY-Boediono agaknya perlu mendengarkan Humboldt (1971), ”Pada mulanya manusia menciptakan bahasa, tetapi begitu bahasa tercipta, manusia terpenjara oleh ciptaannya sendiri.”
P ARI SUBAGYO Dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Opini Kompas 09 Maret 2010