08 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Ambruknya Komunikasi Gertak Sambal

Ambruknya Komunikasi Gertak Sambal

Fear-arousing communication' (FAC) bisa diterjemahkan komunikasi gertak sambal. Komunikator mengancam, atau menggertak, komunikan untuk melakukan suatu tindakan yang dikehendakinya. Jika tidak dituruti, komunikator mengancam akan mengenakan hukuman terhadap komunikan. Jika komunikan merasa takut, apalagi amat takut, sebab ancaman tersebut, ia diharapkan akan memenuhi tuntutan komunikator. Komunikasi yang membangkitkan rasa takut di pihak komunikan.

Di kalangan ilmuwan komunikasi Amerika, banyak penelitian dilakukan tentang jenis komunikasi yang satu ini, terutama terkait dengan efektivitasnya. Seberapa jauh komunikan atau orang banyak akan takluk terhadap ancaman komunikator?



Iklan-iklan antirokok sebenarnya merupakan contoh FAC yang gamblang. "Jangan merokok. Jika Anda bandel, nyawa Anda akan pendek," bunyi iklan antirokok. Di mana-mana kita juga membaca slogan memerangi narkotika dan seks bebas. "Narkotika berarti maut!" "Awas! Seks bebas berarti AIDS. Dan AIDS ujungnya kematian!"

Anehnya, iklan-iklan itu kurang efektif. Jutaan orang akan berkata: "Bapak saya perokok berat, dan hidup sampai usia 85 tahun." Di negeri kita, semakin kencang gerakan memerangi narkotika, kejahatan yang satu ini pun semakin 'gila'. Ancaman hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkotika tidak membuat takut si pelaku.

Di bidang politik, FAC lebih tidak efektif lagi. Baik pengalaman negara kita, maupun negara-negara lain, FAC lebih sering tidak efektif.

Ketika Presiden Gus Dur terlibat konflik keras dengan DPR, muncul ancaman bahwa NKRI akan pecah; paling sedikit tujuh provinsi akan memisahkan diri dan menyatakan merdeka manakala Gus Dur dilengserkan. Namun, semakin kencang FAC dengan tema itu dilancarkan, semakin keras perlawanan para politisi di Senayan terhadap kepemimpinan Gus Dur. Pada akhirnya, Anda semua sudah mengetahui apa yang terjadi pada pertengahan Juli 2001.

Presiden Yudhoyono, tampaknya, tidak belajar dari pengalaman Gus Dur; padahal dia sendiri menjadi salah satu pelakunya. Masih ingat ketika SBY dipecat sebagai menteri koordinator politik dan keamanan oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjelang dekrit? SBY dinilai gagal 'menjinakkan' DPR. Maka, dia dilengserkan, dan digantikan Agum Gumelar.

SBY tidak salah. Dia tahu bahwa tidak ada satu pun kekuatan politik yang ketika itu mampu menahan gerakan menjatuhkan presiden. Dengan demikian, SBY juga menyadari bahwa komunikasi gertak sambal tidak akan efektif.

Namun, setelah menjadi pemimpin paling berkuasa di negeri, SBY membuat kesalahan serupa. Kini SBY boleh kecewa melihat ambruknya komunikasi gertak sambal itu! Kasusnya apalagi kalau bukan kasus Bank Century.

Makin lama bola Pansus Bank Century bergulir, makin cemas para petinggi Partai Demokrat; mungkin juga termasuk Presiden. Sejak sebulan yang lalu, FAC pun digulirkan. Makin lama, gempuran FAC terhadap lawan-lawan politik presiden, khususnya para mitra koalisi, semakin keras. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk mengancam mereka supaya jangan lepas dari koalisi, supaya persepsi tentang kasus Bank Century sama.

Materi FAC, awalnya, terkait dengan kocok ulang kabinet; supaya Presiden mencopot menteri-menteri koalisi yang 'mbalelo'. Setelah itu, kasus pajak dimunculkan. Mendadak sekali, Bachtiar Chamsah, politisi gaek Partai Persatuan Pembangunan, dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada lagi cerita tentang tersangkutnya Emir Moeis, politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Setelah itu, Muhamad Misbakhum, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera yang juga anggota pansus yang vokal, dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan terlibat kasus LC bodong senilai US$2,2 juta yang dibuat sebuah perusahaan miliknya. Terakhir, puluhan anggota DPR, khususnya dari Fraksi PDIP, dilaporkan ke Kepolisian dalam kasus Miranda Goeltom.

Kasus-kasus yang disebutkan itu, mungkin benar; dalam arti ditopang bukti hukum yang cukup. Namun, ketika ditampilkan berdekatan sekali dengan akhir kerja Pansus Bank Century, siapa pun pasti akan curiga: ada apa? Apa semua ini bukan ancaman terhadap lawan-lawan politik Demokrat agar mereka tidak bersikap 'radikal' dalam isu Bank Century? Soal dugaan pengelapan ajak oleh perusahaan Aburizal Bakrie, misalnya, kenapa baru sekarang diungkit, padahal kejadiannya 2007? Kenapa waktu dia masih duduk dalam kabinet, tidak ada yang berani bersuara?

Lucunya lagi, makin dekat hari-H pansus, pihak Demokrat makin kencang menggeber kasus-kasus itu. Mereka mungkin mengira, pihak lawan akan dibuat benar-benar takut, kemudian 'takluk'. Pandangan itu jelas keliru.

'Fear-arousing communication', untuk bisa efektif, harus memenuhi sejumlah persyaratan. Ia tidak seperti jarum suntik yang kalau disuntikkan kepada pasien, pasien langsung sembuh (teori peluru dalam ilmu komunikasi). Persyaratan paling pokok dari efektivitas FAC adalah: pertama, komunikan percaya sekali bahwa komunikator memang memiliki kemampuan untuk 'mematikan' mereka. Kedua, komunikator memiliki kekuasaan jauh lebih besar daripada komunikan. Ketiga, sudah ada pengalaman sebelumnya bahwa komunikator tidak pernah ragu-ragu mengedor komunikan.

Faktor paling besar yang membuat FAC tidak efektif: komunikan yakin bahwa ancaman komunikator tidak lebih gertak sambal belaka!

Dalam kasus Bank Century, kita sama-sama sudah mengetahui kejadian pada 3 Maret malam di Kompleks Gedung Parlemen. Semua wakil rakyat dari Fraksi PDIP, Golkar, PKS, Hanura, dan Gerindra tetap bersikeras memilih opsi C, bahwa ada pelanggaran hukum dalam kebijakan FPJP dan 'bailout' Bank Century. Yang amat mengejutkan: PPP yang semula sudah gencar diberitakan akan balik badan ke Partai Demokrat, sempat kembali ke kubu PDIP-Golkar. Andaikata PPP pada saat-saat kritis (lobi di Hotel Sultan pada 2 Maret malam) memang berhasil dijinakkan, kubu Demokrat akan unggul dalam pemungutan suara.

Apa yang bisa kita pelajari dari kejadian 3 Maret malam itu?

Pertama, semakin keras ancaman yang Anda lemparkan, ada kemungkinan perlawanan pun semakin keras. Bukan rasa takut yang dihasilkan--sebagaimana asumsi FAC--melainkan resistensi yang semakin keras. Orang jadi berbalik nekat.

Kedua, komunikasi FAC tidak bisa dilancarkan lama-lama; apalagi sampai 1-2 bulan. Sekali Anda lemparkan, dan ketika Anda melihat efektivitasnya diragukan, ketika itu juga Anda harus menjatuhkan hukuman sebagaimana yang Anda ancam. Gebraaaaak! Lawan komunikasi pun terperangah dan yakin bahwa Anda tidak main-main. Jika tidak bertindak sekeras dan secepat itu, komunikan atau khalayak akan menilai ancaman Anda tidak lebih cuma gertak sambal!
Opini Media Indonesia 09 Maret 2010