09 Januari 2010

» Home » Republika » Lampu Merah Pergaulan

Lampu Merah Pergaulan

Mukhtaruddin Yakob
(Ketua Aliansi Jurnalis Independen Banda Aceh)

Semarak pergantian tahun nyaris menjadi milik remaja. Pesta dan kemegahan serta senda ria menjadi alasan merayakan malam tahun baru. Demikian juga yang terjadi saat perjalanan tahun 2009 menuju tahun 2010 beberapa hari silam. Momentum tahun baru ditanggapi sebagai sebuah harapan baru dan mendapatkan berbagai kesempatan baru. Padahal, perjalanan tahun ke tahun ditanggap dengan mental ataupun spiritual. Agenda yang berbau hura-hura kerap menjadi incaran remaja saat ini.

Anggapan bahwa remaja Indonesia saat ini menjadi generasi tak bertanggung jawab mungkin tak berlebihan, bahkan tumbuh menjadi generasi manja. Generasi yang mengandalkan harta dan tahta orang tua. Sangat sedikit yang menyadari bahwa suatu saat ia harus mandiri tanpa mengandalkan harta dan membebankan orang tua. Diakui atau tidak, sangat langka kita menemukan remaja yang kreatif dan kompetitif. Bahkan, pergeseran nilai moral menjurus pada degradasi akhlak di kalangan remaja.

Degradasi moral di kalangan remaja bukan hal yang baru. Lihat saja cara bergaul dan berpakaian yang telah mengabaikan kesopanan dan nilai agama. Belum lagi bicara soal etika dan kesopanan yang nyaris menjadi 'aneh' di kalangan mereka. Semakin sulit ditemui remaja belajar agama dan kian membeludak mereka mejeng di kafe atau tempat kongkouw tanpa peduli kewajiban dalam agama. Bahkan, sikap acuh selalu menjadi identitas remaja saat ini.

Ketimpangan pergaulan remaja bahkan menjerumuskan mereka melakukan penyimpangan. Hidup tanpa beban hingga pergaulan bebas menjerat remaja untuk melakoni seks bebas. Salah kaprah juga bagian dari ritme pergaulan yang sudah lama meracuni remaja.

Uang juga menjadi pemicu angka seks bebas yang meningkat tajam. Kasus di SMP Negeri Tambora, Jakarta Barat, terkuak ketika 20 siswi di tempat itu menjual keperawanan mereka seharga Rp 2-3 juta. Fenomena latah hidup glamor membuat mereka gelap mata menjual harga diri untuk kepuasan sesaat.

Selain seks bebas, kasus aborsi juga sangat menonjol. Sebuah laporan yang dirilis Antara menyebutkan bahwa kasus aborsi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 2,3 juta dan 30 persen pelakunya masih remaja. Berdasarkan keterangan Luh Putu Ikwa Widani dari LSM Kita Sayang Remaja yang meneliti sembilan kota besar menemukan angka kehamilan yang tidak diinginkan atau KTD pada remaja meningkat jadi 150-200 ribu kasus per tahunnya.

Hasil sebuah penelitian di Yogyakarta pada 2002 silam sangat menggemparkan Indonesia. Penelitian yang dilakukan sebuah LSM mendapatkan bahwa sekitar 97,05 persen mahasiswi di Yogyakarta tak lagi virgin alias perawan. Penelitian itu dilakukan selama tiga tahun, mulai Juli 1999 hingga Juli 2002, yang melibatkan 1600 responden dari 16 perguruan tinggi negeri dan swasta. Hal itu terjadi karena berbagai alasan.

Sungguh mencengangkan dan mengerikan ketika mengetahui kehidupan seks mahasiswi di kota pelajar Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) menunjukkan bahwa hampir 97,05 persen mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang keperawanannya saat kuliah.

Penelitian di kalangan mahasiswa adalah contoh kasus. Kendati belum bisa dipastikan, kasus sama juga terjadi di kalangan siswa SMU, bahkan SMP sekalipun. Apalagi, usia belasan tahun atau sweet seventeen sebagai usia produktif yang sangat terbuka menerima berbagai hal baru dalam mengenal lawan jenis. Pendidikan agama yang lemah menjadi penyebab hidup dan seks bebas di kalangan remaja.

Teknologi
Teknologi, selain memberikan banyak dampak positif, juga memberikan dampak negatif jika tidak dimanfaatkan secara bijaksana. Arus teknologi dan keterbukaan informasi memicu angka penyimpangan gaya hidup. Sesuatu yang baru tentang remaja cenderung ditiru. Awalnya, sekadar coba-coba, selanjutnya menjadi kebutuhan.

Eksploitasi seksual dalam video klip, majalah, televisi, dan film-film ternyata mendorong para remaja untuk melakukan aktivitas seks secara sembarangan pada usia muda. Dengan melihat tampilan atau tayangan seks di media, para remaja itu beranggapan bahwa seks adalah sesuatu yang bebas dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja.

Menurut Jane Brown, ilmuwan dari Universitas North Carolina yang memimpin proyek penelitian ini, semakin banyak remaja disuguhi dengan eksploitasi seks di media, mereka akan semakin berani mencoba seks pada usia muda.

Di antara berbagai kasus negatif, ternyata sangat banyak hal positif untuk remaja kita. Gaul dalam makna yang positif bisa membantu remaja untuk membagi waktu. Di samping itu, dengan beraktivitas, jadwal para remaja akan lebih teratur sehingga terbiasa untuk hidup disiplin. Mencari jati diri akan mendorong remaja melakukan berbagai hal yang gaul dan positif.

Menjadi remaja yang kreatif bukan sesuatu yang sulit. Hal ini tentunya berdasarkan keinginan remaja itu sendiri. Jika orang bisa, mengapa kita nggak? Karena, remaja yang kreatif itu adalah sukses dalam berbagai kegiatan dan juga berprestasi di sekolah.

Kesalahpahaman dalam mengartikan gaul selama ini telah menjerat remaja pada penyimpangan perilaku. Mereka cenderung melakukan pelanggaran yang justru akan menghancurkan masa depan. Sesuatu yang dilakukan tanpa batas dan tanpa memerhatikan norma-norma dan nilai-nilai moral sebenarnya akan menghancurkan diri manusia itu sendiri. Keluarga sangat berperan penting dalam menanamkan nilai- nilai tersebut. Keluarga adalah kunci keselamatan remaja kita.

Opini Republika 9 Januari 2010