09 Januari 2010

» Home » Jawa Pos » DPR Kita Belum Akil Balig

DPR Kita Belum Akil Balig

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) bikin ribut lagi. Kali ini berkaitan dengan rapat pansus Century yang ditingkahi saling lempar kata-kata kasar. Forum terhormat yang diikuti wakil rakyat terhormat tersebut semestinya diwarnai kesantunan, bukan malah kata-kata kasar yang kurang nyaman bila dicerna khalayak.

Tatkala kata-kata kasar dilontarkan, saat itu pula khalayak sudah bisa mengukur karakter ''orang-orang terhormat'' tersebut. Sebab, kata-kata merupakan ekspresi psiko-emosional manusia yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk isyarat, penuturan, dan perilaku. Bahasa hampir-hampir menjadi medium utama bagi manusia untuk berbudaya. Dus, bahasa kasar bukan cermin orang berbudaya.

Bahasa bukan melulu urutan bunyi-bunyian. Dalam dimensi filsafat bahasa, bisa dikemukakan bahwa bahasa merupakan sistem simbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi, penuangan emosi manusia, serta sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat mencari hakikat kebenaran dalam hidup.

Bahasa pula yang mencerminkan proses berpikir seseorang. Dalam konteks ini, berpikir bisa diartikan kegiatan akal yang terarah. Berpikir di sini tetap mempertimbangkan aturan, norma, maupun hukum. Oleh karena itu, berpikir di sini lebih pas menggunakan istilah ''bernalar'' sebagaimana pernah dikemukakan Plato maupun Aristoteles. Bernalar memperkuat sebutan animal rationale bagi manusia yang didasari logon ekhoon yang mengandung makna dilengkapi dengan akal budi. Jadi, bernalar adalah berbicara di dalam batin yang mengikuti proses mempertimbangkan, menganalisis, membuktikan, hingga menarik kesimpulan.

Kemampuan bernalar, menurut beberapa filsuf, sangat bergantung kepada kematangan jasmani, pikiran, dan emosional. Sementara para pendidik melihat bahwa kematangan jasmani, pikiran, maupun emosional itu sebagai ukuran kedewasaan seseorang. Jika ketiganya belum matang, seseorang masih berada dalam masa belum akil balig. Warna kekanak-kanakannya masih mendominasi.

Setidaknya sampailah pada sebuah benang merah, tatkala anggota DPR saling lempar kata-kata kasar, apalagi disorot kamera sejumlah stasiun televisi, berarti lepas dari nalar. Berarti pula mereka belum akil balig. Inilah kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sungguh celaka kita jika mempunyai DPR yang belum akil balig.

Tak Peduli

Kenapa celaka? Jelas watak anak-anak di antaranya mementingkan dirinya sendiri tanpa acuh kepada sekitarnya. Ketika seorang anak ingin sebuah permen, dia tak peduli lagi kepada lingkungannya. Bagi si anak, yang terpenting memperoleh permen itu.

Analogi itu bisa dibawa kepada para wakil rakyat terhormat. Jika kepentingan sendiri harus diwujudkan, tak perlu lagi memikirkan kemiskinan yang melilit sebagian besar masyarakat. Juga tak perlu lagi mempermasalahkan busung lapar di sebagian tempat, muntaber di beberapa daerah, pelajar yang putus sekolah lantaran orang tua mereka tak kuat lagi membiayai, para korban bencana yang masih telantar di penampungan, atau rakyat yang susah gara-gara BBM langka. Tiba-tiba semua problem tersebut bukan urusan mereka. Urusan terpenting bagi mereka adalah kesejahteraan sendiri.

Agaknya, DPR kita memang sulit menghilangkan sikap kekanak-kanakan itu. Pernah (sekitar Maret 2005), suasana rapat paripurna DPR yang membahas soal BBM mirip anak-anak sedang bersitegang di ruang kelas. Masing-masing berargumen sembari berteriak-teriak, menuding, dorong-mendorong, dan saling berebut untuk menjadi pusat perhatian. Watak anak-anak kian menonjol. Jika maunya tak dituruti, biasanya mengamuk, bahkan tak jarang sambil merusak. Tak jarang saling gebrak meja sambil berteriak-teriak interupsi sampai-sampai sidang diskors.

Jika merujuk kepada pemikiran Jurgen Habermas, semestinya di lembaga itu (DPR) terdapat kekuatan-kekuatan demokratis yang saling berkomunikasi dan berwacana untuk meraih cita-cita hidup bersama. Bagi Habermas, aktivitas berkomunikasi dan berwacana itulah hakikat politik. Berpolitik bukan melulu memperebutkan kekuasaan.

Politik ala Habermas tersebut tak akan terwujud jika masing-masing orang tak mau membebaskan diri dari kesempitan diri yang kekanak-kanakan. Merujuk kepada Immanuel Kant, politik semacam itu mensyaratkan akil balig atau dalam setiap upaya menunjukkan kemauan menuju keakilbaligan.

Pada ruang publik, misalnya, keakilbaligan tersebut bisa dilihat dari seberapa jauh kebebasan publik diterapkan. Ukuran kebebasan publik adalah kemampuan pribadi tidak lagi berpikir ''aku", tetapi sudah lebih luas dengan memikirkan ''kami atau kita". DPR adalah satu wujud dari ruang publik dan sekarang bisa diukur seberapa sering mereka berpikir ''kami atau kita"?

Merugikan Publik

DPR yang jauh dari keakilbaligan tentu merugikan masyarakat saat kebijakan publik diluncurkan. Setidaknya, kekuasaan komunikatif menjadi lemah. Filsuf Hannah Arendt mengenalkan istilah kekuasaan komunikatif. Maksudnya, satu kekuasaan yang terkonstruksi dari jaringan-jaringan komunikasi masyarakat sipil. Jaringan itu bisa dilihat lewat media maupun LSM. Jika kekuasaan komunikatif tersebut lebih berperan, tentulah punya kekuatan untuk mengarahkan keputusan-keputusan pemerintah.

Di sinilah terwujud pula konsep Habermas tentang demokrasi deliberatif, yakni kondisi di mana legitimitas hukum tercapai karena terbangun dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil. Dalam kata lain, jika perundangan lahir karena terpengaruh diskursus-diskursus yang terjadi di masyarakat, terbentuklah demokrasi deliberatif.

Model demokrasi deliberatif memungkinkan draf kebijakan publik diuji terlebih dahulu lewat apa yang diistilahkan Habermas sebagai diskursus publik. Demokrasi deliberatif menghormati peran serta warga negara dalam proses pembentukan opini agar suatu kebijakan pemerintah mendekati harapan orang-orang yang diperintah.

Idealitas itu sulit terwujud bila DPR kita belum akil balig. Agaknya, inilah yang bakal terjadi di Indonesia, kebijakan publik lahir tanpa menganut demokrasi deliberatif. Kehendak pemerintah tak selalu sejalan dengan aspirasi rakyat. DPR tanpa keakilbaligan tak mampu membendung tindakan monologis pemerintah. Pada akhirnya, rakyat adalah the other bagi para anggota DPR. Celakalah negara yang punya DPR semacam itu! (*)

Toto Suparto , pengkaji etika di Puskab Jogjakarta
Opini Jawa Pos 9 Januari 2010