12 November 2009

» Home » Jawa Pos » Pembaruan Hukum yang Sia-Sia

Pembaruan Hukum yang Sia-Sia

MASIH perlukah pembaruan hukum atau produk baru peraturan perundang-undangan di negeri ini? Haruskah negeri yang beridiom "negara" hukum ini membutuhkan karya-karya legislatif untuk mengisi khazanah dunia peradilan atau memediasi pencari keadilan? Atau, sudah tidak perlukah negeri ini dibingkai oleh kekuatan legal formal (de jure) untuk memenuhi aspirasi pencari keadilan dan mewujudkan keadaban publik?


Syafi'i Ma'arif (2009) mengatakan, di negeri ini memang banyak aparat penegak hukum tidak baik dan orang-orang "busuk". Tetapi, tidak sedikit pula aparat penegak hukum yang baik dan tetap berjuang menjaga kewibawaan negeri ini. Jika asumsi itu benar, tentulah suatu produk hukum, betapa pun mahalnya, tetap diperlukan. Asalkan, produk hukum tersebut bertujuan untuk menegakkan kebaikan atau diorientasikan mendukung atau menjembatani kepentingan masyarakat. Di antaranya, keadilan publik (public justice).

Apa yang disampaikan mantan ketua PP Muhammadiyah itu sebenarnya mengajak kita, khususnya elemen struktural atau elite strategis negara, untuk bersikap optimistik bahwa pembaruan haruslah terus mengalir seperti air. Pembaruan harus didorong dengan kekuatan penuh untuk menjadikan aspek fundamental bangsa ini sebagai "lokomotif" agar keadilan, kedamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan rakyat terwujud.

Ongkos pembaruan hukum tidaklah murah. Mengacu pada capaian (kinerja) DPR perioode 2004-2009 yang dalam lima tahun menyelesaikan 193 RUU, jika DPR perioode 2009-2014 akan menyelesaikan RUU dalam jumlah sama, anggaran yang akan dihabiskan mencapai Rp 1 triliun lebih dalam lima tahun.

Menurut Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Ignatius Mulyono, itu terjadi karena anggaran negara yang disediakan untuk membiayai pembahasan satu rancangan undang-undang (RUU) di DPR semakin besar. Biayanya mencapai Rp 5,8 miliar. Anggaran tersebut membengkak sepuluh kali lipat jika dibandingkan dengan lima tahun lalu yang hanya Rp 560 juta (Jawa Pos, 11 November 2009).

Itu menunjukkan bahwa "cost" untuk memproduk hukum atau memperbarui norma yuridis, ternyata, tidak murah. Dana Rp 1 triliun yang secara umum menjadi biaya akomodasi, transportasi, dan lain-lain bagi elite politik kita jelas sangatlah besar. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi perekonomian masyarakat dari lapis strata akar rumput (grassroot).

***

Meski pengeluaran untuk memperbarui hukum itu terlihat besar, menjadi tidak terasa besar manakala target pengimplementasiannnya terlaksana. "Harga" kepentingan masyarakat Indonesia di berbagai sektor fundamental jauh lebih besar jika dibandingkan dengan harga produk hukum. Meski demikian, dana Rp 1 triliun menjadi bagian dari konsumerisme dan segmentasi program "menyakiti" rakyat bilamana kepentingan yang sudah diakomodasi dalam produk peraturan perundang-undangan gagal "membumi" dalam anatomi kebidupan masyarakat.

Kata sosiolog hukum kenamaan asal Undip Satjipto Rahardjo, di negara berkembang itu karakteristiknya adalah ''banjir" produk hukum, gampang menyusun atau melahirkan norma hukum untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Di negara tipe demikian, hukum dianggap sebagai ''resep cespleng" atau ''pil tuntas" yang bisa dan sangat ampuh menuntaskan masalah.

Di dalam norma hukum itu, terkandung rumusan kaidah yang dapat diandalkan atau disajikan sebagai senjata ampuh guna menjawab problem masyarakat dan negara yang sedang terjadi. Hukum dinilai sebagai alternatif utama yang bisa menuntaskan berbagai bentuk fenomena perilaku deviatif yang sedang menguji kredibilitas negara hukum.

Hukum dalam posisi di negara demikian cenderung dipaksakan mengikuti ''ambisi pasar" atau perkembangan dan pergumulan sosial, politik, pendidikan, budaya, ekonomi, dan agama. Kalau bursa empiris kehidupan masyarakat tidak mendesaknya, pembaruan tak perlu dilakukan.

Repotnya, pembaruan substansi hukum yang sudah dan ke depan tetap menjadi "proyek" istimewa negeri ini menjadi kehilangan kebermaknaannya ketika dalam ranah das sein atau penerapannya tidak didukung oleh elemen (aparat) penegak hukum yang punya integritas moral tinggi untuk menegakkannya. Komunitas elite itu lebih memilih mendesain atau memproduk "hukum" menurut selera dan kepentingan eksklusifnya daripada menegakkan norma produk negara.

Itu dapat dibuktikan melalui pergulatan antarelite penegak hukum belakangan ini yang lebih mempertontonkan supremasi individualitas dan kelompok daripada supremasi yuridis. Mereka tergiring bukan menjadi pelaksana-pelaksana yang teguh menegakkan norma, tetapi sibuk mempermainkan atau merekayasa ucapan, sikap, dan perilaku yang dibuatnya seolah-olah sejalan dengan norma.

Pelaksana hukum merupakan kunci utama atau pilar fundamental yang menentukan citra penegakan hukum, negara hukum (rechstaat), dan nasib pencari keadilan, serta masa depan produk hukum itu sendiri. Hukum yang dibuat "menu" permainan seperti dalam konflik KPK-Polri, misalnya, merupakan hukum yang sejatinya sudah sampai pada ranah ketidakberdayaan atau bahkan kematiannya. Dalam wacana, seperti ada penegakan yang dimunculkan, tetapi boleh jadi, dalam ranah pergulatannya sudah sampai ke pengamputasiannya secara sistemik.

Dalam kasus tersebut, aparat penegak hukum tidak ubahnya sebagai gorila yang menerkam nadi kehidupannya. Mereka terjerumus dalam opsi yang bukan hanya salah, tetapi sekaligus keji. Pasalnya, apa yang diperbuatnya bukan hanya menghabisi peluang hidupnya, berdayanya, dan progresivitasnya penegakan hukum, tetapi juga "membunuh" investasi pembaruan hukum di masa mendatang.

Produk hukum yang menghabiskan dana besar akan dicibir sebagai "kandidat" pasal-pasal mati, mayat hidup, atau ayat-ayat negara yang kehilangan sakralitasnya. Eksistensinya sebagai produk legislatif hanya meninggalkan sejarah sebagai produk dengan biaya mahal, sementara untuk menjadi produk unggulan yang bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa ini tidak pernah bisa dicapainya.

Lantas, apa gunanya menghambur-hamburkan uang triliunan rupiah hanya untuk membuat produk yang berujung pada kesia-siaan atau dikalahkan secara mengenaskan oleh praktik rekayasa kasus dan pembengkokan idealisme yuridisnya? (*)

*) Mariyadi Faqih SH, s edang menyelesaikan program doktor ilmu hukum di PPS Unibraw
Opini Jawa Pos , 12 November 2009