16 November 2009

» Home » Media Indonesia » Menimbang Kebijakan Integrasi UN-SNMPTN

Menimbang Kebijakan Integrasi UN-SNMPTN

Belum genap seratus hari pencanangan program Kabinet Indonesia Bersatu II dijalankan, publik, pengamat, dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan rencana Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh untuk mengintegrasikan ujian nasional (UN) dengan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Bentuk shock therapy kebijakan dari Mendiknas ini tentu saja harus kita kritik secara sejak awal karena pola kerja birokrasi pendidikan kita biasanya sangat senang dalam melempar isu kebijakan di tingkat nasional, tanpa perlu menghitung risiko kegagalan dalam implementasi di tingkat lokal dan sekolah. Juga seringnya sebuah kebijakan Mendiknas dibuat hanya atas dasar asumsi adalah fakta yang berulang kali kita saksikan. Mulai kebijakan perubahan kurikulum, ujian nasional, buku teks elektronik, bantuan operasional sekolah (BOS), hingga program sekolah gratis yang sama sekali tak mendidik. Semua bentuk kebijakan itu dibuat tanpa ada assessment yang memadai, plus minimnya keterlibatan publik untuk ikut serta, baik dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi-monitoring program.

Rencana integrasi UN-SNMPT jangan-jangan hanya merupakan kebijakan dadakan untuk meredam ingar-bingar protes para pengamat dan praktisi pendidikan terhadap kebijakan ujian nasional yang banyak melanggar hak orang tua dan siswa untuk memperoleh pendidikan yang baik, jujur, dan bersih. Selain itu, jika rencana kebijakan ini memang benar adanya, seyogianya Mendiknas memiliki tim assessment (semacam TPF atau Tim 8 yang menangani kasus Bibit-Chandra), yang akan bekerja untuk mencari fakta-fakta strategis tentang relasi UN dengan kapasitas guru dan orang tua serta ekspektasi dari pihak perguruan tinggi terhadap calon mahasiswa yang akan masuk ke kampus mereka.

Model kebijakan pendidikan
Dalam banyak penelitian tentang aspek-aspek yang saling memengaruhi antara kebijakan pendidikan dan model reformasi sekolah yang ingin dicapai otoritas pendidikan, Finnan (2000) mengidentifikasi adanya lima asumsi dasar tentang sukses tidaknya sebuah kebijakan di bidang reformasi pendidikan, yaitu (1) asumsi orang dewasa terhadap siswa (assumptions adults hold for students); (2) asumsi kepemimpinan dan pengambilan keputusan (assumptions about leadership and decision-making); (3) asumsi sekitar peran dan tanggung jawab orang dewasa (assumptions about adult roles and responsibilities); (4) asumsi tentang praktik dan struktur terbaik untuk mendidik siswa (assumptions about best practices and structures for educating students); dan (5) asumsi tentang nilai perubahan (assumptions about the value of change). Finnan menyimpulkan jika upaya reformasi pendidikan ingin dapat diterima oleh stakeholders pendidikan lainnya, asumsi antara model reformasi pendidikan dan terutama dengan budaya sekolah harus kompatibel.
Asumsi pertama mengindikasikan apakah sebagai orang dewasa, kita cukup bijak dalam melihat dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan siswa? Apakah kita dapat memastikan UN dapat menciptakan iklim belajar yang kondusif bagi siswa ke depan? Jawaban dari kedua pertanyaan itu akan merefleksikan apakah komunitas sekolah yang terdiri dari siswa, guru, manajemen sekolah, dan masyarakat, kuat dalam menerima hasil dari sebuah kebijakan yang akan diberlakukan. Tentu saja hasil akhir dari asumsi ini ingin menyadarkan kita bahwa baik siswa maupun para guru harus dihargai kapasitas dan kompetensinya. Mereka memiliki hak untuk meningkatkan kemampuannya secara bertahap sesuai dengan proses belajar-mengajar yang menjadi tanggung jawabnya.
Asumsi kedua tentang kepemimpinan dan pengambilan keputusan serta asumsi-asumsi berikutnya dapat dilihat dari bagaimana proses dikeluarkannya kebijakan tentang UN. Dalam konteks pelayanan publik, tampak sekali bahwa kebijakan UN tidak memenuhi asumsi tentang adanya praktik kepemimpinan dan pengambilan keputusan (leadership and decision making) dalam sekolah-sekolah kita. Otoritas pendidikan seakan lupa bahwa dalam sebuah budaya dan proses demokratisasi, pengambilan keputusan sejiwanya melibatkan unsur komunitas sekolah. Banyak sekali kasus reformasi pendidikan, baik di negara berkembang bahkan di negara maju sekalipun, yang tidak melibatkan komunitas sekolah dalam proses pengambilan keputusannya berakhir dengan kegagalan. Jelas sekali terlihat bahwa kebijakan UN sangat berlawanan dengan praktik budaya sekolah yang ingin dikembangkan di sekolah itu sendiri.
Jika kebijakan tentang reformasi pendidikan yang diindikasikan selalu gagal karena tidak menyertakan secara demokratis para komunitas sekolah, itu sama halnya dengan kita mengendarai sebuah kuda yang mati. If the horse you're riding dies, get off. Tetapi dalam dunia pendidikan berlaku kebiasaan lain, yaitu inovasi. Inovasi dalam budaya sekolah sepenuhnya merupakan milik guru dan siswa, bukan otoritas pendidikan yang selalu memandang inovasi dalam bidang kebijakan dengan kacamata kuda. Akhirnya, jika guru dan siswa adalah target akhir dari setiap produk kebijakan di bidang reformasi pendidikan, setiap asumsi yang berkaitan dengan pembentukan budaya sekolah seyogianya harus sesuai dengan kebijakan yang akan dikeluarkan. Alasannya sederhana, yaitu setiap rencana perubahan harus bergulir dengan tidak melawan hukum alam budaya pendidikan: membiarkan guru dan siswa menentukan masa depan mereka sendiri secara natural.

Beberapa kesulitan
Kesulitan pertama tentu saja adalah tentang posisi UN di mata Mendiknas saat ini. Apakah kebutuhan UN dibuat untuk negara atau negara hanya menjadi semacam penyelenggara seperti tahun-tahun sebelumnya sehingga hanya seperti orang melempar batu kemudian sembunyi tangan? Ketiadaan rumusan dan perencanaan yang jelas dengan landasan filosofis yang tegaslah yang menyebabkan kasus UN terus-menerus menjadi kontroversial. Immanuel Kant (1960) dan Count Leo Tolstoy (1967) menyiratkan sebagai sebuah proses rekayasa sosial (social engineering), pendidikan haruslah terbebaskan dari praktek kontrol negara yang berlebihan seperti dalam kasus UN.
Karena itu, diperlukan keberpihakan yang tegas dari Mendiknas saat ini terhadap kelangsungan proses belajar-mengajar di kelas, tinimbang membuat pendidikan sebagai alat politik dan kebutuhan kekuasaan semata yang mengorbankan ragam talenta siswa. Kelas dan sekolah harus dijadikan cermin oleh negara bagaimana sebenarnya sistem pendidikan kita ditegakkan dan dijalankan. Karena itu, kebebasan akademis dari para guru, kepala sekolah, siswa dan masyarakat harus tecermin kuat dalam program penguatan kapasitas guru dan sekaligus kapasitas peran serta masyarakat yang berkesinambungan. The primacy of teachers harus menjadi prioritas, bukan hanya aspek kesejahteraannya, melainkan juga kapasitasnya. Tanpa kapasitas yang mumpuni, para guru akan semakin terjebak pada rutinitas mengajar yang formal, dengan guru selalu ingin memaksakan prakonsepsi tertentu kepada pikiran para siswa tinimbang sebagai fasilitator yang akan membuat para siswa lebih kreatif dan terbuka (Hatch, White, & Faigenbaum, 2005).
Kesulitan kedua lagi-lagi terletak pada kelalaian pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tentang kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), yang hingga saat ini implementasinya banyak diragukan berlangsung di sekolah. Banyak kendala teknis yang tak dapat dijelaskan pemerintah, apa sebenarnya manfaat KTSP bagi sistem evaluasi dan penilaian terhadap peserta didik. Bentuk kebijakan soal kurikulum selama ini sama sekali tidak memiliki relasi dengan kebijakan soal UN dan model kurikulum yang dikembangkan oleh perguruan tinggi. Karena itu, mengintegrasikan UN dengan SNMPTN dengan demikian bukanlah hal mudah seperti membalik telapak tangan. Tanpa adanya kebijakan untuk memperbaiki seluruh proses pembelajaran pada tingkat kelas dan kegiatan pendukung lainnya pada lingkungan sekolah, jangan berharap integrasi UN-SNMPTN akan sukses. KTSP seharusnya terlebih dahulu dimatangkan dalam sebuah proses dan skema yang jelas dan disepakati oleh semua unsur dalam komunitas sekolah.
Kesulitan ketiga adalah fakta tentang belum meratanya kualitas antarsekolah, baik dari aspek kapasitas guru, kemampuan dukungan orang tua, serta kemampuan finansial dan kepedulian pemerintah daerah dalam mengatasi masalah pendidikan di daerah masing-masing. Untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan itu, dibutuhkan komitmen semua pihak untuk duduk bersama dalam membuat perencanaan pembiayaan pendidikan yang terbuka, transparan, dan akuntabel. Jika hal itu mampu kita lakukan, pandangan bahwa keberhasilan siswa selalu bergantung pada kemampuan finansial orang tua dan karakter psikologis siswa serta menafikan kemampuan manajerial dan budaya sekolah pasti akan pupus dengan sendirinya (JS Coleman, Equality of Education Opportunity, 1966).

Oleh Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma - Jakarta
Opini Media Indonesia 16 November 2009