16 November 2009

» Home » Republika » Kompensasi Bisnis TNI

Kompensasi Bisnis TNI

Oleh:  Achmad Deni Daruri

(President Director Center for Banking Crisis)


Al-Sadr, seorang pemikir Islam yang dibunuh oleh Sadam Hussein pernah mengatakan, Islamic theory rejects monarchy as well as the various forms of dictatorial government; it also rejects the aristocratic regimes and proposes a form of government, which contains all the positive aspects of the democratic system.
 Lebih lanjut Al-Sadr mengatakan bahwa pembangunan ekonomi haruslah bertujuan untuk membuat pertahanan nasional menjadi semakin kuat. Menginterpolasikan kekuatan ekonomi menjadi kekuatan militer dengan demokrasi itulah esensi kekuatan pertahanan keamanan yang hakiki.

Demokrasi akan menempatkan pihak sipil sebagai pengendali militer seperti yang diungkapkan oleh Huttington,  the proper subordination of a competent, professional military to the ends of policy as determined by civilian authority .

Dengan demikian, bisnis militer atau apa pun namanya jika berada dalam koridor ini, bukanlah merupakan persoalan bahkan justru dapat menjadi aset nasional. Jika tidak, sejarah di Irak menjadi salah satu buktinya.

 Terbukti bahwa Sadam Husein kemudian dengan mudahnya terguling dari kekuasaan oleh tentara Amerika Serikat dan Inggris. Salah satunya, karena pertahanan keamanan Irak semasa Sadam Husein justru merupakan interpolasi dari tentara Irak yang berbisnis dan tidak demokratisnya sistem politik di Irak pada saat itu. Tidaklah mengherankan jika para jenderal pada periode Sadam Husein juga berperut buncit dan hidup dalam kemewahan, sementara para prajurit rendahannya hidup dalam kemelaratan.

Dengan demikian, tidak adanya kompensasi bisnis militer bagi TNI di Indonesia yang katanya sudah menjadi negara yang demoktratis merupakan bentuk  improper subordination of a competent dari civilian authority di Indonesia . Lantas apa kaitannya dengan bisnis militer di Indonesia? Di Cina, para prajurit tidak boleh lagi berbisnis, karena hasil kajian studi pertahanan mereka memperlihatkan bahwa tidak terjadi  economies of scope dengan diperbolehkannya tentara melakukan bisnis militer.

Dengan kata lain, profesionalisme prajurit menjadi mengendur dan bisnis militer yang mereka lakukan ternyata juga kehilangan  competitive advantage ketika sektor swasta semenjak era Deng Xioping, diperbolehkan menjadi mesin utama perekonomian Cina dan mesin uang utama bagi Partai Komunis Cina. Dalam konteks Indonesia, hilangnya bisnis militer justru bukan akibat kajian dari tidak adanya  economies of scope seperti di Cina. Namun, mungkin ada persamaannya, yaitu tidak kompetitifnya bisnis militer tersebut.

Jika bisnis militer dianggap tidak kompetitif, mengapa harus diambil alih? Jawaban yang pasti adalah ketakutan akan munculnya risiko fiskal. Bisnis militer bukan ancaman bagi masyarakat sipil dalam arti seperti yang dikatakan oleh Kohn, yaitu  the point of civilian control is to make security subordinate to the larger purposes of a nation, rather than the other way around. The purpose of the military is to defend society, not to define it.

Maka itu, kasus ditutupnya bisnis militer di Indonesia dan Cina memiliki alasan yang berbeda. Namun, penyelesaian bisnis militer di Cina ternyata lebih bersifat  win-win solution, karena tentara Cina mendapatkan kompensasi yang wajar. Dengan kata lain,  indifference curve dari tentara nasional Cina tidak mengalami penurunan yang berarti.

Dalam kasus Indonesia, kompensasi finansial terhadap Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan ditutupnya bisnis militer justru menurunkan  indifference curve dari TNI. Lantas jika diberikan kompensasi bagaimana bentuk kompensasi tersebut? Kompensasi yang paling ideal adalah dengan memberikan kepemilikan saham-saham kepada anggota TNI, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Malaysia terhadap pribumi di Malaysia. Liddell Hart mengatakan strategi militer sebagai  the art of distributing and applying military means to fulfil the ends of policy.

  Kompensasi bisnis militer bagi TNI merupakan  means seperti yang dikatakan oleh Hart tersebut. Sebagai kompensasinya, dana tersebut digunakan untuk membeli saham-saham perusahaan di Indonesia yang  blue , kemudian membuat program penyertaan dalam satuan yang lebih kecil untuk dibagikan kepada seluruh prajurit TNI (seperti bentuk penyertaan reksadana). Ini juga akan membuat rasa kepemilikan para prajurit TNI terhadap perusahaan-perusahaan di Indonesia semakin tinggi. Jadi, sangatlah keliru jika prajurit TNI justru dilarang membeli saham.

Memiliki saham adalah hak setiap individu. Justru pemerintah harus membantu TNI agar prajurit TNI memiliki unit-unit penyertaan saham, seperti reksadana. Ada baiknya kompenen reksadana ini merupakan saham-saham BUMN sehingga prajurit TNI juga memiliki kepentingan dengan kesehatan finansial BUMN tersebut. Kalau Clemenceau mengatakan,  war is too important a business to be left to soldiers. Maka, dalam konteks kompensasi bisnis TNI, kalimat yang cocok adalah  mutual fund is too important a business to be left to soldiers.

Dan, pemberian reksadana bagi prajurit TNI searah dengan upaya untuk  purposeful employment of all instruments of power available to a security community . Omong kosong jika kita mengharapkan prajurit TNI untuk semakin profesional jika kesejahteraan dan biaya operasional TNI hanya tergantung kepada APBN.

Mengapa? Karena APBN Indonesia didesain oleh para kaum neoliberal untuk tidak bersifat ekspansif, sementara sampai saat ini utang luar negeri dalam APBN masih bersifat gali lobang tutup lobang. Artinya, utang luar negeri yang masuk selalu lebih kecil ketimbang utang luar negeri yang balik ke luar negeri.

Belum lagi adanya politik dari utang luar negeri tersebut yang juga berorientasi kepada melulu hak-hak kreditur. Jadi, janganlah rakyat Indonesia bersenang hati jika rating Indonesia mengalami peningkatan, karena sesungguhnya merupakan cermin bahwa APBN Indonesia semakin tidak ekspansif. Jika APBN tidak dapat ekspansif, bagaimana mungkin biaya operasional TNI dan kesejahteraan prajurit TNI dapat ditingkatkan?

Non sense ! Bahkan, Pemerintah Indonesia sebaiknya juga membuat  sovereign fund dalam rangka membiayayi industri-industri pertahanan domestik. Ingatlah kepada apa yang dikatakan oleh Clausewitz, yaitu  war is not merely a political act, but also a real political instrument, a continuation of policy carried out by other means.

Jadi, janganlah pola pertahanan keamanan Indonesia menggunakan pola pikir yang liner. Matinya industri pertahanan di Indonesia merupakan bentuk sesungguhnya dari perang militer itu sendiri yang sebetulnya tengah berlangsung. Miskinnya TNI dalam membiayai operasi TNI dan kesejahteraan prajurit TNI merupakan hasil dari perang itu sendiri.

Meruginya bisnis militer juga hasil dari perang tersebut. Sangat boleh jadi kondisi yang ada saat ini merupakan  signal bahwa sesungguhnya Indonesia telah kalah perang. Bukankah Mao Zedong sudah mengingatkan bahwa latihan perang yang terbaik adalah perang itu sendiri melalui perang rakyat.

Di Indonesia, kita mengenal dengan konsep hankamrata. Artinya, perang tidak melulu harus mengandalkan kocek pemerintah. Bagaimana mungkin perang hankamrata hanya mengandalkan APBN? Deng Xiaoping menyempurnakannya dengan kekuatan pasar untuk tujuan militer,  planning and market forces are not the essential difference between socialism and capitalism. A planned economy is not the definition of socialism, because there is planning under capitalism; the market economy happens under socialism, too. Planning and market forces are both ways of controlling economic activity. Untuk memenangkan pertempuran, APBN harus diinterpolasikan bagi kekuatan pertahanan dan keamanan yang hakiki.

Bukan hanya itu, kompensasi bagi para prajurit atas bisnis militer yang diambil alih pemerintah harus segera direalisasikan, selain itu  sovereign fund untuk bisnis militer sudah saatnya untuk dibuat! Sumber awal  sovereign fund tersebut adalah dana kompensasi dari bisnis militer.

Opini Republika 16 November 2009