10 Desember 2010

» Home » Okezone » (Hilangnya) Asa Melawan Korupsi?

(Hilangnya) Asa Melawan Korupsi?

Di tengah karut-marut wajah penegakan hukum, terutama dalam agenda pemberantasan korupsi, triwulan terakhir tahun 2010 ditandai dengan pengisian sejumlah posisi penting penegak hukum.

Mulai dari ranah eksekutif, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melantik Timur Pradopo menggantikan Bambang Hendarso Danuri menjadi orang nomor satu di jajaran kepolisian. Begitu pula di lingkungan kejaksaan, eks Wakil Jaksa Agung Basrief Arif diangkat menggantikan Hendarman Supandji. Tidak hanya di ranah eksekutif, setelah melalui proses panjang dan melelahkan, DPR juga telah memilih pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Melalui fit and proper test, DPR memilih Busyro Muqoddas mengisi posisi pimpinan KPK yang ditinggalkan oleh Antasari Azhar. Bahkan, Busyro juga diberikan amanah untuk menjadi Ketua KPK hingga satu tahun ke depan. Dengan terpilihnya Busyro, KPK kembali akan mengarungi samudra luas pemberantasan korupsi dengan kekuatan penuh.

Bahkan dalam perspektif yang lebih luas, pasukan penegak hukum terasa semakin lengkap dengan terpilihnya komisioner baru Komisi Yudisial (KY). Sebagai lembaga yang diberi amanat khusus untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim peran KY tidak kalah pentingnya dalam pemberantasan korupsi. Bagaimanapun, kehadiran KY begitu penting karena akan menjaga perilaku hakim yang berada di ujung proses penegakan hukum. Disadari, bagaimanapun optimalnya proses-proses awal semuanya akan kehilangan makna jika hakim tidak menjaga kehormatan dan keluhuran martabat untuk menegakkan hukum.

Dalam suasana tersebut, pertanyaan mendasar yang menyeruak di ruang publik, yaitu: dapatkah pengisian semua pejabat penegak hukum menjadi asa baru dalam agenda memberantas korupsi? Pertanyaan ini menjadi masuk akal di tengah meruyaknya praktik korupsi dan publik mulai melihat gejala pengabaian penyelesaian sejumlah megaskandal korupsi secara tuntas.

Skandal Gayus

Wajah penegakan hukum pemberantasan korupsi dalam beberapa waktu ke depan akan ditentukan dari penyelesaian sejumlah skandal yang menyita perhatian publik beberapa waktu terakhir. Salah satu megaskandal yang ditunggu publik adalah penyelesaian kasus rekayasa pajak dengan tokoh sentral Gayus HP Tambunan. Skandal ini menjadi menarik karena terkait langsung dengan kepolisian, kejaksaan dan KPK. Khusus untuk kepolisian, sorotan tajam publik tidak terlepas dari upaya rekayasa guna melindungi sejumlah petinggi polisi.

Setidaknya, kecenderungan ke arah itu mungkin dapat dilacak upaya melokalisir keterlibatan polisi hanya sampai perwira menengah saja. Padahal, saat memberikan keterangan, pegawai golongan III Direktorat Jenderal Pajak ini menyatakan bahwa dia pernah mengeluarkan uang sebesar USD500.000 kepada perwira tinggi polisi untuk membuka blokir rekening atas nama Gayus. Sayangnya, upaya membuka uang pelicin Gayus ini seperti sulit disentuh. Perlindungan secara sistemik terhadap petinggi polisi dapat dilacak lebih lanjut dari skandal kemunculan Gayus di Bali. Sebagaimana diketahui, begitu foto Gayus muncul di sejumlah media, Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI melakukan pemeriksaan atas petugas keamanan di Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua.

Melangkah lebih jauh dari sekadar memeriksa, penjaga tahanan tersebut dibebastugaskan. Sayang, prosesnya berhenti hanya sampai petugas di rumah tahanan. Padahal, bagi tahanan sekelas Gayus, sulit menerima pelesiran kreator rekayasa pajak ini hanya dilakukan petugas lapangan. Perkembangan terkini, terlihat ada upaya membelokkan skandal Gayus menjadi kasus yang lebih sederhana yaitu sekadar penerimaan gratifikasi. Upaya membelokkan skandal Gayus dengan menggunakan alasan paling klasik yaitu tidak terdapat kerugian keuangan negara. Jika diikuti lebih jauh, langkah membelokkan skandal ini sudah dapat dilacak dengan adanya upaya mengalihkan rekening tidak wajar Gayus menjadi kasus PT Surya Alam Tunggal dengan jumlah kerugian negara Rp570.952.000.

Karenanya, tidak perlu heran jika tiba-tiba skandal Gayus beralih ke ranah gratifikasi. Melihat upaya melindungi pihak yang terkait dengan skandal Gayus, berkembang pemikiran agar KPK melakukan langkah sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU No 30/2002). Dalam hal ini, Pasal 6 UU No 30/2002 memberi ruang bagi KPK melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Bahkan, begitu upaya melindungi banyak pihak yang tersangkut dengan skandal Gayus semakin nyata, publik mendesak KPK untuk melakukan pengambilalihan. Bukan tanpa alasan yang kuat, Pasal 8 Ayat (2) UU No 30/2002 menegaskan: KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian.

Dengan dasar itu, siapa pun tidak dapat mencegah KPK mengambil alih penyelesaian kasus pajak Gayus. Melihat kesaktian Gayus dan penyuapan yang dilakukan selama dalam tahanan, alasan yang dipersyaratkan Pasal 9 UU No 30/3002 telah terpenuhi. Setidaknya syarat yang terpenuhi adalah penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya dan penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.

Asa Melawan Korupsi

Kuatnya desakan agar penyelesaian skandal Gayus diambil alih oleh KPK dapat menjadi gambaran bahwa asa untuk memberantas korupsi masih ada di tingkat publik. Untuk itu, lembaga penegak hukum seharusnya tidak membunuh asa tersebut. Cara yang paling mungkin memelihara asa tersebut adalah menuntaskan semua kasus yang terbengkalai. Khusus dalam kasus Gayus, jalan terbaik adalah memberi ruang kepada KPK melanjutkan proses hukum. Melihat perjalanan skandal ini, kepolisian dapat dinilai telah kehilangan kredibilitas. Rasanya, tidak mungkin membiarkan kepolisian meneruskan penuntasan skandal ini di tengah kecurigaan publik.

Untuk itu, kepolisian dengan penuh kerelaan harusnya mau menyerahkan kepada KPK. Sekiranya hal itu tidak terwujud, dengan inisiatif sendiri KPK harus mengambil alih skandal Gayus. Terkait dengan hal itu, Pasal 8 Ayat (2) UU No 30/2002 menegaskan: KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan kepolisian atau kejaksaan. Pengambilalihan oleh KPK menjadi keniscayaan guna mempertahankan asa penegakan hukum terutama dalam agenda pemberantasan korupsi. Keberanian mengambil alih penyelesaian skandal Gayus merupakan salah satu batu uji saja.

Sebagai sebuah lembaga yang menyandang predikat extraordinary dalam memberantas korupsi, dalam skandal rekayasa pajak ini, ujian KPK lebih pada penilaian bagaimana kemampuan dan kemauan membongkar semua jejaring yang selama ini amat memberikan perlindungan terhadap Gayus. Merujuk pandangan Bambang Widodo Umar, misalnya, tugas paling berat adalah menemukan perusahaan yang memberi suap kepada Gayus (SINDO, 6/12). Menilik berkembangnya situasi terakhir, sulit berharap kepada polisi untuk menelusuri perusahaan-perusahaan menggunakan jasa Gayus. Bagi KPK, asa pemberantasan korupsi tidak hanya terkait dengan kasus Gayus.

Di mata publik, KPK masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Di antara pekerjaan tersebut adalah penuntasan megaskandal suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Meskipun KPK telah menetapkan penerima suap menjadi tersangka, sampai sejauh ini publik masih menunggu kapan pemberi suap diberikan status hukum yang sama. Bagaimanapun, tugas KPK tidak hanya menemukan pemberi suap tetapi juga menelusuri asal uang yang digunakan untuk melakukan penyuapan. Tanpa itu, langkah yang dilakukan KPK akan tetap sulit keluar dari gejala tebang-pilih. Selain itu, publik juga masih menunggu upaya konkret KPK dalam membongkar skandal Bank Century. Banyak kalangan percaya, jalan mengungkapkan megaskandal ini pasti jauh melelahkan.

Namun dengan maksud menjaga asa dalam memberantas korupsi, KPK harus melakukan langkah dan terobosan besar guna menyelesaikan skandal Bank Century. Sekiranya ini tidak bisa diselesaikan, selain potensial menjadi bom waktu, untuk jangka panjang penegakan hukum akan semakin sulit menyentuh skandal-skandal besar. Hal itu berpotensi membunuh asa penegakan hukum terkhususnya agenda memberantas korupsi. Dengan argumentasi itu, pergantian dan/atau pengisian petinggi penegak hukum yang baru saja dilakukan harus mampu menumbuhkan asa memberantas korupsi.

Perlu disadari, bermain-main dengan amanat yang diberikan, daya juang memberantas korupsi hampir dapat dipastikan akan meluruh dan kemudian menghilang bersama perjalanan waktu. Jika itu terjadi, waktu ke depan akan menjadi hari bersulang bagi para koruptor.(*)

Prof Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur PUSaKO FH Unand, Padang

Opini Okezone 8 Desember 2010