Enam tahun silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kasus Munir adalah ujian bagi sejarah kita (test of our history).
Namun, lambat laun gema suara tersebut semakin meredup seiring dengan munculnya berbagai persoalan baru-baru ini.
Barangkali tidak banyak yang ingat, tanggal 8 Desember adalah hari yang bersejarah, tidak hanya untuk Suciwati (istri almarhum Munir) atau para korban pelanggaran HAM yang pernah diadvokasi Munir, tetapi juga untuk segenap bangsa ini. Kenapa? Karena 45 tahun yang lalu lahir seorang bayi yang diberi nama Munir Said Thalib.
Sumbangsih Munir untuk fondasi demokrasi dan reformasi di negeri ini tentu tidak perlu diragukan lagi. Munir adalah satu dari sekian pemberani yang mewakafkan dirinya untuk mendobrak pemerintahan yang tiran dan pelanggar HAM. Salah satu warisannya yang kita bisa rasakan hingga hari ini adalah kebebasan sipil politik.
Tulisan ini ditujukan untuk menjadi audit ingatan kita terkait komitmen dan janji Presiden SBY untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir, sekaligus mengingatkan pentingnya perlindungan bagi para pembela HAM yang tak kunjung menjadi perhatian negara.
Komitmen Presiden
Tak lama setelah publik tahu bahwa Munir meninggal akibat diracun dengan arsenik, pada 7 September 2004, Presiden SBY segera mengeluarkan pernyataan resmi bahwa kasus Munir adalah test of our history. Setelah itu, Presiden menerbitkan Keppres No 111/2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir dan diperpanjang dengan Keppres No 6/2005.
Pada fase ini, harapan kita kala itu sempat membubung cukup tinggi dan banyak pihak berharap kasus Munir mampu menjadi pintu gerbang terbongkarnya beberapa kasus kejahatan negara lainnya. Anggota TPF kasus Munir yang terdiri dari unsur kepolisian dan kalangan masyarakat sipil menunjukkan kinerja yang cukup baik, bahkan temuan-temuannya jadi tulang punggung bagi polisi ketika menjerat Polycarpus Budihari Priyanto.
Namun sayang, setelah laporan TPF Munir diserahkan kepada Presiden SBY, praktis hasilnya tidak pernah disampaikan secara utuh kepada publik sehingga segenap masyarakat Indonesia tidak mengetahui secara detail konstruksi konspirasi kasus pembunuhan Munir.
Harapan kembali membubung ketika putusan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung pada 25 Januari 2008 menghukum Polycarpus dengan hukuman penjara 20 tahun. Berbekal putusan PK tersebut, Kepolisian Negara RI kembali melanjutkan kasus ini dan menjerat Muchdi Purwopranjono, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), menjadi tersangka berikutnya.
Namun sayang, persidangan yang diharapkan mampu menjadi kunci pembuka kotak pandora kasus Munir kembali harus menemui jalan buntu. Pada 31 Desember 2008, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Muchdi PR, disusul 15 Juni 2009 majelis hakim kasasi kembali membebaskan Muchdi PR dengan alasan tidak ditemukan bukti cukup.
Prospek pengungkapan kasus Munir semakin temaram seiring dengan belum adanya kejelasan dari Kejaksaan Agung untuk mengajukan PK. Proses ini menjadi sangat vital bagi kelanjutan pengungkapan kasus Munir karena jika Muchdi PR tetap divonis bebas, akan menghambat pengembangan kasus ini.
Tidak hanya itu, buruknya prospek pengungkapan kasus Munir juga akan berdampak pada sektor lainnya, antara lain reformasi institusi BIN. Terungkapnya identitas Polycarpus BP dalam proses persidangan sebagai anggota BIN adalah tamparan bagi transisi demokrasi yang sedang kita rintis saat ini. Hasil akhir kasus Munir adalah nilai rapor Presiden SBY mengingat kasus ini juga menjadi sorotan dunia internasional.
Seharusnya, Presiden sesegera mungkin mengambil langkah-langkah strategis, salah satunya membuka kembali laporan TPF Munir, selanjutnya sesegera mungkin menyampaikan kepada publik hasil dan rekomendasi laporan tersebut. Bebasnya Muchdi PR sekaligus menandakan lemahnya dukungan politik dari pemerintah terhadap proses hukum kasus Munir. Kejaksaan gagal menghadirkan saksi kunci yang mengetahui relasi Polycarpus dengan BIN.
Saat ini, seiring dengan terpilihnya Timur Pradopo sebagai Kepala Polri dan Basrief Arief sebagai Jaksa Agung, publik kembali menaruh harapan agar Presiden membuktikan komitmennya terhadap kasus Munir.
Melindungi pembela HAM
Pembunuhan Munir semakin menambah panjang daftar para pembela HAM yang dibunuh, baik sebelum maupun setelah reformasi. Sebelumnya kita mengenal nama-nama seperti Marsinah, aktivis buruh; Udin, wartawan Bernas; Amir Biki, tokoh masyarakat Priok; BR Norma Irmawan, aktivis mahasiswa; serta banyak lagi yang menjadi korban.
Tidak hanya pembunuhan dan kekerasan yang rentan dialami oleh para pembela HAM, tuntutan pencemaran nama baik juga menjadi salah satu senjata untuk membungkam para pembela HAM. Usman Hamid, aktivis Kontras, dituduh mencemarkan nama baik Muchdi PR.
Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut dan negara tidak boleh berdiam diri melihat praktik kekerasan dan kriminalisasi yang semakin menjamur.
Belajar dari banyak pengalaman itu, setidaknya pemerintah harus sesegera mungkin memikirkan mekanisme perlindungan bagi para pembela HAM. Salah satunya, mengacu pada Resolusi Majelis Umum PBB, 9 Desember 1998, khususnya dalam Pasal 1 disebutkan: Setiap orang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan HAM dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional.
Perlindungan bagi pembela HAM semestinya harus ditempatkan dalam skala prioritas utama. Namun sayangnya, tak sedikit peraturan perundangan yang berpotensi menghambat perlindungan bagi pembela HAM.
Berkaca pada situasi di atas, tidak ada alasan lagi bagi Presiden SBY beserta jajarannya untuk mengatakan tidak atau menunda bahkan membiarkan kasus Munir. Pemerintah perlu memberikan jaminan perlindungan bagi para pembela HAM agar tidak rentan menjadi korban kekerasan, kriminalisasi, bahkan pembunuhan.
Pembentukan desk khusus pembela HAM di Komnas HAM adalah sebuah kebutuhan yang mendesak untuk direalisasikan. Desk ini selanjutnya dapat berperan aktif untuk membidani lahirnya Undang-Undang Perlindungan bagi Pembela HAM.
Di pengujung tahun 2010 dan 45 tahun kelahiran Munir, setidaknya pemerintah dapat memberikan kado indah di tengah keringnya prestasi penegakan hukum dan HAM, dengan menetapkan tanggal 8 Desember sebagai Hari Pembela HAM Nasional. Jika hal ini dilakukan, tentu akan berdampak sangat positif pada posisi Indonesia yang belakangan citranya menguat di kawasan regional dan internasional. Semoga harapan ini dapat diwujudkan.
Chrisbiantoro Anggota Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)Opini Kompas 11 Desember 2010