10 Desember 2010

» Home » Kompas » Sentimental Versus Bola Salju Timnas

Sentimental Versus Bola Salju Timnas

He who finds diamonds must grapple in mud and mire because diamonds are not found in polished stones. They are made. Henry B Wilson
Ini pelajaran dari keberhasilan tim nasional sepak bola Indonesia yang dengan mengejutkan melumat tiga tim dengan sempurna: Malaysia 5-1, Laos 6-0, dan Thailand 2-1.
Pelajaran ini sebetulnya sangat berharga bukan hanya bagi PSSI, tetapi juga bagi organisasi lain, baik korporasi maupun lembaga publik. Menjelang pertandingan melawan negara Gajah Putih beredar ajakan bernada nasionalisme sentimental, melalui layanan pesan pendek atau SMS maupun media lain, berbunyi ”Ayo dukung TIM NASIONAL INDONESIA; Indonesia vs Thailand; dress code: BATIK”.

Sebutan nasionalisme sentimental sangat tepat karena perilaku ”nasionalisme” tersebut sangat tergantung pada keadaan. Saat suasana mendukung, rasa nasionalisme tiba-tiba membeludak. Namun, pada saat terpuruk, setiap orang kehilangan pegangan dan mengeluh tanpa juntrungan. Apalagi bila pimpinan organisasi tak memiliki visi yang kuat, jelas, dan kehilangan kepercayaan dari pemangku kepentingan, termasuk masyarakat.
Euforia masyarakat sedang naik bukan sekadar karena keberhasilan tim sepak bola. Sebut saja keberhasilan lain seperti empat medali emas dari kapal dayung di Asian Games dan Chris John yang tetap mempertahankan sabuk juara dunia. Di luar olahraga, banyak medali emas dari anak-anak kita di olimpiade ilmu pengetahuan tingkat dunia.
Bola salju keberhasilan
Kesuksesan melahirkan dan mendorong kesuksesan berikutnya. Keberhasilan menuju tangga juara olahraga mendorong keberhasilan ekonomi, yang pada gilirannya akan menjadi bola salju keberhasilan. Keberhasilan kejuaraan dan ekonomi menjadi modal untuk mendorong peningkatan kinerja bidang kompetisi, teknologi, dan sosial budaya bidang atau sektor terkait.
Yang penting adalah bagaimana pengelola organisasi menemukan faktor pendorong bergulirnya bola salju untuk menjadi trigger pengembangan berikutnya. Glazer, Kanniainen, dan Poutvaara, dalam buku Initial Luck, Status-Seeking, and Snowball Lead to Corporate Success and Failure, menekankan, kisah sukses, sekecil apa pun, mirip bola salju untuk melahirkan sukses berikutnya. Di antara beberapa faktor, salah satu yang penting adalah identitas diri.
Kebanggaan identitas seseorang, menurut Glazer dan kawan-kawan, bisa berkembang dari status dan budaya. Dalam kaitan status, seorang pemangku kepentingan merasa bangga menjadi bagian dari organisasi atau masyarakat yang pantas dibanggakan. Dalam hal budaya, keberhasilan yang terus-menerus dipromosikan akan membentuk kebiasaan dan pola pikir ”berprestasi”. Dan kebanggaan tersebut mendorong setiap pemangku kepentingan berjuang untuk berprestasi juga supaya merasa ”pantas” menjadi anggotanya.
Rasa nasionalisme sentimental bisa dengan mudahnya berubah begitu drastis. Bandingkan, misalnya, dengan beberapa waktu lalu saat masyarakat mengalami berbagai kejadian yang menyedak perasaan dan perhatian, yaitu bencana demi bencana. Belum lagi korupsi dan isu mafia hukum yang melibatkan aparat pajak, lembaga penegak hukum, dan ada kekhawatiran campur aduk dengan dunia politik.
Glazer cs menyadari, kegagalan bisa menjadi bola salju untuk kegagalan berikutnya. Setiap kegagalan menyebabkan pemangku kepentingan ingin menghindar, tidak mengakui bahwa dirinya adalah bagian. Dan bagi individu yang merasa ”berkualitas” ada dorongan untuk keluar dari organisasi atau masyarakat tersebut, bila dapat. Itulah sebabnya, tidak mengherankan bila banyak orang malu menjadi orang Indonesia atas pemberitaan kegagalan prestasi, persoalan korupsi, kegagalan penyelesaian persoalan bencana alam, maupun bencana karena ulah oknum.
Belajar dari kajian Glazer cs, para pimpinan baik timnas maupun organisasi lainnya, perlu memerhatikan empat kunci pokok berikut. Pertama, tata kelola organisasi hukumnya wajib untuk memastikan transparansi, perilaku yang bertanggung jawab, dan akuntabel dalam bertindak dan membuat keputusan. Tanpa tata kelola yang baik kepercayaan masyarakat tidak akan pernah diperoleh secara permanen.
Kedua, membangun kebanggaan yang kuat, bukan sekadar kebanggaan sentimental, tetapi fundamental. Ketiga, mengembangkan path dependence berupa desain atau sistem jenjang prestasi untuk menjamin peningkatan kualitas dan adanya proses self reinforcing untuk terus berkembang. Dan keempat, mesti ada story teller untuk membentuk perilaku melalui informasi tentang keberhasilan organisasi. Salah dalam mengelola keempat faktor kunci tersebut menjadi sumber kegagalan utama organisasi, dan pemangku kepentingan akan semakin apatis.
Bramantyo Djohanputro Dosen Corporate Finance dan Enterprise Risk Management PPM School of Management
OPini Kompas 11 Desember 2010