FENOMENA Gayus bisa jadi akan tercatat dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia sebagai sebuah never ending stories. Mantan pegawai golongan III A Ditjen Pajak tersebut mampu menampakkan diri tidak hanya sebagai sosok yang tampil sebagai aktor, tetapi pada saat bersamaan bisa sekaligus tampil sebagai sutradara andal.
Dia selalu saja punya kartu as yang menjadikan siapa saja yang pernah berhubungan dengannya bertekuk-lutut dibuatnya. Advokat yang selalu tampil klimis dengan mobil mentereng, polisi dengan seragam yang gagah dilengkapi pistol di pinggang, jaksa dengan baju dinas yang siap untuk membuat takut orang, hingga yang mulia hakim dengan toga kebesaran yang penuh wibawa, semua dibuatnya tidak berdaya.
Apa yang dimainkan oleh Gayus pada polisi, jaksa, hakim, dan pengacara bahkan petugas rutan, sesungguhnya bukan hal baru, hanya saja karena tidak melibatkan kasus dan figur yang fenomenal maka dianggap lumrah, apalagi di tengah-tengah keterbatasan anggaran dan kesejahteraan aparat, seolah-olah menjadi alasan pembenar praktik penyimpangan tersebut. Patologi birokrasi yang sudah sedemikian sistemik ini terjaga rapi karena masing-masing berlindung di balik doktrin diferensiasi fungsional, karena masing-masing subsistem tidak bisa saling mengontrol.
Di sisi lain, peristiwa Gayus menunjukkan secara gamblang bahwa bekerjanya hukum di negeri ini benar-benar diwarnai oleh cara-cara transaksional, artinya setiap tahap penanganan perkara, setiap kebijakan penanganan perkara mulai penyidikan, penuntutan, persidangan hingga di rutan/pemasyarakatan dapat ditransaksikan. Dengan dapat ditransaksikan proses penanganan perkara berarti ada harga yang disepakati dan ada nominal yang harus dibayarkan.
Dalam perspektif birokrasi, transaksionalnya penegakan hukum menunjukkan bahwa reformasi hukum yang dijalankan di lembaga penegak hukum belum menyentuh akar persoalan. Di sisi lain juga mengindikasikan bahwa dalam diri aparat penegak hukum belum terinternalisasi nilai-nilai perlunya paradigm shift dalam penegakan hukum. Semuanya masih berjalan as usual dan cenderung pro-status quo.
Mindset Lama
Pemikiran ini mungkin dinilai terlalu ekstrem, tetapi cobalah perhatikan tragedi-tragedi hukum yang hampir tiap hari memenuhi panggung hukum Indonesia. Peristiwa di tingkat nasional seperti penyanderaan terhadap KPK dalam bentuk penundaan proses seleksi pimpinan KPK, kriminalisasi pimpinann KPK berikut penghentian penuntutan hingga deponeering yang berlarut-larut, peristiwa Gayus hingga Prita, dan tragedi hukum yang menimpa kaum papa seperti pencuri kakao, pencuri randu dan sebagainya senantiasa menghiasi panggung penegakan hukum.
Apakah dunia hukum harus dibiarkan untuk dijejali dengan peristiwa yang mengusik kebenaran keilmuan dan hati nurani itu? Salah satu akar persoalan munculnya tragedi hukum, reformasi penegakan hukum yang tidak menyentuh akar persoalan, penegakan hukum yang transaksional dan lain-lain adalah kesalahan dalam menempatkan orang dalam jabatan strategis atau di pucuk-pucuk pimpinan lembaga penegak hukum.
Tanpa kita sadari, pucuk-pucuk lembaga penegak hukum di Indonesia sebagian besar masih berada di tangan figur-figur lama yang menjadi bagian dari kekuasaan masa lalu atau setidaknya masih tampil dengan mindset lama yang jauh dari semangat reformasi. Bahwa benar sebagian di antaranya adalah orang baru, tetapi orang baru itu sesungguhnya adalah stok lama yang masih terkooptasi oleh berbagai kepentingan. Karena itu adalah naif kalau kita memberikan tanggung jawab kepada orang yang seharusnya diganti dalam jabatan strategis, apalagi melakukan reformasi birokrasi. Dengan kata lain melakukan perubahan dengan cara lama, bahkan dengan orang-orang lama.
Kalau benar-benar ingin menghentikan karut-marut hukum seperti dalam fenonema Gayus, perlu langkah berani untuk memotong generasi hukum, yaitu dengan menampilkan aparat penegak hukum yang relatif lebih bersih, berani, jujur, cerdas, dan bukan menjadi bagian dari masa lalu. Bukan hal tabu dan rakyat Indonesia tidak dirugikan dengan tampilnya penegak hukum yang progresif dari generasi yang lebih muda. (10)
— Doktor Yudi Kristiana SH MHum, jaksa, pengajar pada Program Pascasarjana UNS. Tulisan ini pendapat pribadi
wacana suara merdeka 18 november 2010