20 September 2010

» Home » Kompas » Kenapa Takut Jakgung Nonkarir?

Kenapa Takut Jakgung Nonkarir?

STAF khusus presiden bidang hukum Denny Indrayana belum lama ini berkomentar yang isinya mendukung tokoh nonjaksa menjabat posisi jaksa agung. Dia tidak mempermasalahkan, apakah jaksa agung berasal dari jaksa karir atau nonkarir. Jaksa agung, menurut undang-undang, boleh dari kalangan karir atau nonkarir. Yang kita pastikan, pilih jaksa agung itu yang nonkasir.

Istilah nonkasir yang diungkap Denny sebenarnya guyon parikeno, namun benar-benar mengenai sasaran. Maksud nonkasir adalah jangan sampai memilih jaksa agung yang biasa menerima suap dalam bentuk apa pun. Presiden SBY mengisyaratkan bahwa dua calon pimpinan KPK, Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, bisa mengisi pos jaksa agung bila DPR ternyata tidak memilihnya jadi pimpinan KPK.

Sejak itu pula, merebak wacana saatnya jaksa agung dari eksternal Kejagung. Namun, 8.000 jaksa kompak menolak jaksa agung dari luar korps Adhyaksa. Setelah itu, disusul Jaksa Agung Hendarman Supandji yang mengusulkan delapan nama petinggi Kejagung kepada presiden agar dipilih untuk menggantikannya.

***

Terlepas dari perlawanan yang diajukan oleh komunitas jaksa karir tersebut, selayaknya mereka melakukan refleksi. Alternatif publik terhadap jaksa nonkarir untuk menjadi orang nomor satu di kejaksaan merupakan gugatan bahwa lembaga kejaksaan selama ini masih sarat masalah atau belum senyap dari penyakit. Karena itu, mencari satria piningit yang diandalkan memimpin kejaksaan sulit.

Memang faktanya, institusi kejaksaan masih dihadapkan pada masalah demoralisasi profesi. Keterlibatan beberapa oknum jaksa dalam pelanggaran kode etik profesi dan kriminalisasi telah menempatkannya sebagai institusi yang mengidap krisis kredibilitas. Akibat krisis kredibilitas itu, satria piningit yang ditunggu oleh publik belum menampakkan wajahnya dengan jelas.

Sekarang masih terasa berat menyebut kejaksaan mempunyai integritas dan independensi atau benar-benar teguh dan profesional dalam menjaga profesinya. Terbukti, lembaga itu sudah "mengadili" cukup banyak elemen internal kejaksaan yang terlibat penyalahgunaan profesi hingga tindakan indisipliner.

Sebanyak 100 orang jaksa dihukum berat terkait dengan pelanggaran disiplin dan etika sejak Januari hingga Juni 2010. Jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2009, mulai Januari sampai Desember, tercatat 93 jaksa dihukum berat. Pada 2008, jumlahnya juga 93 orang. Padahal, setahun sebelumnya (2007), jumlah jaksa yang dikenai sanksi 28 orang.

Secara keseluruhan, pemberian hukuman ringan, sedang, dan berat bagi pelanggaran yang dilakukan jaksa juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya, Januari sampai Desember 2007, jumlah jaksa yang dihukum 127 orang. Sementara itu, pada 2008, jumlah jaksa yang dihukum 245 orang, kemudian 2009 jumlahnya 270 orang. Pada 2010 hingga Juni saja, total jaksa yang diberi sanksi mencapai 227 orang.

Kasus-kasus tersebut setidaknya membenarkan stigmatisasi publik selama ini yang menyebut bahwa kejaksaan masih menjadi lembaga yang gagal atau setengah hati dalam menjalankan loyalitas profesinya. Peran sebagai pengawal bekerjanya hukum secara yuridis memang sudah dipahaminya, tetapi "pengawalan" dalam realitas law in action belum dijalani dengan baik.

Pesan keadilan publik yang direpresentasikan kepadanya belum sampai dengan benar akibat ketidakbenaran sepak terjang yang sering dijadikan opsi. Sebagai segmentasi dari "rasul" penegakan hukum, jaksa seharusnya tidak menggelincirkan dirinya dalam pemenangan demoralisasi dan kapitalisasi profesi. Soal itu, Aristoteles mengingatkan, "semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kejujuran, kemanusiaan, dan keadilan."

Kejaksaan belum berusaha secara "radikal" untuk memperbaiki citranya. Apa yang dilakukannya terfokus mengejar kepentingan materialistis. Keterlibatannya dalam ranah kriminalisasi berelasi dengan besarnya syahwat memburu dan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebanyak-banyaknya. Kejaksaan masih bertahan sebagai bagian dari gaya pekoncoan dan sindikasi dengan institusi penegak hukum lainya yang membuatnya mendapatkan rapor buruk.

***

Sejatinya, kejaksaan merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang mendapatkan mandat besar dan istimewa dari rakyat untuk menyidik, mendakwa, dan menuntut perkara-perkara khusus yang berkategori sebagai kejahatan publik (public crime). Salah satu bentuk kejahatan publik yang menjadi kewenangan atau kompetensi utama kejaksaan adalah kasus korupsi.

Korupsi yang dikategorikan sebagai salah satu jenis "kejahatan kerah putih" (white collar crime) dan "teroris kontemporer" telah menghadapkan kejaksaan dalam posisi kesulitan menunjukkan keberanian moral atau memilih menjatuhkan opsi "setengah hati". Kekuatan koruptor telah membuatnya  mengidap kegagapan untuk menunjukkan kinerja maksimal. Akibat sistemik dan terorganisasinya kekuatan koruptor, termasuk memasuki wilayah profetis kejaksaan, wajah negara hukum semakin compang-camping.

Kejaksaan merupakan ujung tombak yang menentukan bekerjanya hukum dalam penanganan kasus kejahatan publik. Ketika kejaksaan membuat langkah tidak populer atau menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan norma hukum dan keadilan publik, apa yang dilakukan kejaksaan itu benar-benar semakin tidak agung yang mengakibatkan lonceng kematian keagungan hukum berdentang keras, termasuk lonceng kematian kredibilitas pada jabatan Kejakgung.

Dalam tataran tersebut, jati diri hukum semakin kehilangan sakralitasnya sebagai substansi fundamental dan sebaliknya bisa memasuki ranah keburamannya. Selain itu, kejaksaan secara tidak langsung telah menciptakan bentuk pembelajaran hukum (learning of legal) yang salah kepada masyarakat, yakni budaya melawan dan mempermainkan hukum. (*)

*) Abdul Wahid, dekan Fakultas Hukum Unisma Malang dan pengajar program pascasarjana
Opini Kompas 21 September 2010