20 September 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pembangunan Berbasis "Governance"

Pembangunan Berbasis "Governance"

Oleh Dede Mariana
Transisi demokrasi berimplikasi juga terhadap pemerintahan di daerah. Tuntutan terciptanya good local governance menjadi sulit dihindari. Berbarengan dengan itu tumbuh pula serbarupa problematika di daerah. Tuntutan dan fakta itu tidak serta merta harus dianggap sebagai justifikasi bagi rendahnya kinerja pemerintahan di daerah, tetapi justru karena tuntutan dan fakta itulah sistem pemerintahan di daerah harus semakin sigap menyelesaikan problem yang muncul akibat konsekuensi dari transisi demokrasi, terutama dalam menyelenggarakan program-program pembangunan yang berbasis kepada konsep governance.
Dalam khazanah ilmu sosial, makna pembangunan kerap kali dilihat dari dua paradigma besar: modernisasi yang mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan, serta paradigma ketergantungan yang mencakup teori-teori keterbelakangan, ketergantungan, dan sistem dunia.

 
Dalam konteks Jawa Barat, pembangunan berbasis governance semestinya dijadikan salah satu terobosan yang patut diperhitungkan, sebab keterlibatan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, tidak bisa tidak, telah menjadi bagian integral bagi proses pembangunan itu sendiri.
Kepentingan rakyat
Pembangunan yang berpusat kepada kepentingan rakyat, menurut David C. Korten dalam Menuju Abad ke-21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global (Terjemahan Lilian Teja Sudhana, 1993 : 111) adalah (1) sumber daya fisik bumi bisa habis. (2) Kapasitas produksi dan daur ulang sistem ekologi bisa ditingkatkan melalui intervensi manusia, tetapi peningkatan ini tidak bisa melampaui batas tertentu. (3) Pemerintah menurut kodratnya memberikan prioritas kepada kepentingan orang-orangnya yang memegang kekuasaan. (4) Kekuasaan politik dan ekonomi sangat kuat terkait sehingga yang memiliki salah satu kekuasaan akan lebih mampu memakai kekuasaan yang lain. (5) Pasar merupakan mekanisme alokasi penting, tetapi semua pasar tidak sempurna dan sesuai hakekatnya akan memberikan prioritas kepada keinginan golongan kaya, bukan kepada kebutuhan golongan miskin. (6) Masyarakat yang adil, berkelanjutan, dan mencakup semua pihak merupakan landasan penting bagi sistem global yang adil, berkelanjutan, dan inklusif. (7) Ekonomi lokal yang diversifikasi dan yang dalam mengalokasi sumber daya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan anggota masyarakat, akan meningkatkan rasa aman masyarakat dan ketahanan serta stabilitas ekonomi nasional dan global yang lebih besar. 8) Apabila rakyat menguasai sumber daya lingkungan hidup lokal, tempat mereka menggantungkan hidup dan anak cucu mereka, mereka akan menjalankan tugas pengawasan dengan lebih bertanggung jawab dari pemilik yang tidak menetap di tempat itu.
Syarat bagi tercapainya good governance adalah transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintahan yang partisipatif bagi masyarakatnya, dan akuntabilitas. Implementasi akuntabilitas dan pemeriksaan eksternal sangat dibutuhkan sebagai salah satu pilar bagi terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government). Agar pemerintah mampu melaksanakan fungsinya dengan bercirikan good governance, perlu diciptakan kerangka administrasi publik yang mengandung unsur terciptanya sistem kooperasi serta pendekatan pelayanan publik yang lebih relevan bagi masyarakat.
Pada sektor publik, ketika negara dan sistem pemerintah menjadi tumpuan pelayanan atas warga negara yang harus memperoleh jaminan atas hak-haknya, penataan manajemen kelembagaan sektor ini bukanlah persoalan sederhana. Dalam hal ini, revitalisasi birokrasi dan cara-cara menemukan kembali penataan sistem manajemen publik dalam mengantisipasi tuntutan untuk melayani sektor swasta serta rakyat pada umumnya menjadi krusial.
Dari paparan tersebut terlihat jelas, konsep pembangunan yang bertumpu kepada kepentingan rakyat, hanya mungkin dilaksanakan apabila konsep governance telah dipahami dan dijalankan pemerintah.
Dalam konteks Jawa Barat, hal itu mengacu kepada kemampuan pemda menampung dan mengartikulasikan bahkan menagregasikan tuntutan masyarakat di dalam gerak dan proses pembangunan dengan tidak mengurangi dan mengubah pola pikir birokrasi menjadi lebih komersial, tetapi tetap pada upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Dengan profesionalisme aparat dan keberdayaan birokrasi diharapkan mampu melayani publik dalam pembangunan.
Munculnya fenomena baru mengenai perubahan peran pemerintah sebagai motivator, dinamisator, dan fasilitator pembangunan, serta sumber daya, mendorong aparatur pemda melaksanakan program-program pembangunan yang berorientasi kepada aspirasi rakyat, baik yang tersurat maupun yang tersirat, baik yang tekstual maupun yang kontekstual.
Pembangunan tidak lagi harus top down yang lebih menguntungkan kelompok elite. Rancangan pembangunan yang bersifat bottom up harus digalakkan, sambil pada saat bersamaan ditingkatkan peran dan fungsi pengawasan, baik secara internal maupun eksternal. Alasannya, tidak menutup kemungkinan program pembangunan yang dirancang secara bottom-up pun gagal manakala kinerja pengawasan bersifat administratif dan normatif belaka. Semoga rakyat segera mendapat buah demokrasi, yakni pembangunan berbasis governance yang menyejahterakan rakyat banyak.***
Penulis, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 21 September 2010