30 Agustus 2010

» Home » Suara Merdeka » Warisan Nurcholish Madjid

Warisan Nurcholish Madjid

INTELEKTUAL dan cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur), lima tahun lalu (29 Agustus 2005) berpulang ke persemaian terakhir rumah manusia. Karya serta keteladanan hidupnya banyak memberi inspirasi pada banyak orang, baik kalangan tua maupun muda, sehingga ia digelari sebagai guru bangsa.

Pada masa sekarang makin sulit menemukan tokoh yang bisa menjadi pegangan hidup seperti Cak Nur. Hanya tersisa tokoh  yang masih dalam hitungan jari tangan, seperti Buya Syafi’i Ma’arif, Quraish Shihab, dan yang lainnya, setelah Gus Dur juga berpulang, bangsa ini merindukan sosok tokoh yang bisa menjadi khidmat.       


Apa warisan penting Cak Nur bagi bangsa ini? Fatsoen dalam beragama, itulah kira-kira salah satu peninggalan (legacy) dari Cak Nur, sekiranya harus menjadi cerminan bagi generasi muda muslim pembaru saat ini. Dinamika intelektual yang ada di kalangan muda muslim kadang menerobos secara bebas atau bahkan mendobrak batasan normatif keagamaan secara radikal tanpa melihat tradisi yang sudah langgeng dalam pola keberagamaan masyarakat.

Pada Kajian Paramadina medio 2003 di Kampus Gatot Soebroto, dalam pembuka diskusinya, Cak Nur mengkritik pendekatan pembaruan Islam yang dilakukan Ulil Abshar-Abdalla. Pada 18 November 2002, bertepatan pada hari pertama puasa Ramadan, artikel Ulil dimuat Kompas berjudul ”Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, tulisan itu segera menyulut kemarahan beberapa pemuka muslim, bahkan Ulil diteror dan diancam hukuman mati.

Cak Nur menganggap, kesalahan Ulil adalah ketika dia mengemukakan pendapat-pendapat keagamaannya terkesan tidak menggunakan bahasa-bahasa tekstual yang santun di mana lebih bersifat akademis, bahasa tekstual Ulil terlalu provokatif, dan terlalu simplistik karena menjelaskan persoalan penting menyangkut isu-isu pembaruan Islam, tapi hanya dituangkan dalam opini koran yang bersifat publis bisa dibaca semua kalangan muslim.

Dalam kesempatan diskusi di Paramadina itu, Cak Nur seraya berpesan, supaya dalam mengemukakan pandangan keagamaan yang berpretensi memiliki ide-ide pembaruan, dijelaskan secara santun dan jika perlu disuarakan secara terbatas, misalnya hanya dalam diskusi terbatas, atau di kalangan akademis, aktivis, atau kalangan muslim kota (urban) yang lebih terbuka menerima gagasan pembaruan.

Lewat kritikannya itu pula, saya menangkap konsistensi atau keistikamahan Cak Nur dalam menghembuskan gagasan-gagasan pembaruan di Indonesia, yaitu secara top-down. Atau ”membatasi” terlebih dulu gagasan pembaruannya hanya untuk kalangan tertentu, seperti di kalangan diskusi terbatas, akademisi, aktivis, atau muslim urban yang menerima keterbukaan.
Iklim Intelektualitas Bahkan semenjak awal, gagasan pembaruan Islam Cak Nur yang dikemukakan di Jalan Menteng Raya Nomor 58 Jakarta Pusat tahun 1970 dalam rangka halalbihalal organisasi muda Islam, hanya untuk dikonsumsi kalangan terbatas.

Dari sisi itu, saya menangkap sebuah alasan, mengapa gagasan pembaruan Cak Nur seperti bersifat ”eksklusif”? Itu mungkin dikarenakan gagasan pembaruan yang sensitif, yang intinya, gerakan pembaruan menekankan perlunya supaya kaum muslim lebih banyak mempertimbangkan rasionalitas dalam mendekati agama, sementara jika bicara rasionalitas, itu merupakan suatu yang sangat tabu dibicarakan di tengah tradisi masyarakat muslim umumnya.

Kesan eksklusivitas itulah rupanya digunakan Nur Khalik Ridwan sebagai pintu masuk mengkritik Cak Nur lewat karyanya berjudul ”Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur” (edisi 2003). Intinya, Nur Khalik menyayangkan pendidikan pluralisme sebagai bagian dari isu pembaruan Cak Nur, hanya dikonsumsi untuk kalangan tertentu atau masyarakat muslim urban kelas menengah atas.

Tapi saya menduga kuat, itu hanya asumsi atau kesan yang ditangkap Nur Khalik dalam menilai Cak Nur. Meskipun sangat disayangkan, kritik yang dilakukan Nur Khalik lebih tendensius mengarah ke karakter Cak Nur pribadi, bukannya mengkritik secara pure dari gagasannya.

Itulah pola pembangunan iklim intelektualitas yang sekiranya perlu ditiru bagi kaum muda muslim sekarang yang selama ini bergiat dalam wacana tentang pemikiran dan gerakan pembaruan Islam. Seperti halnya ketika mengkritik Ulil, Cak Nur tak pernah secara tendensius menunjuk karakter Ulil pribadi tetapi mengkritik cara dalam mengemukakan pandangan keagamaannya. (10)

— Ismatillah A Nu’ad, peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina
Opini Suara Merdeka, 30 Agustus 2010