14 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Planetarium di Menara MAJT

Planetarium di Menara MAJT

DAYA magnet wisata Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Jalan Gajah Raya Semarang kini boleh disetarakan dengan tempat wisata lain yang sudah mapan. Bahkan ada yang mengatakan di antara banyak tempat wisata masjid di Indonesia, MAJT punya daya
magnet wisata paling besar.

Dengan setting  langgam arsitektur perpaduan budaya Jawa dan Timur Tengah, dilengkapi payung elektronik ala Masjid Madinah Munawarah plus fasilitas lain, termasuk menara Al Husna setinggi 99 meter dengan pusat rukyatul hilal Jateng, membuat banyak komunitas ingin mengunjungi masjid hasil bandha wakaf Masjid Agung Kauman Semarang itu.


Dari banyak aset yang dimiliki, income yang didapatkan dari Menara Al Husna dengan pusat rukyatul hilal yang bersistem teropong digital dan teropong pandang kota Semarang serta restoran putar selalu lebih besar dari aset-aset lain.

Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan menara berlantai 19 menjadi salah satu daya magnet besar bagi wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara. Tidak banyak, bahkan belum ada, masjid agung yang mempunyai menara yang dimanfaatkan untuk melihat pemandangan sekitarnya sekaligus pusat rukyatul hilal.

Karena itu, untuk mempertahankan bahkan meningkatkan daya tarik menara itu  perlu ada inovasi kreatif terhadap aset-aset masjid tersebut. Adalah Drs H Ali Mufiz MPA, saat menjabat wagub, melontarkan gagasan agar MAJT memiliki planetarium (SM, 16/05/08).
Tahun 1990-an bagi negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Kanada, Inggris, dan Prancis, planetarium telah menjadi fasilitas yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya planetarium di negara tersebut, termasuk di kota kecilnya.
Miskin Planetarium India saja memiliki 30 planetarium (S Darsa, 1993). Jumlah planetarium di seluruh dunia yang ada di 64 negara, diperkirakan saat ini sudah lebih dari 1.750 buah, dalam berbagai ukuran. Sebanyak 980 di antaranya terdapat di Amerika Serikat, disusul Jepang dengan sedikitnya 280 planetarium.

Indonesia selama 36 tahun ini telah memiliki planetarium, yaitu di Jakarta, dan hanya satu-satunya (berbeda dari Bosscha Bandung yang merupakan observatorium riset), dan fasilitas itu sudah tertinggal teknologinya dari beberapa negara tetangga di ASEAN. Padahal Indonesia negara yang besar dan luas.

Karena itu, kiranya tidaklah berlebihan dan seharusnya didukung oleh banyak pihak, terutama pemerintah daerah ataupun pusat, jika kota-kota di Indonesia ingin memiliki planetarium.

Seperti di MAJT yang sudah memiliki menara Al Husna yang menurut analisis banyak pakar layak dikembangkan dengan dilengkapi planetarium. Bahkan Kabupatem Rembang sebagaimana pernah disampaikan para pakar hisab rukyah dan astronomi Rembang kepada penulis, juga ingin mendirikan menara rukyah sekaligus planetarium. Masih banyak lagi kota dan kabupaten yang ingin mempunyai planetarium.

Jika melihat kondisi ruangan dan perangkat yang ada di menara Al Husna, sebenarnya lantai 3 layak di-setting menjadi ruang multimedia sebagai laborat planetarium yang lebih berfungsi sebagai tempat pembelajaran benda-benda langit dan ruang angkasa bagi masyarakat.

Tentunya juga dalam fungsi sebagai laborat pembelajaran ilmu falak dalam penentuan awal bulan Hijriyah dan visualisasi pelaksanaan rukyatul hilal secara online. Pemanfaatan lantai 3 menara itu untuk laborat planetarium diharapkan dapat menjadikan MAJT tidak semata-mata sebagai tempat wisata religi yang bersifat ubudiyyah tapi juga bersifat tarbiyah (pendidikan) dan science spirit tentang alam tata surya khususnya bagi pelajar dan umumnya bagi masyarakat.

Laborat planetarium tersebut diharapkan menjadi tambahan daya magnet untuk masyarakat muslim di Indonesia yang berwisata religi di MAJT.

Dengan adanya laborat lanetarium diharapkan dapat menjadikan Masjid Agung Jawa Tengah sebagai tempat observasi ilmiah. Masyarakat bisa menikmati dan mempelajari lebih mendalam benda-benda langit dan ruang angkasa. Termasuk bila mereka ingin mengikuti pelaksanaan rukyatul hilal. (10)

— H Ahmad Izzuddin MAg, kandidat Doktor PPS IAIN Walisongo Semarang, Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia


Wacana Suara Merdeka 15 Mei 2010