Oleh LUTHFI AFANDI
Tampaknya, banyaknya korban berjatuhan karena menenggak minuman keras (miras) tidak juga menyurutkan langkah anggota DPRD Kota Bandung untuk melegalisasi minuman haram tersebut melalui peraturan daerah. Rancangan peraturan daerah (raperda) yang diusulkan Pemerintah Kota Bandung tersebut kini masih dalam tahap pembahasan oleh dewan dan direncanakan diselesaikan pada medio atau akhir bulan Mei. Walaupun draf raperda awal telah mengalami perubahan setelah dibahas dewan, substansi pelegalan miras masih tetap ada. Misalnya, raperda tersebut diberi judul "Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol". Akan tetapi, pada pasal 5, minuman beralkohol masih boleh diperjualbelikan di hotel berbintang 3, 4, dan 5, restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka, kemudian lounge, pub karaoke, kelab malam, diskotek, dan duty free shop. Itu artinya, adanya bahasa pelarangan dalam judul raperda tersebut sekadar hiasan/aksesori belaka.
Dari diskusi terakhir penulis dengan Ketua Pansus IV Tomtom Dabbul Qomar di salah satu televisi swasta lokal di Bandung, Kamis (13/5), tampaknya anggota dewan masih belum memiliki keberanian untuk melarang total miras. Ada beberapa dalih atau justifikasi yang sering kali dikemukakan pihak yang menginginkan pelegalan miras.
Pertama, karena Bandung itu kota pariwisata yang banyak didatangi wisatawan asing. Menurut mereka, sebagai tuan rumah sudah seharusnya kita menyediakan minuman yang biasa dikonsumsi para tamu. Mereka beralasan pelarangan miras akan berdampak pada menurunnya angka kunjungan wisatawan ke Bandung. Pendapat tersebut sama sekali tidak berdasar, mengingat tujuan utama wisatawan asing ke Bandung bisa dipastikan bukan karena miras. Kalau tujuan utamanya karena miras, buat apa jauh-jauh harus ke Bandung? Dan biasanya, jika seseorang melancong ke suatu negeri, yang dicari bukanlah sesuatu yang sudah banyak atau lumrah di negeri asalnya, tetapi sesuatu yang berbeda. Kenapa pemerintah tidak tergerak untuk memajukan minuman alternatif yang halal sebagai pengganti minuman keras?
Terkait dengan logika tamu dan tuan rumah, hendaknya prinsip "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung" harus dijadikan pegangan. Artinya, yang menyesuaikan seharusnya tamu, bukanlah tuan rumah. Terkait dengan hal tersebut, belum lama penulis menerima dan menemani tamu asing dari London yang bukan beragama Islam, ketika disuguhi bandrek dicampur kelapa, ternyata senangnya bukan main. Maka, kekhawatiran menurunnya pariwisata akibat pelarangan miras sama sekali tidak berdasar.
Kedua, mereka beralasan bahwa Bandung adalah kota yang plural, tidak hanya dihuni oleh orang yang beragama Islam yang mengharamkan miras. Masih ada umat beragama lain yang tinggal di Kota Bandung. Sehingga melarang miras berarti tidak memperhatikan agama yang ada. Pendapat tersebut seolah seperti benar padahal sangat menyesatkan, mengingat masalah miras bukan sekadar masalah umat Islam karena dampaknya sudah sangat mengancam semua generasi dan tidak memandang agama. Masalah miras mirip seperti halnya narkotik dan psikotropika yang sudah banyak menelan korban. Narkotik dan psikotropika yang sudah dilarang total saja masih banyak pihak yang menggunakan, apa jadinya jika miras masih mudah untuk didapatkan? Tentu sangat membahayakan.
Menarik untuk direnungkan, Provinsi Papua yang persentase umat Islam-nya lebih sedikit dari warga Kota Bandung atau Jawa Barat, kini tengah menyusun raperda yang berisi pelarangan pemasukan, penyimpanan, pengedaran, dan penjualan serta produksi minuman beralkohol. Cermati juga isi pesan pendek yang masuk ke telefon genggam penulis, "Saya umat Kristiani, tapi sangat2 setuju miras dilarang di tempat mana pun, sekalipun hotel berbintang. Membiarkan dosa adalah dosa. Maju terus, berjuang terus. Wujudkan Bandung kota agamis! Selamat berjuang, Tuhan menyertai Luthfi". Artinya, alasan pluralitas warga Kota Bandung tidak bisa dijadikan alasan untuk melegalisasi miras.
Ketiga, sering diungkapkan bahwa pelarangan total miras bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, di antaranya Keppres No. 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Alasan ini pun terkesan dibuat-dibuat dan jauh dari kebenaran. Menurut pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, makna pengendalian dalam Keppres 3/1997 itu bisa berarti dibolehkan dengan aturan tertentu, dibatasi dengan sangat ketat dan bisa juga bermakna dilarang total. Menurut dia, itu semua bergantung pada daerah masing-masing. Artinya, opsi melarang total masih sangat mungkin dilakukan jika ada kemauan dari anggota dewan. Apalagi di masa otonomi daerah, kewenangan itu diserahkan kepada para pemangku kebijakan daerah disesuaikan dengan kebutuhan daerahnya. Artinya, alasan hukum pun terbantahkan dengan sendirinya.
Keempat, menurut mereka, jika miras dilarang total maka akan banyak terjadi pengangguran dari para pekerja yang bergerak di dunia hiburan dan yang sejenis dengan itu. Alasan ini sama sekali bertolak belakang dengan fakta, mengingat banyaknya pengangguran dan ketidakproduktifan masyarakat justru akibat minuman keras. Saat ini, mana ada perusahaan yang mau menerima karyawan yang kerjanya hanya mabuk-mabukan atau sering mengonsumsi minuman keras? Bahkan, karyawan di perusahaan miras sekalipun. Orang yang sering mengonsumsi miras tentu akan berakibat rusaknya akal dan buruknya perilakunya. Apa yang diharapkan dari generasi yang kerjanya merusak akalnya sendiri dengan miras? Di sinilah justru awal terciptanya masyarakat yang tidak produktif yang akan memicu tingginya angka pengangguran.
Alhasil, tidak ada satu pun alasan yang dapat membenarkan legalisasi miras. Satu-satunya alasan yang dapat dipahami adalah karena untuk menghancurkan generasi dan kepentingan bisnis kapitalis. Maka penulis mengingatkan, khususnya kepada anggota dewan yang terhormat, yang mayoritas beragama Islam. Kini kebijakan itu ada di tangan Anda. Sejarah akan mencatat, jika Anda melakukan kebaikan dengan melarang total perkara yang Allah haramkan, maka niscaya penduduk langit dan bumi akan mendoakan kebaikan kepada Anda. Wallahualam.***
Penulis, Ketua Tim Kajian Raperda Miras HTI Kota Bandung.
opini pikiran rakyat 15 mei 2010