14 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Banalitas Kekerasan di Sragen

Banalitas Kekerasan di Sragen

DUA bulan terakhir Sragen, kota kabupaten yang biasanya menjadi perbincangan publik karena segudang prestasi dalam berbagai lomba kreativitas tata kelola pemerintahan didera demo besar. Unjuk rasa digelar hampir tiap minggu menuntut mundur Bupati H Untung Wiyono atas sangkaan menggunakan ijazah palsu dalam proses pencalonan bupati, dan berbagai tuduhan korupsi yang dikaitkan dengan keluarganya.

Terlepas dari motif dan kepentingan politik lokal, yang  boleh saja dianggap sebagai pemanasan menjelang pilkada 2011, demo di Sragen yang selama kepemimpinan Untung memperoleh 72 penghargaan berbagai lomba tata kelola pemerintahan merupakan kelumrahan dinamika sosial politik lokal. Fenomena itu mengikuti hukum politik: ketika ada ’’kobaran” api perlawanan pasti ada penyulutnya.


Sragen selama 9 tahun kepemimpinan Untung secara objektif menampakkan berbagai poin keberhasilan. Dari reformasi birokrasi hingga fungsi kepeloporan dalam berbagai program pembangunan, yang sampai kini menjadi rujukan bagi kabupaten/kota lain se-Indonesia. Pengembangan one stop service terlepas dari segudang kelemahan, pertanian organik, e-government, pendidikan unggulan, menjadi ikon keberhasilan Bupati.

Namun dalam pandangan elemen kritis dan sebagian masyarakat, keberhasilan pembangunan ternyata tidak memuaskan. Hal itu karena adanya arus kapitalisasi modal publik menjadi korporatisasi ekonomi/bisnis pribadi.

Pembangunan Taman Wisata Ndayu Park yang saham kepemilikannya dikuasai keluarga Bupati (istri menjadi komisaris), pendirian pabrik pengepakan Rokok PT HM Sampoerna yang pimpinannya adik Bupati, hingga dinaikkannya putra bupati menjadi salah satu ketua KNPI dengan mengabaikan peran aktor kepemudaan yang lain memicu sentimen anti-KKN di masyarakat.

Belum lagi napas kepentingan Untung dalam kisruh PDIP di tingkat lokal semakin mengekalkan arus resistensi masyarakat, khususnya kalangan oposisi.

Demonstrasi akhir-akhir ini makin mengeras. Radikalisme massa karena kurangnya sikap akomodatif Untung. Jika selama ini dia selalu meredam resistensi massa dengan “bujuk rayu” pembagian jatah proyek kepada elite aktivis, untuk situasi dua bulan terakhir hal tersebut tidak bisa dilakukan.

Sentimen sosial atas perilaku, kebijakan, sikap pimpinan daerah telah memasuki titik ketidakpuasan kolektif. Demo  yang awalnya penuh kreativitas dan damai, berubah menjadi ricuh dan menampakkan wajah sangarnya. Terakhir Selasa, 11 Mei 2010 terjadi kericuhan dan serangkaian tindakan perusakan terhadap fasilitas publik.
Makin Mengkristal Hal inilah yang mencemaskan, karena boleh jadi kekerasan dan demo yang menjurus radikal akan makin mengkristal. Kasus pembacokan aktivis FKPPI yang konon dilatarbelakangi kasus politik, makin menjauhkan situasi kondusif.

Jika mengalami pembiaran, banalitas kekerasan di Sragen akan menjadi titik akumulasi pada awal tahun depan saat pilkada digelar. Boleh jadi masyarakat akan kehilangan situasi damai dalam melakoni pesta demokrasi lokal. Karena berbagai calon yang kini diisukan akan melenggang dalam pilkada telah menyiapkan strategi jitu memanfaatkan terpuruknya citra Bupati dan familinya.

Semula kandidat kuat bupati adalah putri Untung yakni Kusdinar, namun karena demonstrasi yang mengencang terbuka peluang calon yang lain yang memiliki kemampuan finansial dan dukungan massa yang memadai.

Membaca situasi demikian maka solusi yang bisa dimajukan adalah ada beberapa hal. Keseriusan dan kejujuran aparat penegak hukum dalam menuntaskan dugaan penggunaan ijazah palsu, kemudian kelanjutan proses hukum “korupsi” dana purnabakti dan korupsi kroni bupati perlu dilakukan secara transparan.

Kemudian dibutuhkan rekonsiliasi kepentingan dan isuantar elemen yang bertikai dengan dialog akuntabel dengan nalar dingin. Sragen membutuhkan serangkaian kesadaran antikonflik jika ingin terbebas dari latensi konflik di masa depan.

 Konflik politik lokal akan memicu serangkaian balas dendam politik di masa depan. Marilah kita bangun Sragen melalui keadaban politik lokal yang mengedapankan nalar demokrasi. (10)

— Trisno Yulianto, warga Sragen, alumnus FISIP Undip

Wacana Suara Merdeka 15 Mei 2010