14 Mei 2010

» Home » Kompas » Membasmi Ideologi Terorisme

Membasmi Ideologi Terorisme

Kepolisian kembali meringkus dan menembak mati sejumlah teroris di negeri ini. Sudah tak terhitung jumlah penggerebekan yang dilakukan oleh kepolisian ke tempat persembunyian para teroris dan sebagian menewaskan mereka. Mulai dari Dr Azahari, Noordin M Top, hingga Dulmatin.
Pertanyaannya, mengapa persoalan terorisme tidak ada tanda-tanda segera berakhir di republik ini? Mengapa teroris terus bermunculan? Sampai kapan kepolisian harus menembak mati para teroris?
Sejauh ini kepolisian hanya memberantas teroris, bukan terorisme. Walaupun banyak tokoh teroris ditangkap dan ditembak mati, terorisme di negeri ini tak menurun signifikan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya generasi baru teroris, seakan menggantikan teman-temannya yang ditangkap atau ditembak.
Ibarat pepatah, teroris beregenerasi dengan pola ”mati satu tumbuh seribu”. Noordin, Dulmatin, dan lainnya memang mati ditembak polisi, tetapi apa artinya jika kemudian melahirkan generasi baru dalam jumlah yang lebih banyak?


Oleh karena itu, pemberantasan terorisme tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan militeristik. Pendekatan militeristik hanya cocok memberantas para teroris, bukan terorisme. Pemberantasan terorisme membutuhkan penyadaran yang mampu menghapus ideologi keras ini.
Disalahpahami
Setidaknya ada empat penyebab adanya ideologi kekerasan dan terorisme. Pertama, adanya beberapa ajaran dalam agama yang disalahpahami. Dalam Islam ada ajaran jihad dan mati syahid, yang dianggap membenarkan aksi-aksi keras teroris.
Padahal, jihad dan mati syahid tidak seperti yang teroris pahami. Jihad adalah prinsip perjuangan suci yang tidak selalu berarti perang fisik. Kalaupun terjadi perang fisik, jihad memiliki aturan dan mekanisme baku amat ketat, seperti tidak boleh membunuh anak-anak dan perempuan, tidak boleh merusak rumah ibadah dan fasilitas umum termasuk hotel.
Begitu juga dengan konsep mati syahid. Ajaran ini merupakan penghormatan puncak dari Tuhan kepada mereka yang menegakkan ajaran-Nya dengan cara-cara luhur, bukan dengan cara kekerasan hina seperti bom bunuh diri.
Kedua, ketidak-adilan global. Seperti yang sering diakui para teroris, mereka beraksi antara lain untuk melawan perlakuan tentara NATO di Afganistan, perlakuan Amerika Serikat di Irak, dan perlakuan Israel terhadap rakyat Palestina.
Bila aksi terorisme dilakukan di Indonesia dengan tujuan melawan ketidak-adilan global, hal ini jelas salah alamat. Dari segi apa pun, Indonesia tidak mempunyai keterkaitan dengan pembantaian yang terjadi di Irak, Afganistan dan Palestina.
Oleh karena itu, pemberantasan terorisme harus menyentuh persoalan ketidak-adilan global. Negara-negara besar seperti AS harus diimbau agar bersikap adil terhadap bangsa lain dan menghentikan segala macam bentuk politik penjajahan. Bila tidak, pemberantasan terorisme tak ubahnya mematikan lilin dengan semburan bensin.
Ketiga, ketidak-adilan negara terhadap warga-bangsanya terutama dalam persoalan hukum, pendidikan, dan kesejahteraan. Sebagai contoh, di Republik ini hukum hanya tajam tatkala menikam ke bawah, tetapi acap kali tumpul tak berdaya ke atas.
Hal yang lebih menyakitkan adalah persoalan kesejahteraan, terutama pada era politik ”buka-bukaan” kebusukan para elite seperti sekarang. Mereka yang berada di jajaran elite—pejabat, politisi, dan lainnya—begitu mudah mendapatkan uang dalam jumlah ratusan juta, miliaran, bahkan triliunan. Adapun rakyat biasa sangat susah menutupi segala kebutuhan sehari-hari. Padahal, kemiskinan atau kesengsaraan akan membuat seseorang melakukan apa pun walaupun itu jelas terlarang (sebagaimana Hadis Nabi Muhammad SAW).
Dengan demikian, pemberantasan terorisme harus juga menyentuh persoalan ketidak-adilan negara ini. Sangat tidak cukup bila pihak kepolisian hanya terus memburu, meringkus, dan membunuh para teroris, sementara persoalan hukum, pendidikan, dan kesejahteraan hanya jadi materi kampanye pemilu.
Keempat, ideologi negara agama. Pada tahap tertentu ideologi negara agama turut menyuburkan paham terorisme. Karena sebagaimana diakui para teroris, mereka menjalankan semua aksinya dengan tujuan mendirikan negara agama. Bagi mereka, pemerintahan yang ada saat ini (termasuk Indonesia) mengikuti sistem kafir.
Kecenderungan salafisme
Ideologi negara agama terus bertahan karena mengendap di balik kecenderungan salafisme di kalangan pemeluk agama. Salafisme adalah kecenderungan yang membayangkan masa lalu sepenuhnya suci, ideal, sempurna, tanpa kekurangan apa pun. Pada era suci inilah negara agama diyakini pernah ada dan berdiri tegak dengan nilai-nilai luhur yang dipraktikkan paripurna.
Perjuangan para teroris dan teman-temannya ini menimbulkan persoalan sangat serius. Bukan hanya karena secara normatif tidak ada ajaran yang membakukan sistem pemerintahan dalam Islam, tetapi lebih daripada itu karena perjuangan negara agama akan mengalami benturan dan memakan banyak korban, terutama di era negara-bangsa seperti sekarang.
Maka, pemberantasan terorisme harus dimulai dengan membasmi keempat ideologi di atas. Bila tidak, terorisme tidak akan pernah selesai walaupun sudah ratusan atau bahkan ribuan teroris ditangkap dan ditembak mati oleh polisi.
Hasibullah Satrawi Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir; Peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta

Opini Kompas 15 Mei 2010