Pendidik, kepala sekolah, dan kepala Dinas Pendidikan mungkin kurang menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari anak sekolah sering disuguhi pola perilaku sarat korupsi
TAJUK Rencana Suara Merdeka pekan lalu menyajikan ulasan tentang kegagalan program kantin kejujuran di sekolah se-Indonesia. Lebih lanjut diulas bahwa kegagalan itu merupakan potret betapa sikap tidak jujur dan korup mengontaminasi seluruh lapisan masyarakat, termasuk dunia anak-anak sekolah. Inilah pertanda dini perilaku korupsi.
Kegagalan program kantin kejujuran sebetulnya bukan sesuatu yang luar biasa. Sebaliknya, kalau berhasil itu baru luar biasa. Pendapat penulis ini bukan berarti ingin menafikan usaha-usaha pencegahan perilaku korupsi sejak anak usia sekolah melainkan lebih pada pola pikir yang realitis dan berdasarkan fakta yang berkembang di dunia pendidikan.
Para pendidik, kepala sekolah, dan kepala Dinas Pendidikan mungkin kurang menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari anak-anak sekolah sering disuguhi pola perilaku yang sarat korupsi. Budaya korupsi dimulai sejak anak mau masuk sekolah. Banyak orang tua memasukkan anaknya ke sekolah favorit dengan cara-cara yang tidak wajar. Berani bayar mahal yang penting anaknya bisa diterima di sekolah ternama.
Ketika anak-anak menghadapi ujian sekolah, apalagi ujian nasional, yang dibikin sibuk dan stres bukan hanya anak-anak tetapi juga guru dan orang tua. Demi mengejar angka kelulusan tinggi maka segala cara dilakukan. Cara-cara membocorkan soal, memberikan jawaban lewat SMS dan lain-lain pun ditempuh. Bagaimana mau menanamkan kejujuran lewat program kantin kejujuran kalau dalam praktiknya, perilaku korup itu dibiasakan sedemikian rupa untuk menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. Sebaliknya, nilai-nilai kejujuran makin tidak mendapatkan apresiasi.
Di dunia pendidikan ada dua macam ilmu. Pertama; ilmu yang diajarkan dan mendorong perilaku mulia. Kedua; ilmu yang tidak diajarkan dan dilarang dipraktikkan karena mendorong perilaku tidak terpuji. Dalam kenyataannya, ilmu-ilmu yang tidak diajarkan dan tidak terpuji itu jauh lebih hidup dan diminati oleh siswa daripada ilmu yang diajarkan. Ilmu yang dilarang lebih banyak dipraktikkan daripada ilmu yang diajarkan.
Salah satu bentuknya adalah menyontek. Disadari atau tidak menyontek adalah embrio korupsi. Dalam menyontek terdapat sikap ketidakjujuran, hilangnya budaya kerja keras, sportivitas, dan pola hidup menerebas.
Pola hidup menerabas ini akan dilanjutkan ketika mereka menempuh kuliah dan lulus. Ketika kuliah banyak mengkloning skripsi dan setelah lulus bersedia menyogok berapa pun asal bisa mendapatkan pekerjaan, terutama menjadi PNS. Mata rantai budaya korupsi sebenarnya tumbuh embrionya sejak anak-anak mengenyam bangku sekolah yang mungkin secara tidak sadar guru ikut menanamkan ”ilmunya”.
Tantangan Berat Kita (orang tua dan guru) tidak berani bersikap jujur. Kita perlu mendorong anak untuk belajar keras sedini mungkin dan membiarkan anak mengerjakan soal-soal ujian seberapa mereka mampu sehingga apapun hasilnya hal itu merupakan kemampuan yang benar-benar dimiliki oleh anak dan bisa dijadikan patokan. Sekarang ini tidaklah seperti itu. Semua harus maksimal hasilnya dan untuk maksimal diperbolehkan melakukan ketidakjujuran. Karena itu nilai bukanlah potret asli kemampuan siswa karena semua direkayasa.
Inti ajaran antikorupsi adalah kejujuran. Program kantin kejujuran merupakan instrumen bagaimana nilai-nilai kejujuran ditanamkan sejak dini. Jika program itu berhasil maka semangat antikorupsi itu masih besar pada masa yang akan datang. Sebaliknya, Kegagalan program itu menjadi catatan penting betapa makin ke depan program antikorupsi makin berat tantangannya.
Hilangnya rasa dan sikap kejujuran di sekolah karena adanya perubahan paradigma pendidikan. Sekarang, dalam dunia pendidikan dikonsep bahwa orang yang pandai itu yang nilainya bagus walaupun kelakuannya tidak bagus. Tidak perlu tekun atau berlama-lama belajar, yang penting bisa punya relasi agar mendapatkan bocoran soal atau jawaban, dan tujuannya supaya nilai ujiannya bagus serta mampu mengalahkan anak yang tekun belajar. Selebihnya, memiliki nilai bagus kalau tidak punya uang dan relasi untuk KKN tetap saja sulit mencari pekerjaan dan lain-lain.
Hilangnya sikap jujur karena dunia kehidupan kita telah kehilangan standar kualitas hidup hakiki. Manusia modern dikungkung oleh pola hidup gengsi, hedonis, dan serbamudah sehingga proses hidup jujur kurang mendukung orientasi hidup seperti itu.
Kondisi ini juga hidup dan berkembang di dunia pendidikan. Akibatnya, anak-anak sekolah banyak yang tidak paham untuk apa orang bersekolah? Untuk apa belajar tekun dan berkelakuan baik kalau dalam praktiknya tanpa belajar tekun dan tanpa kejujuran pun nilainya kadang lebih baik. Jadi korupsi sudah secara sistemik menyelimuti pola pikir anak-anak sekolah kita. (10)
— Jabir Alfaruqi, Koordinator KP2KKN Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka 14 Mei 2010