10 Mei 2010

» Home » Kompas » Koalisi Sistem Presidensial

Koalisi Sistem Presidensial

Ada anggapan bahwa koalisi merupakan ciri yang membedakan sistem presidensial dengan sistem parlementer. Beberapa pengamat politik, seperti Sukardi Rinakit (Kompas, 16/2/2010) dan Hanta Yuda AR (Kompas, 13/4/2010), menyatakan bahwa, karena adanya koalisi, kabinet pemerintahan SBY bersifat semi-parlementer atau presidensial setengah hati.
Juga ada anggapan bahwa, karena merupakan ciri sistem parlementer, koalisi dalam sistem presidensial memiliki penyakit bawaan, yakni tidak konsistennya sikap mitra koalisi dari satu kebijakan ke kebijakan lain.
Anggapan semacam ini sebenarnya tidak perlu. Pertama, ia tidak memberikan solusi apa-apa bagi perbaikan sistem politik nasional. Kalaupun ada solusinya, yakni berpindah ke sistem parlementer atau ke sistem presidensial dua partai, terlalu sulit dilaksanakan di Indonesia. Citra buruk tentang sistem parlementer dari masa lalu tampaknya masih belum dapat dilupakan masyarakat politik Indonesia. Membangun sistem dua partai juga sulit dibayangkan mengingat tingkat kemajemukan masyarakat kita. Kedua, anggapan semacam ini juga tak didukung fakta empiris. Karena itu, yang perlu dilakukan sebenarnya lebih pada bagaimana memaknai koalisi dalam sistem presidensial.


Pengalaman negara lain
Pandangan bahwa koalisi bukanlah tradisi sistem presidensial sebenarnya berawal dari anggapan teoretis bahwa sistem ini tidak memiliki cukup insentif untuk membangun koalisi ketika presiden terpilih tidak memiliki cukup mayoritas di lembaga legislatif (DPR). Karena presiden dan anggota DPR sama-sama dipilih oleh rakyat untuk masa yang tetap, eksistensi presiden tidak bergantung pada DPR. Presiden terpilih memiliki kekuasaan untuk membentuk pemerintahan. Selain itu, presiden memiliki kekuasaan konstitusional, seperti kewenangan dekret dan veto yang dapat dipakai untuk menjalankan pemerintahan. Hal-hal ini membuat koalisi jadi sesuatu yang tak terlalu krusial.
Akan tetapi, studi empirik dari para ahli menunjukkan bahwa koalisi dalam sistem presidensial merupakan fenomena yang sama lazimnya dengan sistem parlementer. Dengan menganalisis semua negara demokratis antara 1970-2004, Cheibub (2007), misalnya, membuktikan bahwa pemerintahan koalisi dalam sistem parlementer terjadi sebanyak 39 persen, sementara dalam sistem presidensial 36,3 persen. Dengan menggunakan data tahun 1949- 1999, Cheibub, Przeworski, dan Saiegh (2004) juga menemukan bahwa di kedua sistem, koalisi terjadi sebanyak lebih dari 50 persen ketika partai presiden tidak memiliki mayoritas di lembaga legislatif. Jadi, ada tidaknya koalisi bukanlah pembeda sistem presidensial dan parlementer.
Di dalam sistem presidensial, presiden dari partai minoritas dapat saja membentuk pemerintahan tanpa koalisi. Namun, dia dapat menghadapi masalah dalam menjalankan proses pemerintahan karena ia memerlukan dukungan lembaga legislatif. Di sini ada keperluan yang jelas untuk membangun koalisi. Hanya saja tujuan utamanya bukan pada terbentuk atau tidak terbentuknya pemerintahan, melainkan untuk mengamankan jalannya roda pemerintahan. Karena itu, koalisi dalam sistem presidensial memiliki makna sedikit berbeda dibanding sistem parlementer.
Pihak yang berkoalisi dalam sistem presidensial—terutama pihak presiden—harus menyadari bahwa insentif pendukung koalisi untuk selalu memberikan dukungan penuh kepada eksekutif tidaklah sebesar sistem parlementer. Risiko hilangnya kursi menteri dari sebuah partai ketika bersikap ”mbalelo”, misalnya, tidaklah terlalu tinggi karena ia tidak berujung pada jatuhnya pemerintahan. Selain itu, dukungan terhadap inisiatif kebijakan presiden tidak harus bersifat permanen dari kubu partai-partai yang berkoalisi. Kebijakan tertentu mungkin saja mendapat dukungan dari anggota legislatif dari partai nonkoalisi. Sebaliknya, ada kebijakan tertentu yang membuat partai pendukung koalisi memiliki sikap terbelah.
Pergeseran dukungan semacam ini adalah hal yang biasa, bahkan dalam sistem parlementer. Ini tidak berarti koalisi dalam sistem presidensial tidak berguna. Mengamankan adanya dukungan politik atas inisiatif dan kebijakan presiden adalah penting. Adanya koalisi membuat hal ini menjadi lebih predictable dan sederhana dibandingkan dengan hanya mengandalkan dukungan secara ad hoc dari kebijakan yang satu ke kebijakan lainnya.
Pelajaran untuk Indonesia
Koalisi dalam sistem presidensial adalah realitas politik. Ketimbang mengutuknya, lebih baik mencari jalan agar ia bekerja untuk mendukung jalannya pemerintahan. Presiden dan barisan koalisinya harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa mereka memiliki cukup dukungan di DPR untuk meloloskan berbagai kebijakan yang menjadi agenda eksekutif. Apalagi telah terbukti (dalam kasus Century) kalau koalisi partai yang mendukung Presiden dan memiliki kursi di kabinet tidak otomatis jadi pendukung agenda Presiden di DPR.
Presiden juga harus bekerja lebih keras untuk memastikan soliditas partai-partai pendukungnya, tidak cukup hanya mengandalkan dukungan dan jaminan dari ketua umum partai. Mungkin Presiden dapat lebih mengaktifkan pendekatan yang lebih intensif kepada individu-individu atau kelompok-kelompok kecil anggota DPR.
Pihak nonkoalisi alias oposisi tidak perlu dipandang secara statis. Jumlah partai oposisi tidak serta merta mencerminkan besarnya kekuatan oposisi. Dengan pendekatan-pendekatan yang lebih personal, ada di antara mereka yang dapat didekati untuk mendukung kebijakan Presiden. Semua ini akan membuat proses hubungan Presiden-DPR jadi lebih dinamis dan konstruktif.
Djayadi Hanan Kandidat Doktor Ilmu Politik, The Ohio State University; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina

Opini Kompas 11 Mei 2010